Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA Art Summit Indonesia menyajikan karya-karya puncak seni pertunjukan, sebuah pameran seni rupa kontemporer digelar. Di Galeri Nasional, Gambir, Jakarta, hingga 10 Oktober, dengan kurator Rizky A. Zaelani, Mamannoor, dan Asmudjo Jono Irianto, sekitar 25 perupa mencoba mengetengahkan karya-karya puncak. Setidaknya karya perupa yang paling banyak dibicarakan di Indonesia sepanjang rentang 1990-an: Anusapati, Arahmaiani, Heri Dono, Krisna Murti, Mella Jaarsma, Nindityo Adipurnomo, Nyoman Erawan, Tisna Sanjaya, Agus Suwage, Dolorosa Sinaga, S. Teddy, dan Yusra Martunus.
Sebagian besar karya bermuara pada praktek seni media barukarya-karya yang tak secara tegas mengikuti kode-kode seni rupa konvensional. Gejala yang mulai mewarnai kancah seni rupa Indonesia pertengahan 1980-an, menguat pada era 1990-andirayakan lewat Biennale IX Jakarta (1993/94)lalu mengalami pencanggihan di masa kini.
Sebagaimana terjadi di arus utama, karya-karya seni media baru menggusur lukisan dari ruang pameran, lalu menggantinya dengan obyek-obyek, instalasi, dan gambar-gambar bergerak lewat ruang maya. Dan ruang pameran yang semula khidmat serta-merta berisik dengan pelbagai suara, gerak, bebauan, dan lain sebagainya. Seni media baru memungkinkan pelbagai kemungkinan yang dapat dicerap oleh indra manusia. Wacana yang ditawarkan juga bergeser, dari sekitar persoalan estetika yang elite ke masalah budaya yang populis, dari pertanyaan filosofis "apa itu seni" menjadi pertanyaan datar "apa artinya kehidupan masa kini".
Inilah pameran media baru yang bertolak dari paradigma baru. Masih kita saksikan lukisan dan patung, tapi selebihnya karya-karya instalasi dan video art. Seni media baru tampak sekali membuka ruang kebebasan yang lebih dalam penciptaan. Karya-karya seni rupa bukan sekadar sebuah obyek tontonan. Di sini, para pengunjung diprovokasi untuk mengalami dan mengekspresikan diri di dalamnya. Publik adalah bagian dari karya itu sendiri.
Instalasi interaktif, sebagaimana karya Agus Suwage, memperlihatkan praktek itu. Di tengah ruang pameran, ia membuat jamban umum lengkap dengan urinoir, tempat orang benar-benar bisa buang hajat kecil. Di situ ia juga menyembunyikan alat rekam gambar, untuk memantau kegiatan yang terjadi di dalamnya. Banalitas pada karya ini akan mudah ditafsirkan sebagai sebuah sensasi dan keisengan belaka.
Tentu saja karya "jamban" Suwage ini tak dapat dilihat dengan pemandangan karya yang umum. Yang umum, apalagi keindahan, telah mati, dan yang hidup tinggal perilaku dan budaya sehari-hari. Dinding tripleks jamban bercat putih itu dalam sekejap penuh grafiti bertuliskan segala macam hal secara spontan. Jelas, para pengunjung pameran kini secara tak sadar ditempatkan sebagai bagian dari karya itu sendiri. Dalam karya-karya seni media baru, perupa kerap memperlihatkan kecerdikannya ketimbang hal lain. Tak jarang pula mereka menggeser peran dari seorang pencipta menjadi penyelenggara. Kecenderungan pada instalasi interaktif macam ini tampak pula umpamanya pada karya Nindityo Adipurnomo, karya yang mengundang pengunjung pameran membuka alas kaki dan mencoba menjejakkan kaki ke atas gunungan kayu bergerigi, layaknya pijat refleksi. Ia juga melengkapi karyanya dengan rekaman video tentang peta pelbagai penyakit dan tubuh kita.
Pameran ini memperlihatkan keragaman model seni media baru, juga menggambarkan perkembangannya di mancanegara. Instalasi sebagaimana diperlihatkan dalam karya S. Teddy, umpamanya, memperlihatkan kecerdikannya memainkan susunan huruf: ASU, yang apabila dilihat dari sisi sebaliknya menjadi USA. Dalam hal video art, bagian seni media baru yang banyak bertumpu pada perkakas elektronik, perkembangannya juga makin menarik. Krisna Murti, seniman video yang telah mengembangkan bidang ini selama lebih dari satu dasawarsa, menyajikan sebuah kejutan baru.
Ia menembakkan LCD projector bukan ke dinding, melainkan ke atas lantai yang ditaburi tepung dengan beberapa sapuan menyerupai jejak yang tertinggal di pasir pantai. Begitu gambar hidup ditembakkan dari proyektor ke lantai dan diikuti suara gemuruh yang datang dan pergi mengikuti irama ombak, para pengunjung seperti betul-betul tengah berdiri di pinggir sebuah pantai yang menakutkan. Di situ kita melihat, gagasan seorang seniman dapat terwujud dengan maksimal lewat bantuan teknologi masa kini, pendukung utama seni media baru.
Dari keseluruhan karya-karya ini, tim kurator menafsirkannya sebagai teatrikalitas dalam seni rupa.
Asikin Hasan, pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo