Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Isa di Tengah Pohon Jati

Seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta menampilkan tesis tari pascasarjananya di Gua Maria Wonosari, Gunung Kidul. Menarik, puitis.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sore surut. Pohon-pohon jati gelap. Paras Iwan Darmawan, penari itu, hanya terlihat samar. Berdiri di atas pokok kayu— hampir separuh tinggi pohon. Ia bergerak ringan, halus, dan lamban. Rambutnya tergerai. Kain putihnya melambai tertera angin. Gerakannya seperti menahan derita amat sangat. Setelah tubuhnya bergulingan di lereng-lereng, sendiri ia menarikan Kristus yang bangkit setelah tersalib.

Inilah sebuah ujian tesis tari yang lain daripada yang lain. Empat tahun terakhir para mahasiswa pascasarjana Jurusan Penciptaan Seni STSI Surakarta banyak melahirkan karya yang berorientasi di luar panggung. Pernah pementasan dilakukan di sebuah sungai di Klaten, pernah saat yang lain di sebuah desa kosong di Blitar yang tertimbun tanah. Dan kini seorang mahasiswa menampilkan penderitaan Kristus mengambil lokasi di bukit Wonosari yang garing itu. Pengujinya: Rahayu Supanggah, Sardono W. Kusumo, dan rohaniwan Mudji Sutrisno.

Kurang lebih tiga jam penonton bagai jemaah harus naik-turun jalan setapak bukit mengikuti perarakan penyiksaan Isa. Gagasan dasar Iwan awalnya berangkat dari Gereja St. Antonius Kotabaru, Yogya. Pada Paskah 2002 ia membantu tablo kisah sengsara Kristus menuju Golgota. Ia mengamati ada kejenuhan di antara jemaah tiap tahun—melihat drama hanya berlangsung seputar altar. Maka ketika tahun 2004 dipasrahi menjadi sutradara, ia memanfaatkan sisi luar gereja. Perarakan berlangsung dari halaman sampai taman jalan raya. Semula eksplorasi ini terus hendak dikembangkannya untuk tesis. Namun Sardono mengusulkan agar memilih lokasi lain.

Dan Iwan lalu memilih Gua Maria Tritis di Dusun Bulu, Desa Giring, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul. Topografi areal gua ini menarik. Penuh variasi lereng-lereng, jalan melingkar—naik-turun yang terjal. Setiap Mei dan Oktober lokasi ini dipenuhi peziarah. Jalan yang berliku dimanfaatkan untuk rute jalan salib. Tiap kelokan yang menarik dijadikan stasi-stasi tempat perhentian merenung. Puncaknya, para peziarah menuju gua dengan stalagmit dan stalaktit besar.

"Pemilihan lokasi perbukitan bisa menjadi alternatif pertunjukan kita masa depan," kata penari Miroto saat melihat medan. Yang jadi soal, adakah Iwan sekadar memindahkan begitu saja prosesi? Adakah tafsir dan unsur-unsur baru dari pementasan berjudul Bunga di Atas Karang ini? Segera yang kita lihat ia cenderung mempribumikan perarakan. Sore itu di jalan raya—depan pintu masuk areal Gua Maria—serombongan laki dan wanita berpakaian tradisi Jawa (diperankan mahasiswa teater Institut Seni Indonesia Yogya) bergerombol. Mereka berlaku sebagai warga Yerusalem. "… Kuwi Yesus—(itu Yesus)," tangan mereka menunjuk. Dari kejauhan terlihat karnaval prajurit ala Mataram menyeret seseorang bertelanjang dada.

"Hadapkan Yesus," teriak seseorang lantang dari pendapa. Lalu sang Yesus digelandang, ditendang, diseret ke atas. Yang mengagetkan, dua prajurit membawa pecut mencambuk benar ke tubuh sang aktor. Dan itu berlangsung terus sepanjang perjalanan. Perarakan diapit para "rahib" berjubah dan kerudung cokelat yang terus-menerus melantunkan Tantum Ergo: Tantum ergo sacramen-tum venere mur cernui…. "Rajam dia, Raja Pelacur…," suasana seperti liar, tak terkendali, tatkala para "warga Yerusalem" berebutan menganiaya. Jalan setapak sempit, membuat penonton yang membuntuti berhati-hati agar tidak terperosok. Setiap stasi berhenti. Sang Kristus berdoa: "Engkau ditakdirkan mati sejak dalam kandungan…."

Yang menarik, Kristus dimainkan bergantian berdua oleh Iwan dan Dobleh (mahasiswa ISI). Trik ini menciptakan kejutan-kejutan. Ketika Dobleh masih disiksa di jalan setapak, tiba-tiba di depan Iwan telah bergulingan di lereng. Tubuhnya menggelepar, merosot, bergulung-gulung ke bawah bak tanah longsor. Ekspresinya betul-betul sekarat. Ia dicambuk, ditendang, jatuh menerabas ilalang. Pada titik ini, seseorang yang berperan sebagai Maria Veronica menyeka wajahnya.

Suasana makin dramatis saat ilalang dan daun-daun kering sengaja dibakar. Asap membubung, bau sangit menyengat. Muncul dari asap, Kristus menuju stasi terakhir, di bawah sebuah tebing curam. Di situ ada sebatang balok kayu besar. Di atas tebing itu telah terdapat wanita-wanita simbol penggoda. Seseorang dengan gemulai menari. Punggung Kristus yang kembali dimainkan Dobleh dibebani balok salib. Ketika ia merayap ke atas sembari memanggul balok, terasa betul beratnya. Penonton mendongak ke atas. Sampai dekat pancang salib, seorang wanita menggesek biola. "Ya Allah, kenapa Kau tinggalkan aku." Penonton berdebar menduga apa bakal terjadi. Tak sadar di belakang mereka adegan lain.

Di areal pohon-pohon jati—di belakang penonton—telah menyala obor-obor kecil. Dan terlihat Iwan menari di atas sebuah batang tegak. Pohon-pohon yang lurus dan tubuh Iwan yang ramping begitu harmoni. Dentang bel gereja dipukul lamat dari kejauhan oleh pemusik Gandung Djatmiko dan Y. Subowo. Dan para "rahib," sembari melantunkan kor, mendekat dari pohon ke pohon—membentuk siluet. Bila pertunjukan berhenti di situ pun, cukup sudah.

Tapi pertunjukan tidak berakhir di situ. Seusai jeda dan penonton dijamu teh dan jahe hangat, dengan obor kecil mereka dituntun ke Gua Maria. Penonton dipersilakan membasuh tangannya dengan air. Per Mariam ad Jesum. Melalui Maria sampai ke Kristus. Gua berstalaktit dan stalagmit yang terdapat patung Maria itu berpendar demikian rupa karena tataan lampu disorotkan dari pojok-pojok bawah kontur karang membentuk suasana bayang-bayang yang misterius.

Seorang wanita menari membawa bunga. Tiga laki-laki naik ke karang-karang membentuk bloking yang apik. Diselingi gamelan yang ditabuh dari sela-sela gua, mereka menyuarakan perenungan: "… Aku tidak mempunyai kubur-Ku sendiri. Tubuh-Ku dibaringkan di dalam makam orang lain. Apakah pantas Aku dimakamkan dalam kubur pinjaman?"

Sebetulnya garapan Iwan tanpa banyak pernik. Di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, misalnya, prosesi Paskah penuh elemen topeng. Mulai dari sosok Nikodemus yang berkerudung seperti kerucut sampai anak-anak yang berparade membawa: krenti (rantai), krona spina (mahkota yang terbuat dari tumbuhan duri), tiga batang paku besar dan alat penusuk, tongkat dan bunga karang—alat pencelup ke cuka untuk diminumkan kepada Isa. Konsentrasi Iwan lebih pada lekukan-lekukan bukit, namun kurang menggarap sisi-sisi visual para pemain teater. Ia tampaknya terlalu ingin polos.

Memang ukuran utama pertunjukan ini bukan estetika. Seperti dikatakan Sardono W. Kusumo, "Koreografi tidak perlu lagi." Yang paling penting adalah bagaimana pertunjukan ini dapat menambah pemaknaan bagi komunitas setempat. Ibu-ibu anggota paroki yang bergidik melihat Iwan terhuyung-huyung adalah bukti untuk itu. "Karya Iwan memperkaya batin," kata Mudji Sutrisno. Tapi bayangkan bila dari lereng itu kita menyaksikan iringan karnaval yang beragam (tengkorak, dance macabre), setan-setan yang bersembunyi—di setiap sudut jati—yang menghasut arakan, tentunya tafsir makin kaya. Pertunjukan Iwan, meski menggedor, kecuali berpindah lokasi, masih belum begitu keluar jauh dari tafsiran konvensional.

Namun sekonvensional-konvensionalnya, pergantian suasana dari gaduh ke senyap, suara jangkrik hutan jati, permainan hening, irama perjalanan yang pas—mulai sore, senja, sampai malam—harus diakui menyentuh. Begitu keluar dari gua, masih terasa ujung-ujung stalagtit di atas kepala kita—yang seakan bisa runtuh sewaktu-waktu—dan masih terngiang rintihan kor berbahasa Jawa yang memohon agar Sang Pemilik Hidup tak meninggalkan kita.

"... Duh Gusti..., menawi Paduka ngendelaken kawula, lajeng kados dene tiyang ingkang mandhap dateng kubur…."

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus