Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Rupa Bali Pra-Perang Dunia II

Koleksi Haks dan Maris yang menunjukkan perkembangan seni rupa Bali dipamerkan di Balai Erasmus. Sebuah pameran yang memancing perdebatan tentang perkembangan wacana modernis di antara pelukis di Bali.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM tahun silam, sebuah pameran menandai meningkatnya perhatian dunia terhadap seni rupa Bali. Pameran "Images of Power" yang terdiri dari koleksi pakar antropologi Margaret Mead yang dipersiapkan oleh Hildred Geertz adalah satu titik penting dalam perkembangan seni rupa Bali. Pada 1997, seorang peneliti seni rupa dari Jerman, Klaus Hohn, menerbitkan buku Reflection of Faith yang menampilkan koleksi lukisan Batuan yang berkurun waktu 160 tahun (1834-1994). Tahun lalu, di Kunsthal Rotterdam muncul pameran dan buku katalog berjudul Kekuatan Magis dan Modernisme: Perupa Modern Bali. Pameran koleksi duo dealer seni rupa Leo Haks dan Guus Maris ini berkesempatan singgah di Erasmus Huis, Jakarta, dari Januari hingga pertengahan Februari.

Koleksi itu terdiri dari karya-karya seni rupa yang diciptakan oleh sekitar 30 perupa dari Batuan, Ubud, dan Sanur, yang memiliki gaya kedaerahan mereka masing-masing. Namun, secara sekilas ada suatu benang merah yang dapat ditarik dari koleksi ini, terutama jika dibandingkan dengan koleksi- koleksi yang lain. Koleksi Haks dan Maris menampilkan tokoh-tokoh yang karikaturistis dan terkesan penuh humor.

Pengadeganannya kuat sehingga tokoh-tokoh tersebut tampil secara cukup mencolok sekaligus menarik perhatian. Penggambaran bentuknya tegas dan pewarnaannya cerah sehingga menambah daya tarik gambarnya.

Karya-karya tersebut berkisar dari lukisan Pria Bertapa Diganggu Perempuan dan Dihina Perempuan Lain karya I Resek dari Sanur, yang penggambarannya sangat lemah dan lucu dengan pewarnaan sangat cerah, sampai karya seniman Batuan, I Ketut Ngendon, yang dipenuhi figur-figur dalam suatu rangkaian kejadian yang komposisi warnanya rumit, gelap, dan hampir monokromatis. Koleksi itu juga memamerkan Pemandangan Lembah Sungai karya Anak Agung Gde Sobrat dari Ubud, yang sangat anggun tertata dalam komposisi ruang yang harmonis dan dalam warna-warna yang alami.

Menurut Haks dan Maris, pada 1928 terjadi perubahan dahsyat dalam seni lukis Bali. Perkembangan ini terutama berkat pengaruh beberapa seniman Eropa, khususnya seorang seniman-koreografer-penulis-fotografer Walter Spies, yang pada 1927 mulai menetap di Bali, dan seorang seniman Belanda, Rudolf Bonnet.

Berkat kedua orang ini, banyak sekali ahli-ahli antropologi, penulis, dan kaum intelektual serta selebriti dunia yang datang ke Bali, baik untuk mengadakan penelitian atau bekerja lebih lama maupun sekadar untuk berkunjung sejenak. Keberadaan mereka sangat memengaruhi iklim penciptaan para seniman Bali sekitar tahun 1930-an. Para perupa "modernis" Bali mulai menghasilkan karya yang sangat berbeda dari segi teknik pengolahan bentuk, komposisi, ataupun tema dan subyeknya dibandingkan dengan karya sebelumnya. Menurut Haks dan Maris, perkembangan yang pesat tiba-tiba terhenti karena pecahnya Perang Dunia II pada 1942.

Dalam banyak hal, lukisan para modernis Bali ini memang mempunyai banyak kesamaan dengan Walter Spies, dan karena itu pengaruh Spies tidak dapat disangkal. Hal ini dapat dilihat dari cara para perupa seperti Ida Bagus Made Poegoeg, Ida Bagus Made Djatasoera, Ida Bagus Ketut Diding, I Ketut Keteg, dan I Made Soekarya menyusun helaian daun dalam komposisi melingkari titik-titik sumbu membentuk motif yang lebih besar dan menarik. Selain itu, dimensi ketiga dihadirkan dengan cara membedakan sisi gelap dan terang suatu bentuk, apakah itu manusia, hewan, ataupun tanaman, sehingga kesan tumpang tindih bentuk akan terlihat lebih jelas.

Selain itu, sangat menarik untuk diteliti apakah memang karya lukis Bali dipengaruhi oleh Spies, ataukah justru Spies yang belajar dari cara penggambaran bentuk dan volume tradisional Bali. Penggunaan gradasi gelap hingga terang dalam karya para modernis Bali tampaknya berkembang dari teknik sungging dalam seni lukis tradisional Bali dan Jawa. Bahkan, bukanlah tidak mungkin bahwa justru Spies-lah yang mengadopsi metode ini. Yang paling aman adalah mengatakan bahwa Spies dan para modernis Bali ini saling memengaruhi, dan ini terjadi bukan saja dalam penggambaran bentuk, tapi juga dalam hal penggunaan sudut pandang tinggi yang bukan berdasar pada teknik perspektif.

Teori "ledakan penciptaan" yang ditawarkan Haks dan Maris dalam pameran ini memang memiliki dasar karena menurut Hohn telah terjadi perubahan besar dalam seni rupa Bali. Bedanya, Hohn beranggapan hal itu terjadi pada sekitar 1932. Tampaknya perubahan ini didukung bukti-bukti karya seni rupa, meski atribusi periodenya yang definitif membutuhkan penelitian yang lebih mendalam.

Sangatlah disayangkan bahwa Haks dan Maris sama sekali tidak membahas latar belakang terjadinya ledakan tersebut. Apakah ledakan penciptaan itu terjadi semata-mata karena suatu kesadaran estetis yang baru, ataukah hal itu dipengaruhi oleh pergeseran dan peningkatan patronase? Seberapa jauh perkembangan wacana modernis di antara para pelukis itu, dan sampai di mana peran Pita Maha dalam hal itu? Pertanyaan-pertanyaan itu seakan luput dari perhatian kedua penggagas pameran ini. Hal ini karena mereka cenderung berminat pada aspek-aspek estetis karyanya, dan kurang peduli pada aspek sejarah keseniannya.

Soedarmadji Damais, mantan kepala Museum Sejarah Jakarta yang kebetulan membuka pameran ini, mengatakan, "Kendati yang tampil dalam pameran ini sebenarnya merupakan seni rupa yang dibuat untuk keperluan turisme (dalam arti orang Bali jelas tidak membuat ini untuk kesenangan dan selera mereka sendiri), sebagai tanda mata, hal itu tidak berarti bahwa karya-karya ini tidak bernilai." Justru ia menunjukkan bahwa tiap koleksi punya nilai tersendiri. Akanlah sangatlah menarik untuk diteliti mengapa koleksi Haks dan Maris berbeda secara estetis dari koleksi Hohn, begitu juga koleksi Mead dan koleksi-koleksi yang lain.

Walaupun karya-karya dalam pameran ini memiliki benang merah yang cukup kuat, kriteria pemilihan perupa dan karyanya kurang jelas. Ada karya Sobrat dan Ida Bagus Made Togog, tapi tidak terlihat Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Made Nadera, Ida Bagus Kembeng, dan Anak Agung Gde Meregeng—beberapa perupa yang cukup mencuat pada periode itu—dalam daftar perupa. Ketidakjelasan ini membuat pemirsa dapat memaklumi juga adanya kesenjangan yang begitu besar antara lukisan dan pembentukan bentuk figur, dari yang sangat lemah hingga yang sangat indah. Bandingkan misalnya Naga Banda karya I Wayan Goenaksa Toenas, dengan figur-figurnya yang kaku dan tidak beraturan serta komposisinya yang kacau, dengan lukisan Ngererod/Penculikan di Pemandian karya I Reneh, yang digarap dengan teknik penggambaran volume yang sangat rinci dan tegas serta dipenuhi dengan motif-motif yang indah dan diatur dalam komposisi yang sangat anggun.

Daya pikat karya koleksi Haks dan Maris antara lain karena menampilkan adegan erotis yang nakal, seperti karya Ida Bagus Ketut Soenia, yaitu Pria-Pria dengan Penis Raksasa Bergumul dengan Perempuan-Perempuan Tua. Daya tarik lukisan lain muncul dengan menggunakan motif yang penuh, warna yang cerah, ataupun komposisi yang dinamis.

Memang, sangat banyak yang bisa dipelajari dari para dealer seni rupa yang profesional. Selain kepakaran mereka dalam memilih koleksi yang menarik, perlu diingat bahwa pameran koleksi ini juga dilengkapi katalog yang kendatipun lemah secara kuratorial, dilengkapi dengan data koleksi termasuk biodata perupa, tempat karya perupa itu pernah dipamerkan, museum tempat karya perupa itu dikoleksi, serta tulisan yang membahas perupa tersebut. Ini dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan tekun. Sudah waktunya cara-cara kerja para dealer asing dalam menambah nilai koleksinya dengan promosi melalui pameran dan katalog ditiru dalam upaya peningkatan wawasan pengetahuan dan dokumentasi seni rupa kita. Namun, kita harus bisa melengkapinya dengan penelitian analitis yang lebih tajam.

Amir Sidharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus