Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Rupa Baru dan Tafsir yang Tidak Baru

Yang diulang-ulang adalah kisah kenekatan dan penentangan seniman muda terhadap guru-guru dan senior mereka.

19 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI Rupa Baru pulang ke Yogyakarta. Galeri R.J. Katamsi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, pada 1-15 Desember 2016 menampilkan sejumlah karya seni rupa yang pernah memicu kontroversi pada 1970-an itu. Tajuk pamerannya aneh, "Menafsir Seni Rupa Baru. Membaca Ulang Perjalanan Sejarah Seni Rupa Baru 1975-1987". Seni Rupa Baru sudah dianggap menjadi bagian sejarah. Tapi manakah versi "sejarah" Seni Rupa Baru yang dimaksud oleh pameran ini? Tidakkah gerakan 1975-1979 itu sudah dinyatakan bubar oleh pendirinya?

Sebagian pelaku Seni Rupa Baru memang berasal dari lembaga pendidikan di Yogya ini (dulu Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, "ASRI", yang sejak 1985 menjadi Institut Seni Indonesia/ISI). Keterlibatan dalam peristiwa Desember Hitam—protes terhadap keputusan juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (1974)—menyebabkan beberapa mahasiswa ASRI dipecat atau mengundurkan diri. Kritik kepada karya Seni Rupa Baru pada masa itu adalah penodaan, upaya merobohkan kebudayaan nasional, kecenderungan pada dehumanisasi seni, serta ekspresi dangkal dan hasil pendidikan yang belum selesai.

Ketimbang meyakinkan kita bahwa ada tafsir ulang atau "baru", pameran ini bahkan tak menampilkan acuan yang terang. Tak ada penjelasan bagaimana menyeleksi dan menampilkan kembali karya-karya "bersejarah" dari masa yang sudah lewat. Yang diulang-ulang adalah kisah kenekatan dan penentangan seniman muda terhadap guru-guru dan senior mereka. Pandangan "sejarah"-nya normatif: perkembangan (seni rupa) yang sekarang tak bisa lain terjadi karena peristiwa di masa lalu (post hoc, ergo propter hoc). Keterangan karya ditulis rancu, mencampurkan karya lama yang citranya sekadar direproduksi, bentuknya dibikin atau "ditafsir" baru, atau ditambal-sulam untuk menunjukkan apa yang dipikirkan senimannya sekarang. Mananya dan apanya yang mesti dibaca ulang? Oleh Siti Adiyati, pameran ini disebut "pameran ulang". Adapun "tafsir" F.X. Harsono untuk peristiwa ini adalah "penanda kembalinya si anak hilang". Mereka adalah seniman Seni Rupa Baru, yang kemudian dilabeli "gerakan".

Menjelang pintu masuk ruang pameran, di samping poster berbingkai kuno, ada karangan bunga tanda perkabungan. Tentu ini segera mengingatkan pada karangan bunga pada 1974, belasungkawa atas "kematian seni lukis kita". Kali ini pesannya berbeda, ditulis dengan "momento mortis". Kesalahan ejaan yang tentunya tidak sengaja. Penulis pesan, Siti Adiyati, memaknainya sebagai "berpikir ulang tentang seni rupa Indonesia sekaligus menerima kematiannya". Pandangan lama yang masih dianggap relevan dengan perkembangan yang sekarang? Atau peringatan atas kematian gerakan itu sendiri?

Karya Dede Eri Supria dengan kanvas berukuran besar, Urbanisasi (1977, 197 x 304 sentimeter), menggairahkan kembali wacana realisme di masa itu. Dede pada usia sangat belia, 21 tahun, memelopori gaya realisme fotografis, memanfaatkan ketajaman lensa kamera untuk memindahkan seluk-beluk kenyataan di atas kanvas. Lukisan Dede menyodorkan citra baru seniman urban yang gagasan dan hidupnya dikepung oleh problem nyata lingkungan dan kemiskinan. Bersebelahan dengan karya Dede, ditampilkan dua cetakan digital Presiden RI 2001 (1979), cetak saring karya Hardi. Sang seniman mengusung potretnya sendiri sebagai jenderal besar, tapi entah kenapa ditampilkan sepasang. Tidak tercantum berapa ukuran karya aslinya dan kenapa karya pop-politik ini direproduksi lagi. Apakah "pameran ulang" dimaksudkan sekadar "reproduksi ulang" karya yang ada?

Dua karya Harsono menampilkan obyek bedil-bedilan, Pistol dalam Plastik (1975) dan Pistol Kerupuk (1977). Keduanya dibuat ulang berdasarkan karya lama. Pistol Kerupuk dipamerkan di sejumlah tempat sejak 2014. Dengan karya inilah Harsono menggeser teks seniman yang semula dianggap otonom ke arah teks berbasis khalayak. Pelbagai opini penonton di ruang pameran menjadi bagian paling bermakna dari karya itu sendiri. Seni Rupa Baru populer antara lain karena kritiknya pada bias kekuasaan dan kemapanan politik Orde Baru.

Lukisan Monalisa dari Indonesia (1979) karya Redha Sorana memparodikan La Gioconda dengan wajah Ibu Tien Soeharto bergaya anggun seperti potret Mona Lisa. Lukisan mantan Ibu Negara ini—dikenal memimpin sejumlah yayasan, pelestari anggrek, dan pencetus proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah (1975)—dibingkai dengan rangkaian anggrek plastik. Karya Ris Purwono berupa papan dan bidak catur, Fragmen 1 dan Fragmen 2, hanya tafsir atas karyanya sendiri (1977). Papan dan bidak-bidak hitam diganti warna jambon, dibikin ulang dengan bahan murahan, gabus (styrofoam).

Masih ada sejumput karya asli, seperti ditampilkan pada sejumlah pameran Seni Rupa Baru, yakni Helm (1975) dan Sepasang F8/A Pair of Pantom (1979) karya Pandu Sudewo. Seni Rupa Baru mendekatkan kita pada rancangan, gambar, dan poster yang selama ini dianggap terpisah dari ekspresi seni, bukan seni rupa. Obyek-obyek itu biasa, bukan khayal yang muluk dan tinggi. Pada seminar Seni Rupa Baru di ISI, 6 Desember lalu, Pandu mengatakan dia adalah "satu-satunya mahasiswa seni rupa yang di masa itu sudah mengekspor peluru kendali". Berasal dari keluarga pejabat tinggi di Jakarta, seniman ini mengurus bisnis suplai senjata keluarganya. Segi visual yang rapi dan terencana juga dihadirkan oleh Anyool Subroto, dengan papan sasaran yang menimbulkan efek rancu pada penglihatan.

Dalam hal kebaruan, tak ada batas antara keseriusan seniman berkarya dan hasrat untuk bermain-main. Gagasan bahwa karya seni tidak niscaya dibebani emosi estetik atau yang sublim datang sangat jelas dari Muryoto Hartoyo. Muryoto membuat ulang karyanya untuk pameran ini, gedek bambu yang dibingkai dan dipajang layaknya lukisan (Main-Main 1). Juga sebidang kanvas yang penuh lubang-persegi dibungkus kain serbet kotak-kotak merah muda (Main-Main 2, 1975). Karya Bonyong Munni Ardhi, The Flag Red and White (1975) dan Meja Belajar (1977), menahbiskan obyek non-estetik sebagai karya seni. Karya "monumental"-nya, Monumen Revolusi Diresmikan oleh Pak Bejo-Tukang Becak (1977), absen dalam pameran ini. Karya Siti Adiyati, Dolanan (1977, 110 x 110 x 300 cm), mengingatkan kita pada lampion damar kurung; dibikin baru dan beroleh pengayaan sosok wayang di sana-sini. Eceng Gondok (1979, 150 x 200 x 130 cm) sungguh-sungguh kolam kecil penuh eceng gondok (Eichhornia crassipes) sungguhan, yang boleh jadi mengilhami karya instalasi site-specific dalam perkembangan kemudian. Sayang, karya-karya instalasi Danarto dan Semsar Siahaan hanya tampil kabur di dalam katalog.

Gagasan seni konseptual yang tetap menarik, menurut hemat saya, adalah Jangan Dibanting (1979) karya Budi Sulistyo. Bentuknya adalah penanda-fisik berupa papan peti kemas yang beroleh konotasi mental sebagai "lukisan". Seni Rupa Baru memperkenalkan kepada kita gagasan anti-estetik. Obyek estetik tidak niscaya mengandaikan pencerapan langsung untuk memperoleh kenikmatan estetik. Karya seni adalah pencarian media baru, segugus paparan, bahkan unsur ketidakhadiran. Terjadi peleburan batas antara pencipta dan pengamat, antara pelaku dan penonton, gagasan yang lazim disebut sebagai "gerhana jarak".

Harsono menulis di katalog bahwa para pelaku Seni Rupa Baru adalah mahasiswa-seniman yang selama beberapa tahun melakukan eksperimen "tanpa bimbingan apa pun". Rata-rata mereka tidak mampu mencerna buku seni rupa berbahasa asing, hanya menyerap gambarnya. Kerisauan para mahasiswa seni rupa Yogya terutama dipicu oleh polemik mengenai identitas seni rupa Indonesia yang tidak berujung-pangkal, sampai awal 1970-an. Pada sesi seminar, Jim Supangkat mengakui, tanpa seniman-seniman Yogya yang cenderung radikal, segala macam penjelasan teoretis Seni Rupa Baru tidak akan ada manfaatnya.

Intuisi yang tajam untuk bergerak ke arah seni rupa yang lebih baru agaknya telah melahirkan gerakan ini. Sesudah lebih-kurang empat dekade, tafsir yang lebih baru ketimbang manifesto para senimannya memang belum juga lahir.

HENDRO WIYANTO, KURATOR DAN PENULIS SENI RUPA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus