Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Menjadi Cantrik Pak MM

19 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
MM_obituari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu malam bulan Juni 1999, di tengah lautan manusia yang memadati alun-alun Masjid Agung Yogyakarta dalam perayaan Grebek Maulid, sejumlah orang menyerbu Pak Mar¡¯ie Muhammad. Mereka berebut mencium tangan, memeluk seraya berucap: Alhamdulillah, Allahu Akbar. Saya bertemu Mister Clean. Bahkan dari kejauhan banyak yang berteriak memanggil: Pak Mar¡¯ie, Mister Clean! Kerumunan itu agak histeris melihat mantan Menteri Keuangan melintasi mereka secara tak terduga.

Cerita Pak MMdemikian kami biasa memanggilnyadirubung massa pada tahun-tahun awal masa pensiunnya bukan satu-dua kali terjadi. Di stasiun kereta, di rumah makan, di puskesmas, di bandar udara, ke mana pun dia pergi, selalu saja orang berebut menyalaminya penuh respek. Ingatan publik tentang reputasi Pak Mar¡¯ie sebagai orang bersih di tengah lingkungan yang korup sangat tajam dan menyebar luas. Itu pula yang menyebabkan teman-teman penggagas Masyarakat Transparansi Indonesia berusaha keras mendekati Pak Mar¡¯ie untuk meminta kesediaannya menjadi patron dalam usaha-usaha penanggulangan korupsi di Indonesia selanjutnya.

Saya bersyukur sejak 1998 mendapat kesempatan berdiskusi, beraktivitas, mengerjakan banyak hal bersama-sama. Selama tahun-tahun itu, saya bersama sejumlah aktivis menempatkan diri sebagai cantrik" yang sedang "ngenger", menuntut ilmu kepada seorang tokoh senior yang sangat dihormati.

Pak MM adalah paradoks: pribadi yang hidupnya sangat sederhana, rileks dalam urusan personal, tapi amat kuat dalam prinsip dan idealisme. Tempat tinggalnya ditata bersahaja, tak ada perabot mahal atau mobil mewah. Olahraga kesukaannya adalah joging. Dalam soal mengambil hak, MM sosok yang ultrakonservatif, sangat berhati-hati. Dalam perjalanan hidupnya, ia seperti sudah melupakan dirinya juga punya hak. Yang dipikirkan adalah memberi, menyumbangkan, dan mengabdikan yang terbaik bagi sesama.

Jiwa aktivisnya tak pernah surut. Setiap ada kegentingan, selalu saja ada yang dipikirkan dan ingin dikerjakannya. Ketika terjadi peristiwa penembakan di Trisakti dan Semanggi pada 1998, MM berkeliling sampai subuh, masuk ke rumah-rumah sakit tempat korban dirawat, untuk meyakinkan bahwa korban diurus sebaik-baiknya.

Di pemerintahan B.J. Habibie, meskipun kedua tokoh berbeda pandangan, Pak MM sangat berperan menyukseskan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan mengambil tanggung jawab sebagai Ketua Tim Pengendali Program JPS. Pak Mar'ie tidak hanya berkutat dengan angka-angka, tetapi juga turun ke lapangan, berkeliling ke pelosok Indonesia untuk meyakinkan program ini tepat sasaran. Program pemulihan krisis perbankan (1998-2002), yang terus dijalankan pasca-Orde Baru, juga tak lepas dari campur tangannya, sebagai penjaga tata kelola (governance), dalam kedudukannya sebagai Ketua Oversight Committee Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Pada 2004, terjadi gempa dan tsunami besar di Aceh dan Nias. MM terbang ke lokasi memimpin operasi tanggap darurat dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, peran PMI di bawah kepemimpinan MM sangat instrumental. Ia membuka jalan kerja sama dan koordinasi yang sangat efektif dengan komunitas Aceh, lembaga donor, dan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional. Duet dua pemimpin tepercaya, Kepala BRR Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto dan Mar'ie, menjadi salah satu kunci sukses rekonstruksi Aceh-Nias yang diakui dunia.

Satu pertanyaan yang menggelayut di antara kami, para pegawai negeri sipil muda pada 1990-an, ketika Pak MM menjabat Direktur Jenderal Pajak dan lantas menjadi Menteri Keuangan era Orde Baru: "Bagaimana mungkin seorang birokrat mampu menjaga kebersihannya, sampai meraih karier tertinggi di tengah suasana pengelolaan negara yang sangat korup?" Pertanyaan itu kami sampaikan dalam suatu diskusi larut malam, ditemani kopi jahe dan singkong rebus.

Jawabnya sungguh mengesankan: "Kalau kita lihat mobil mogok, kita punya pilihan: memandang dari kejauhan sambil berkomentar, ikut cawe-cawe minimal mendorong meminggirkan agar tak mengganggu pemakai jalan, atau membetulkan mobil itu supaya jalan kembali normal." Pak MM melanjutkan: "Saya memilih ikut membetulkan mobil itu, dengan risiko tangan berdebu, kena oli, dan bahkan mungkin bisa lecet-lecet. Tetapi, yang penting, kita cuci tangan sebelum pulang ke rumah. Jangan biarkan debu dan oli melekat ke badan kita. Jangan bawa hal-hal kotor ke rumah tangga kita."

Begitulah Pak Mar'ie. Aktivis dan pejuang sejati itu, yang hingga akhir hayatnya masih terus memikirkan negara dan bangsanya, wafat pada 11 Desember lalu. Ia tidak hanya meninggalkan pelajaran moral, tapi juga karya nyata. MM memilih turun tangan meluruskan berbagai kemencengan, mengatasi berbagai persoalan.

Sudirman Said (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2014-2016)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus