Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FESTIVAL Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat atau KIAS direncanakan berlangsung tahun 1990-1991. Tapi di sektor seni rupa modern masih ada kemacetan. Dalam penawaran pertamanya, kurator 30 museum di AS menyisihkan seni rupa jenis ini dari seluruh paket festival - seperti kesenian klasik tradisional, dan keraton. Belakangan, karena jasa seorang penengah, Dr. Joseph Fischer, lima museum kecil meninjau kembali penolakan itu. Namun hingga kini, belum ada kepastian apakah kelima museum tersebut setuju memamerkan karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia. Fischer masih memperjuangkannya. Kritikus Sudarmaji pesimistis. Anggota panitia KIAS untuk seni rupa modern ini masih menunggu kabar dari Fischer yany Agustus ini ke Indonesia. "Kelihatannya dia mendapat kesulitan," katanya Selasa pekan lalu dalam diskusi Forum Seni Rupa Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan diskusi tersebut dalam rangka Biennale VIII. Pameran ini diikuti pelukis pilihaan dari seluruh Indonesia termasuk kelompok muda. Untuk pertama kalinya penghargaan utama diberikan pada pelukis muda, Boyke Aditya Krishna, 31 tahun. "Posisi seni rupa Indonesia di luar negeri, menurut saya, masih payah. Untuk mendapatkan beberapa museum kecil saja kita harus berjuang amat keras," ujar Sudarmaji. Penyebabnya, karena seni rupa kita tak membuat penemuan, padahal keunggulan seni rupa modern, di mana pun, diukur dari kemampuannya membuat penemuan-penemuan. Ini ukuran nomor satu. Sesudah itu baru keterampilan teknis, daya mengungkapkan gagasan, dan sebagainya. Materi Biennale VIII salah satu contoh perkembangan seni rupa Indonesia. Warna pamerannya menurut Sudarmaji konvensional dan tidak ada sebuah pun memunculkan konsepsi baru. "Pelukis kita seperti cuma mengembangkan konsepsi pelukis-pelukis dunia yang sudah terkenal seperti Mattise, Kadinsky, Salvador Dali." Pendapat Sudarmaji itu mengacu pada pendapat yang sangat umum: salah satu asas seni rupa modern adalah penjelajahan mencari kemungkinan baru. Seni rupa modern dunia pada dasarnya kumpulan perkembangan yang muncul di berbagai penjuru dunia. Ekspresionisme, lahir di Belanda dan Jerman. Impresionisme dan sureallsme muncul di Prancis. Konstruktivisme dirintis oleh seniman Rusia, futurisme dimanifestasikan di Italia. Eropa dominan di masa-masa awal seni rupa modern, karena itu banyak pandangan percaya bahwa seni rupa modern adalah seni rupa Eropa Barat. Sekilas munculnya konsepsi baru di sebuah negara selalu berkaitan dengan munculnya nama negara itu ke lingkaran seni rupa modern dunia. Namun, pada kenyataannyaZ kemunculan itu tidak cuma karena sebuah penemuan baru. Terdapat beberapa faktor lain, yaitu tradisi penulisan dan pemikiran seni rupa di baliknya dan juga berbagai ikhtiar memperkenalkan diri. AS, yang menolak seni rupa modern kita, termasuk pendatang baru dalam lingkaran seni rupa modern dunia. Sampai tahun 30-an perkembangan seni rupa modern di negara ini tidak mendapat perhatian dunia. Corak yang tercatat di forum intcrnasional hanya sosial realisme karena diwarnai spirit lokal - karyanya yang terkenal American Gothic karya Grant Wood yang menggambarkan sepasang petani tua. Baru di tahun 1946, teoretikus Eropa terkenal Clement Greenberg tertarik pada karya-karya pematung David Smith. Menurut catatan kritikus Amerika, Hilton Kramer, inilah awal masuknya seni rupa modern AS ke lingkaran dunia . Namun, bukan cuma perhatian ini penyebabnya. Teoretisi dan kritisi Amerika memanfaatkan momen itu dengan memanifestasikan munculnya seni rupa kontemporer (arti harfiahnya, seni rupa masa kini) di tahun '60-an. Mereka menyebutkan corak ini sebagai pembuka era pascamodern. Kampanye ini berhasil, dan istilah seni rupa kontemporer dengan cepat populer ke seluruh dunia. Sejumlah senirupawan AS, seperti Jackson Pollock, Elsworth Kelly, Claes Oldenburg, dan Isamu Noguchi (keturunan Jepang), tampil sebagai perintis seni rupa kontemporer. Maka, penemuan baru agaknya bukan satu-satunya ukuran untuk menilai mutu seni rupa Indonesia. Termasuk kapasitasnya menembus forum internasional. Yang barangkali lebih penting adalah catatan perkembangan. Dari dasar ini bisa dinilai apakah ada penemuan baru atau tidak. Catatan ini pula yang diperlukan untuk memperkenalkan diri di forum dunia. Namun, kritikus Bambang Bujono berpendapat pencatatan seni rupa kita masih kurang. "Sangat sulit menemukan dokumentasi dan buku yang memadai tentang seni rupa kita," katanya dalam diskusi di TIM pada hari itu. "Dan kenyataan lain, kita tidak mempunyai museum yang cukup lengkap untuk membuat studi perbandingan. " Sedangkan teoritikus Sanento Yuliman mengutarakan, pengamatan seni rupa kita juga tergolong belum berkembang. Di sektor kritik saja, para kritikus sering terjatuh kepada subjektivisme yang mengabaikan dasar-dasar teori kritik seni rupa. Sementara itu, di kalangan pengamat akademis muncul paham-paham absolut tentang mutu seni dan keindahan yang cenderung digunakan untuk menghakimi karyakarya, bukan untuk menggali nilai-nilainya. Seni rupa kita memang masih menghadapi berbagai kesulitan untuk menembus forum internasional. Kita belum memiliki perangkat teori mendasar untuk merekam penemuan baru, dan juga untuk memperkenalkan diri. KIAS seharusnya bisa memacu kesadaran ke arah itu.Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo