Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NYONYA Rachel Cooper sudah muncul di Medan, pekan pertama Agustus ini. Sebagai bagian dari panitia perhelatan besar festival Kebudayaan Indonesia di AS (KIAS), yang akan berlangsung tahun depan, dance-etnolog dari Los Angeles ini berkepentingan mereguk daya pukau musik tradisianal Batak. Dan hidangan buat dia, yang diselenggarakan di rumah impresario Ali Jauhari, memang istimewa. Yakni ensembel gondang sabangunan. Ketika melakukan perekaman melalui kamera video, kaki Rachel tak bisa ditahan lagi mengikuti detak irama sajian malam itu. Sesudah itu ia berdesis, "Sangat fantastis, saya jatuh cinta." Lalu tambah. nya, "Mereka harus main di negeriku." Sebagai komunitas musik, gondang sabangunan (GS) memiliki formasi dengan 8 instrumen. Tapi, adalah taganing (2 gendang besar dan 5 anak endan) dan sarune bolon (seruling dari kayu) yang dikenal sebagai leading instrument. Sedang 4 buah ogung (gong) dan 1 hesek (kepingan logam) tampil sebagai pengiring. Uniknya, taganing dikenal sebagai gendang yang bisa memainkan melodi. Dan jangan kaget jika instrumen musik jenis itu termasuk langka di dunia ini. Lainnya adalah Poeng Mang Khok dari Muangthai, Entenga dari Uganda. Artinya, taganing berbeda dengan gendang, baik yang di Barat atau di Timur, yang hanya berperan sebagai ritem. Manakala GS ditabuh, taganing terdengar riuh. Maklum, repertoarnya kaya dengan notasi yang mulanya terdengar repetitif. Kemudian buntutnya berkembang ke notasi lain dengan tempo yang makin cepat dan pendek. Pada saat ini taganing dan sarune berlomba hingga terdengar heterofoni. Namun, misterinya, tortor (tari Batak) yang diiringi GS itu hadir dengan gerak lamban. Kendati toh getar jemari dan ekspresi raut muka penari terkesan menyembunyikan sesuatu yang juga menggebu. Seolah mirip gerakan nan saking cepatnya - tak lagi terlihat indera mata. Dalam bahasa Rizaldi Siagian, 39 tahun, kedelapan pemusik Batak itu terbilang virtuoso. Dosen etnomusikologi USU Medan ini jadi narasumber KIAS di Medan. Ia melihat, seorang di antara delapan pemusik Batak itu, Marsius Sitohang, 36 tahun, kemampuannya memainkan taganing bahkan setara dengan Billy Cobham, drumer tersohor itu. Para pemusik Batak ini direkrut Rizaldi dari pelbagai kota di Sumatera Utara. Meskipun tak pernah bermain bersama, hari itu mereka tampil harmonis. Kebolehan ini dimaklumi, mengingat mereka memang menyandang tradisi dan konsep kesenian yang sama. Musik Batak memang tak sekadar media hiburan. Ia lebih merupakan ekspresi orang Batak terhadap Tuhannya, Mula jadi Nabolon. Seorang pemain taganing dan sarune, misalnya, digelari pargonsi, setaraf dewa. Mereka diyakini bisa menyapa Tuhan dengan gondang, dan mediator manusia dengan Tuhan. Tapi fungsi itu hanya melekat saat ritual. Setelah itu, mereka kembali seperti sediakala, entah petani atau apa. Diakui oleh Rizaldi, kepercayaan seperti ini amat hidup bagi penganut parmalim alias pelebegu sebuah agama asli orang Batak yang menyembah roh - konon sejak 2.043 tahun lalu. Kendatipun masyarakat Batak umumnya sudah menganut agama samawi, toh musik tradisi tersebut, khususnya di pedesaan, tetap ada. Sebutlah, ketika upacara perkawinan, kematian, atau mangongkal holi sebuah ritual menggali belulang nenek moyang dan menyemayamkannya di bawah sebuah tugu yang indah. Sukar ditelusuri apakah musik Batak juga lahir 2.043 tahun yang lalu. Menurut Rizaldi, sejarahnya lebih bersifat polygenesis. Artinya, setiap etnik di dunia mulanya sudah punya musik tersendiri. Kendatipun saling pengaruh juga terjadi. Lihatlah, misalnya, kesamaan sarune dan nadaswaram - sebuah alat tiup dari India. Kendati nadaswaram lebih besar, bentuk dan bunyinya nyaris sama. Juga sama-sama berfungsi sebagai perangkat ritual - suatu kultur yang berlawanan dengan gaya Amerika. Dengan demikian, musik Batak masuk dalam daftar warisan leluhur yang tidak hanya layak dimasukkan dalam KIAS, tapi wajib pula ditegakkan untuk memperkaya khazanah musik Nusantara. Ini akan merupakan tiket bagi 8 pemusik Batak dari Sum-Ut itu, untuk menyapa publik Amerika. Marsius, bekas tukang becak dan kini dosen USU Medan itu, dan adiknya, Sarikawan, pemain hasapi, tahun lalu sudah pula ikut ke Tongtong Fair di Belanda. Tapi kali ini orang-orang di Pematangsiantar tampaknya akan kehilangan Zubaedah Harahap. Soalnya, sehari-hari di sana ia jualan kacang goreng seraya bernyanyi. Dia adalah bekas primadona opera Batak terkenal, masa sebelum perang kemerdekaan, di bawah Tilhang Gultom almarhum. Ketika Rizaldi menemuinya, Zubaidah berkata, "Kupikir orang macam aku ini tak laku lagi." Maklum, ia tinggal di gudang KUD yang apak dekat Siantar, diterangi lampu teplok yang muram. Padahal, "Mereka aset masa silam kita," kata Ali Jauhari, penyandang dana presentasi musik Batak itu.Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo