Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUAT Mark Michaelson, guncangan itu bukan apa-apa-soalnya dia sering terbang. "Tapi, saya lihat, pramugari sedikit panik," tutur sang istri, Lori Michaelson. Setengah jam kemudian, pesawat DC-10 dari United Airlines terdampar dan terbakar di atas landas pacu bandara Sioux City, Iowa, AS. Suami-istri Michaelson, denan sepasan anak mereka, termasuk 111 penumpang yang selamat.Bencana yang menewaskan 186 orang itu terjadi Rabu, 19 Juli 1989. Belum lagi musibah itu hilang dari ingatan orang, sebuah DC-10 milik Korean Airlines terkapar remuk tak jauh dari bandara Tripoli, Libya. Malapetaka itu terjadi juga pada hari Rabu, 26 Juli 1989. Tercatat 86 tewas dan 112 selamat. Pesawat DC-10 ternyata harus mengalami Rabu hitam untuk ketiga kalinya, 9 Agustus 1989, di bandara Denver, AS. Kali ini tidak ada korban jiwa, tapi satu hal sama, bencana itu juga mengincar di saat-saat pendaratan. Mesin di bagian ekor dikabarkan pecah. Rabu hitam berturut-turut yang menimpa DC-10 dalam satu bulan telah menggoreskan guncangan jiwa pada penumpang dan awak pesawat yang lolos dari maut. Lori Michaelson dan suaminya mungkin tidak mengalami gangguan emosional yang berarti -kedua anak mereka selamat - tapi yang lain menderita stres, berat ataupun ringan. Penderitaan psikis ini juga merebak pada orang lain. Mereka yang duludulu pernah lolos dari maut - ketika kapal terbang yang ditumpanginya mendapat kecelakaan - stresnya kambuh lagi. David Mosal, seorang dokter gigi yang selamat dari kecelakaan pesawat di Dallas tahun silam, sampai kini masih menyimpan trauma. Akibat tragedi DC-10 baru-baru ini, luka jiwa Mosal meruyak lagi. "Saya sudah mencoba melupakannya, tapi kenangan itu tetap membekas," katanya mengeluh. Para pekerja medis dan sukarelawan Palang Merah yang berupaya menolong para korban DC-10 pun tak luput dari tekanan jiwa. Mereka menderita depresi, padahal sebelumnya tampak begitu tabah, bahkan ketika mengangkat mayat yang bergelimpangan. Orang-orang yang berhati mulia itu kini susah tidur. Para psikiater menyebut gangguan jiwa semacam itu sebagai post-traumatic stress alias stres akibat trauma. Sindroma ini timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang luar biasa menakutkan. Gejala ini ditandai dengan sering munculnya kilas balik (flashback) peristiwa itu secara herulang-ulang. Penderita tampak berubah menjadi hiperaktif, tapi mudah tersinggung dan cepat marah. Penderita yang lain sebaliknya berubah "dingin" dan "mati rasa". Ketidakberesan mental ini dapat didiagnosa setelah simptom tadi muncul secara terus-menerus selama sebulan. Tapi ada juga yang menampakkan gejala setelah enam bulan kemudian. Diperkirakan, 10 sampai 40 persen korban yang lolos dari maut bakal menderita stres yang akut karena trauma itu. Ron May, seorang pengacara dari Chicago yang kebetulan selamat dari bencana di Sioux, mengaku mengalami "mati rasa". Pikirannya seperti diteror oleh peristiwa maut itu. Tentu saja kehidupannya seharihari terganggu. Mereka yang menderita trauma DC-10 biasanya dapat digolongkan pada tiga kategori. Sekitar seperempat akan menjadi histeris. Seperempatnya lagi berada pada tahap "sangat terguncang" (deep shock). Sebagian besar sisanya akan menampakkan ketenangan yang luar biasa. Tapi ternyata itu cuma ketenangan semu. Menurut Dr. Jeffrey T. Mitchell, dosen psikologi dari University of Maryland, orang-orang yang "tenang" tadi juga akan mengalami syok berat. "Itu terungkap setelah mereka berkumpul bersama keluarga dan temannya masing-masing," katanya. Sejak itulah ketenangan mereka rontok. Pelan-pelan peristiwa tadi merasuk ke alam pikiran dan meneror balik perasaan mereka. Psikolog Dr. Aphrodite Matsakis berpendapat, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menekan ketegangan mental tadi ialah dengan menghindari segala sesuatu yang dapat mengingatkan pada kecelakaan yang mengerikan tadi. "Misalnya, mereka tak lagi mengenakan warna pakaian yang mereka gunakan ketika kecelakaan itu terjadi," katanya. Mereka juga menghindari parfum yang digunakan atau buku yang dibaca di pesawat yang nahas itu. Pokoknya, mengenyahkan apa saja yang bisa diasosiasikan ke bencana itu. Trauma DC-10 juga menghinggapi calon penumpang. Rekaman peristiwa tragis itu di layar TV, misalnya, telah menimbulkan panik. "Penonton TV mengalami trauma yang sama akutnya seperti yang dialami para penumpang yang lolos dari maut," kata Dr. Mitchell. Kini calon penumpang di AS semakin kritis. Mereka tak lupa menanyakan, pesawatnya jenis apa. Kalau ternyata pesawatnya DC-10, pesanan tiket serta-merta dibatalkan. Mereka akan mencari pesawat lain. Malah kalau jaraknya cuma ratusan kilometer, mereka memilih mobil atau kereta api. Bencana terbesar yang menimpa DC-10 terjadi sepuluh tahun silam. Pesawat itu tersungkur di dekat Chicago dan mengakibatkan seisi pesawat, 271 orang, tewas. Tahun 1974 sebuah DC-10 lainnya jatuh hanya beberapa saat setelah tingal landas dari bandara Orly, Paris. Empat tahun kemudian, lagi sebuah DC-10 terbakar di landas pacu bandar udara Los Angeles. Wajar bila Badan Federal Pengawas Penerbangan AS (FAA) menginstruksikan agar semua DC-10 harus grounded. FAA juga meminta McDonnell Douglas - pabrik pembuat DC-10 - supaya mengkaji ulang kelaikan desain pesawat itu. Langkah serupa memang bisa melumpuhkan banyak maskapai penerbangan. Paling tidak 50 perusahaan penerbangan di dunia mempergunakan sekitar 450 pesawat DC-10. Termasuk Garuda Indonesia, yang mengoperasikan 6 buah DC-10. Memang, sampai kini trauma DC-10 belum merebak ke Indonesia. Agaknya, bukan karena penumpang di sini kebal trauma. Tapi pilihan lain memang tidak ada.Ahmad K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo