Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya: Yustoni Voluntero
Tempat: Galeri Cemeti, Yogyakarta
Waktu: 4 Des 1998-15 Jan 1999
Ada suatu masa ketika semua karya seni harus mencerminkan perjuangan kelas proletar. Itulah genre kesenian yang kemudian dikenal sebagai realisme sosial. Ketika PKI menguasai atmosfer politik Orde Lama, realisme sosial menjadi bahasa ungkap yang wajib dipakai oleh seniman. Sama halnya terjadi ketika rezim Orde Baru memaksakan "pembangunan" menjadi genre politik, semua sistem ekspresi rakyat seolah ditargetkan dalam rangka pembangunan. Maka yang kemudian muncul adalah karya propaganda. Inilah karya seni yang tercipta ketika akal sehat dihambat lewat manipulasi psikologis, dengan hanya menampilkan sisi-sisi ekstrem dari dua kutub yang berlawanan: penguasa versus rakyat. Seolah tak ada pilihan lain.
Adalah Yustoni Voluntero, perupa yang memilih bentuk ekspresi hitam-putih. Pada masa ketika rakyat menghadapi hidup yang sangat berwarna seperti saat ini, ia muncul dengan bahasa ekspresi yang serba dikotomis. Perupa dari Institut Seni Indonesia itu mengambil sudut bidik hubungan hegemonik antara penguasa dan yang dikuasai. Gagasan dasarnya adalah eksploitasi penguasa terhadap rakyat yang tak berdaya. Ia mengidentifikasi rakyat sebagai buruh dan petani. Semua cara dilakukan untuk menguasai rakyat. Maka lahirlah karya seni instalasi yang secara lugas menggambarkan perjuangan rakyat yang mengganyang penindasan oleh penguasa. Ada imaji tanah pertanian yang ditanami benih padi dan ketela—selama pameran tumbuh menjadi tanaman—di dalam ruang pamer Galeri Cemeti. Di dinding bergantungan kanvas lukisan yang lebih mirip poster yang berisi fragmen perjuangan rakyat meraih keadilan.
Lihatlah karya poster di atas kanvas dengan cat minyak itu. Ada figur perempuan dengan tangannya yang panjang merengkuh figur-figur yang menampilkan simbol kaum kerah putih, bakul jamu, tentara, petani dengan topi capingnya, ulama dengan sorbannya. Kemudian ada peta bumi Indonesia yang dipagari kawat berduri. Sementara itu di bagian belakang ada olahan garis yang membentuk landskap berupa gunung, hamparan sawah dan pita merah terentang berisi teks: Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. Teks ini mengingatkan pada yel-yel yang dikumandangkan segelintir mahasiswa radikal yang menggugat kekuasaan Soeharto, jauh hari sebelum mahasiswa di Jakarta turun ke jalan.
Pada karya posternya yang lain, Yustoni menggambarkan salah satu fragmen cara-cara represi penguasa. Ada figur-figur yang terperangkap di dalam karung dengan mata tertutup. Ada sosok tentara dengan bedil terkokang, sementara kepalanya tak berisi apa pun selain sebuah teks: kosong. Kemudian ada adegan seorang dengan mata tertutup dan tangan terbelenggu di belakang, digiring dua orang, dengan todongan pistol ke tempat yang tak jelas. Penonton sudah tahu apa yang tersirat dari adegan ini, tapi Yustoni masih melengkapinya dengan teks di sebuah spanduk bertuliskan "Tema Kegiatan: PENGHILANGAN". Fragmen lain menggambarkan aksi demonstrasi massa yang muncul dari balik ilalang dan bangunan pabrik. Massa yang tak bersenjata ini berhadapan dengan segerombolan aparatus militer lengkap dengan senjata pembunuh. Ada jalan berlumuran darah yang memisahkan dikotomi ini. Sudah jelas siapa yang menindas dan siapa yang ditindas.
Lewat pameran ini, Yustoni bak mengutarakan premisnya tentang cita-cita masyarakat sejahtera. Ada yang sangat ekstrem, semisal pada karyanya yang diberi teks: Indonesia Baru. Menggambarkan sosok petani bertelanjang dada berdiri dengan gaya penuh kemenangan di atas figur feodal sebagai metafora sosok birokrat yang tersuruk di dalam tanah. Sebuah penaklukan yang radikal terhadap penguasa. Tapi ada jalan yang lebih damai lewat semangat "rukun agawe santosa", berupa gambaran petani dan buruh bersalaman dengan pengusaha dan penguasa.
Yustoni adalah sosok perupa yang juga sekaligus seorang aktivis. Ia terlibat aktif dalam aksi-aksi mahasiswa radikal yang menentang represi politik rezim Soeharto. Karyanya selama ini memang cenderung mengeksplorasi gagasan perjuangan melawan penindasan pada masa pemerintahan Soeharto. Saat itu karya propaganda semacam ini mungkin sebuah keharusan. Tapi, ketika atmosfer politik sudah lebih berwarna, ekspresi hitam putih mungkin bukan lagi pilihan yang wajib.
R. Fadjri dan L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo