Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam tahun baru lalu saya terpaksa tetap di tempat tidur selama dua minggu karena migrain parah. Setiap pagi dengan lampu mati dan tirai tertutup rapat, saya membuka Netflix untuk melihat acara apa yang ditawarkan layanan streaming film dan TV itu. Saat mulai terjaga dari tidur, saya menonton semuanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara yang sedang tayang saat itu adalah Spinning Out, drama remaja tentang pemain skateboard yang mengidap gangguan bipolar; Virgin River, kisah romansa wanita Los Angeles yang pindah ke pedesaan demi "awal baru"; You, cerita seorang penguntit sosiopat yang mengurung wanita yang dia kencani di penjara kaca. Tak ada yang menarik bagi saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata waktu yang saya habiskan di Netflix selama hari-hari suram tanpa akhir dalam celana olahraga itu adalah pertanda dari apa yang akan terjadi di masyarakat beberapa minggu kemudian. Pandemi virus corona dengan begitu cepat mengambil alih kehidupan sehari-hari masyarakat, dan kejadian ini tiba-tiba terasa seperti film fiksi ilmiah, meskipun di salah satu film tersebut digambarkan bahwa berdiam di rumah saja --menghabiskan waktu menonton TV, atau menjadi couch potato-- termasuk tugas kewarganegaraan.
Maka tidak mengherankan di masa kini orang-orang beralih ke layar mereka demi sebuah koneksi, atau demi mendapat kembali kendali di dunia yang di mana sedikit sekali hal yang bisa dikendalikan. Karena larangan keluar rumah untuk bersosialisasi, pemuda-pemudi di China mengadakan pesta online dengan set DJ lengkap. Orang-orang Amerika yang khawatir akan wabah terpaku pada berita TV kabel untuk mendapat berita terbaru tentang virus corona.
Menurut perusahaan riset pertelevisian Alphonso, hal ini membuat jumlah penonton naik hingga 50 persen. Film Steven Soderbergh berjudul Contagion yang hampir berusia 10 tahun juga menjadi sangat populer di Netflix. Film yang diperankan oleh Gwyneth Paltrow dan Jude Law itu bercerita tentang perjuangan manusia melawan virus mematikan.
Perusahaan televisi secara tidak sengaja seperti sudah bersiap untuk momen ini selama bertahun-tahun dengan membuat lebih banyak program siaran dari yang bisa diterima oleh konsumen. Bahkan jika saya menghabiskan sepanjang hari selama 2019 dengan menonton semua serial, akan masih ada ratusan acara lain yang tidak bisa saya tonton.
Tahun lalu industri pertelevisian di AS membuat 532 program orisinal, dua kali lipat dari yang dibuat delapan tahun lalu sebanyak 266. Setelah bertahun-tahun menjadi pemain pinggir, perusahaan raksasa seperti Disney dan Warner mengikuti Netflix yang menggelontorkan miliaran dolar untuk memenangkan masa depan pertelevisian. Amazon dan Apple, dua perusahaan terkaya di dunia, melakukan hal yang sama, menghasilkan siaran TV yang tidak ada habisnya. Hollywood menghabiskan sekitar 120 miliar dolar untuk membuat acara orisinal mereka tahun lalu. Disney sendiri mengeluarkan 28 miliar dolar untuk membangun senjata perang mereka bernama Disney+ demi mengalahkan Netflix.
"Belum diketahui jelas bagaimana sebuah acara bisa menjadi populer. Semua orang hanya membuat program dan melemparnya ke publik, lalu menunggu program mereka bekerja." Cyma Zarghami
***
Sebagai seorang reporter bisnis, saya bertugas untuk secepatnya menyelidiki apakah investasi-investasi tertentu akan membuahkan hasil. Tetapi sebagai penonton, saya semakin bertanya-tanya bagaimana pilihan siaran televisi yang tak terbatas itu mempengaruhi budaya secara luas.
Beberapa pakar media berpendapat bahwa akhir satu era pertelevisian terjadi saat serial Game of Thrones ditayangkan di layanan streaming HBO selesai tahun lalu. Ini terjadi setelah acara The Wire dan Mad Men dengan kualitas sinematiknya untuk layar kaca mendapat pujian bahkan dari para kritikus.
Penulis TV Brett Martin pada 2013 melihat televisi sebagai "bentuk seni khas Amerika" di dekade pertama tahun 2000-an, "setara dengan film-film Scorsese, Altman, Coppola dan lainnya pada tahun 1970-an".
Hampir sepanjang tahun lalu, saya bertanya pada petinggi-petinggi Hollywood mengenai bisnis televisi di masa kini. Di saat startup Silicon Valley dan media lama berebut jatah untuk muncul di layar kita, apa yang terjadi pada masa kejayaan televisi?
Dulu, program televisi terikat pada jadwal siaran dengan durasi tertentu untuk diisi. Para produsen tahu persis berapa banyak program yang harus mereka ciptakan, tanpa motivasi untuk memproduksi lebih dari yang seharusnya.
Tetapi perusahaan layanan streaming besar tidak memiliki jadwal siaran terikat seperti itu: mereka bisa membuat program TV sebanyak yang mereka inginkan, menyiarkannya secara online dan menunggu yang akan terjadi. Ini berarti mereka bertaruh pada ratusan jam program yang “mungkin tanpa penonton”, kata Jonathan Taplin, seorang produsen yang meraih nominasi Oscar. “Jumlah penonton tetap . . . Kita tidak membuat orang baru.”
Salah satu mantan kepala eksekutif perusahaan TV besar berterus terang: “Rasanya seperti kita memasuki era monoton secara besar-besaran. . . ada banyak sekali siaran yang berkualitas 'biasa saja' di luaran sana.”
Ini sama seperti yang saya perhatikan selama berminggu-minggu menikmati Netflix. Selain beberapa seri dokumenter yang ditonton banyak orang baru-baru ini, seperti Cheer yang berkisah tentang kehidupan pemandu sorak, dan Tiger King mengenai kisah nyata eksploitasi hewan, tidak ada orang lain yang menonton acara yang saya tonton. Atau bahkan pernah mendengar acara-acara itu.
“Pertelevisian menjadi tidak berkembang karena tingginya kuantitas acara saat ini,” kata Cyma Zarghami, mantan presiden saluran TV anak-anak Nickelodeon yang baru-baru ini membuka perusahaan produksinya sendiri. “Biasanya dulu kita membuat 20 episode, lalu 40 episode, dan berlanjut dengan memproduksi T-shirt dan pasta gigi. Begitulah sebuah program hit lahir. Kini, belum jelas bagaimana sebuah siaran di layanan streaming dapat dikatakan populer. Semua orang hanya membuat konten, melemparkannya ke publik, dan melihat bagaimana siaran mereka akan bekerja.”
Salah satu contohnya adalah Quibi, layanan streaming baru yang didukung dengan 1,8 miliar dolar dari Alibaba, Goldman Sachs, dan beberapa studio top Hollywood. Program debutnya meliputi: acara renovasi rumah mengenai cara-cara "menghilangkan noda" dari rumah bekas terjadi pembunuhan, mengubah rumah yang "tidak sehat menjadi luar biasa"; acara kontes memasak di mana para kontestan ditembaki makanan misterius dari meriam; dan acara realitas mengenai rumah anjing yang dimodifikasi khusus berjudul Barkitecture.
Bulan lalu saya seharusnya terbang ke London untuk menghadiri acara peluncuran streaming megah sekelas Hollywood lainnya. Ratusan wartawan dari seluruh dunia akan berkumpul dan menyaksikan gala besar Disney untuk Eropa. Tapi agenda itu dibatalkan; pandemi memaksa perusahaan hiburan terbesar di dunia itu untuk mempromosikan layanan streaming barunya, Disney+, melalui media sosial.
Selama saya menulis tentang perusahaan-perusahaan media AS untuk FT, acara itu akan menjadi yang keenam yang saya ikuti dalam waktu kurang dari setahun ini. Penyajiannya sangat seragam, diadakan di tempat-tempat nostalgia Hollywood untuk mengingatkan kita pada seberapa lama perusahaan-perusahaan ini telah mempengaruhi budaya kita. Untuk acara peluncuran di AS, Disney memilih panggung musik tempat The Sound of Music difilmkan; NBC Universal memilih set acara Saturday Night Live; dan Warner Media membawa jurnalis dalam tur kereta golf di studio Warner Bros-nya, dengan pemandu yang menunjukkan set Gone with the Wind dan Friends.
Selama berjam-jam, para petinggi perusahaan menampilkan PowerPoint berisi daftar program TV atau film yang akan tayang di layanan streaming mereka dan prediksi mereka tentang berapa juta pelanggan yang akan mendaftar — jumlah yang mereka hitung setelah kerugian terencana sebesar miliaran dolar terlewati dalam beberapa tahun ke depan. Anggaran yang lebih besar menghasilkan harga saham yang lebih tinggi untuk perusahaan hiburan raksasa ini, hadiah untuk semua pemborosan fiskal.
Sistem yang terbalik ini bisa ditelusuri kembali ke dekade saat tingkat suku bunga rendah, yang memungkinkan Netflix meminjam milyaran obligasi sampah atau junk bond untuk membiayai pengeluarannya berlebihan, yang juga pada akhirnya diikuti setiap perusahaan media lain. Kebangkitan gejala yang serupa dengan 'demam emas' di masa kini tersebut hampir sepenuhnya dapat ditelusuri kembali ke tahun 2013 ketika Netflix membayar dua seri film thriller politik berjudul House of Cards seharga 100 juta dolar. Acara yang dipuji luas ini mengukuhkan Netflix sebagai pemain sekelas Hollywood di industri media, dan juga memperlihatkan strateginya selama bertahun-tahun, yaitu menghabiskan banyak uang untuk mengalahkan pesaing.
Netflix menghabiskan 15 miliar dolar untuk produksi program tahun lalu, membakar 3,3 miliar dolar tunai dan mengambil utang jangka panjang hingga 14,8 miliar dolar — sebuah dinamika di mana perusahaan layanan streaming menjanjikan keuntungan tinggi pada para investor seiring kenaikan jumlah langganan.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi perusahaan media lama untuk menyadari bahwa Netflix sebenarnya bukan distributor baru yang ramah, melainkan ancaman eksistensial terhadap bisnis mereka. Disney akhirnya menarik film-filmnya dari Netflix pada 2017. Beberapa tahun terakhir, perusahaan lainnya mengajukan gugatan, yang kemudian menyebabkan persaingan gila-gilaan dalam membangun layanan streaming baru.
Ekosistem produksi juga dihantam budaya penyiaran yang berlebihan. Produser Get Out, Jason Blum, baru-baru ini menjelaskan bahwa produser sebenarnya terpacu untuk membelanjakan lebih banyak uang karena perusahaan streaming membayar mereka dari persentase budget program, bukan dengan pembagian keuntungan yang didapat di masa depan. "Dari cara mereka membayar kami, penyedia layanan streaming seakan menyuruh kami untuk membuat serial TV dan film semahal mungkin," ujarnya. “Jika kami punya film seharga 15 juta dolar untuk ditayangkan di layanan streaming, maka kami bilang kami membuatnya seharga 40 juta dolar. Kenapa tidak?”
Eli Holzman, produser acara hit seperti kontes mode Project Runway, berkata: "Motivasi yang menyimpang ini sangat sulit untuk dihapuskan dari bisnis” — ada "perubahan besar" dalam pendistribusian untung di bisnis TV masa kini karena Netflix merusak model pembagian keuntungan yang ada selama ini.
Netflix menawarkan sejumlah besar uang untuk program, tetapi penyedia jasa streaming seperti biasanya memiliki kepemilikan atas kekayaan intelektual, yang berarti produser atau rumah produksi tidak akan mendapat untung banyak jika program mereka pada akhirnya mencetak keberhasilan. Sementara acara populer seperti Seinfeld membuat produser Larry David memperoleh jutaan dolar karena royalti yang didapat beberapa dekade setelah penayangannya berakhir, “keuntungan itu sekarang disimpan oleh platform [penyedia streaming]”, kata Holzman. “Kami semua diam-diam berkata, tidak akan ada lagi orang yang akan kaya karena membuat beberapa acara, seperti yang dialami [produser Cosby Show] Tom Werner dan Aaron Sorkin.”
Televisi telah berkembang jauh selama seabad terakhir, dari kemunculan TV berwarna pada 1950-an hingga TV kabel yang menelurkan ratusan saluran channel ke rumah-rumah di Amerika — yang pada akhirnya hanya untuk dibongkar media streaming masa kini.
Tahun 1990-an dan awal 2000-an, ada banyak pilihan program televisi setelah perusahaan papan atas seperti HBO dan Showtime menggenjot produksi mereka, dan ketika drama seri seperti Sex and the City mencapai puncak tertinggi popularitas. Revolusi ini bertahan sampai tahun 2000-an, karena program-program canggih seperti Mad Men membuat TV sebagai kekuatan budaya semakin dianggap sama kreatifnya seperti film. Tapi semua itu tidak berarti jika dibandingkan dengan jumlah tayangan dan pengeluaran dolar saat ini.
Di antara para petinggi Hollywood lama, tidak ada yang bisa menunjukkan preseden yang dapat diandalkan di era ini. Hal ini dapat dibandingkan era dengan masa awal TV kabel, ketika penonton tiba-tiba dibanjiri dengan banyak saluran acara dan jaringan seperti Discovery dan A&E bergegas mengisi ratusan jam tayang.
Tim Brooks telah menghabiskan empat dekade karirnya untuk bekerja di jaringan TV termasuk NBC dan USA Network, di mana ia mengawasi lonjakan program asli saat saluran TV tersebut berusaha untuk bangkit lebih dari sekedar menayangkan ulang siaran bergenre komedi.
Tetapi tidak seperti perang streaming hari ini, revolusi TV kabel lebih “stabil secara finansial”, ujar Brooks. Di USA Network, program baru “jarang menghasilkan uang di penayangan awal, tetapi kita bisa memutarnya terus yang mana tentunya akan menghasilkan uang. Anda membayar 10 juta dolar untuk periode pertama penayangan, dan pada akhirnya Anda harus mendapatkan 10 juta dolar itu kembali,” katanya. “Sedangkan di jaringan streaming, pertanyaannya: bisakah Anda mendapatkan pelanggan? Jaringan streaming itu ibarat gelembung.”
FT/ Ilustrasi oleh Firdhy Esterina
John Landgraf, seorang kepala eksekutif FX, jaringan TV di belakang Atlanta dan Fargo, lima tahun lalu menyatakan bahwa perusahaannya telah mencapai puncak dan gelembung itu akan segera meledak.
“Sederhananya, ini terjadi karena banyak program televisi,” katanya saat tur musim panas Television Critics Association. “Saya kira puncak TV di Amerika akan terjadi pada 2015 atau 2016, dan kita akan mulai mengalami penurunan di tahun setelahnya dan seterusnya.”
Namun, jumlah acara TV menggelembung lebih dari 37 persen sejak itu. Dan Landgraf, bos TV kabel yang suka blak-blakan itu, sekarang bekerja untuk perusahaan layanan streaming yang dulu ia hina. Sebagai bagian dari akuisisi Fox akan acara-acara Disney yang laris, ia ditugasi untuk menayangkannya melalui Hulu.
"Dari cara mereka membayar kami, penyedia layanan streaming seakan menyuruh kami untuk membuat serial TV semahal mungkin." Jason Blum
Produksi tinggi dan menguntungkan itu kini berhenti mendadak dalam beberapa pekan terakhir seiring dengan instruksi untuk tetap di rumah karena pandemi virus corona.
Seri baru program hit mulai dari Succession milik HBO, Stranger Things milik Netflix, dan acara yang lebih baru seperti Morning Show milik Apple akan tertunda sebagaimana banyak Hollywood yang ditutup. Seorang analis, yang minggu lalu memperkirakan bahwa kita akan mendapat rekor baru untuk produksi televisi tahun ini, sekarang memprediksi jumlah program baru akan berkurang setidaknya setengahnya. Ini terjadi karena studio atau rumah produksi bersiap dengan kemungkinan mereka tidak akan dapat membuat program baru untuk waktu yang lama.
Tetapi anehnya, kebijakan lockdown itu mungkin menopang layanan streaming baru untuk sementara waktu. Ini terutama berlaku untuk perusahaan yang memiliki katalog acara tebal, yang membuat mereka tidak bergantung pada produksi acara baru. Saat saham di seluruh dunia anjlok dalam beberapa pekan terakhir, saham Netflix justru naik. Kehidupan sehari-sehari masyarakat yang terhenti merupakan hal buruk untuk sebagian besar perusahaan, tapi justru ini hal baik untuk mereka yang bekerja di bisnis hiburan.
Netflix menghentikan semua aktivitas produksinya mengikuti aturan pembatasan interaksi sosial. Sejauh ini, para investor yakin bahwa tingginya anggaran yang dikeluarkan perusahaan selama bertahun-tahun berarti bahwa mereka punya banyak program segar untuk beberapa bulan ke depan tanpa memproduksi acara baru.
Di suatu waktu, "menghentikan produksi akan menjadi masalah bagi Netflix", kata Rich Greenfield, mitra kelompok riset media LightShed. "Tetapi jika kita sampai pada momen itu, kita mungkin akan menghadapi masalah yang jauh lebih besar."
Artikel ini pertama dimuat di Financial Times pada 17 April, 2020.
Penerjemah: D. E. Muthiariny
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo