Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seniman memang berjualan

Pasar seni ancol, jakarta selain menjual karya seniman, juga menyajikan berbagai macam atraksi untuk menarik pengunjung, al: pertunjukan musik, drama, film dan perlombaan. (kbd)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH~~ banyak yang datang ke P~asar Seni (Ancol, Jakarta) sejak perdagangan seni itu dilokalisir 28 Pebruari 1975. Dulu tempatnya di belakang Teater Mobil dengan gubuk-gubuk yang sederhana sekali. Sekarang sejak 17 Desember menempati areal 4 Ha dengan bangunan-bangunan baru yang berharga Rp 370 juta. Letaknya sudah dekat dengan pintu masuk. Ide pasar seni digagas oleh Suluh Dumadi (36 tahun) -- melihat seniman-seniman Bandung dan Jakarta punya kebiasaan menjual barang secara musiman saja. "Lalu saya mikir, seniman itu potensiil," kata Dumadi. Ia main tanya kiri-kanan, lalu mendapat jawaban. Bahwa kebutuhan sebuah pasar memang nyata. Agaknya seniman tidak perlu berbohong lagi bahwa mereka juga pedagang biasa, seperti juga pedagang sayur, buah atau barang kelontong. Mereka perlu mendapat tempat untuk kontak dengan pembeli. Seniman-senimah besar jangan marah lho -- sebab anda juga jualan, kan? Festival Ngamen Hanya berbeda dengan pasar yang lain, Pasar Seni mungkin salah satu kompleks paling bersih di Indonesia. Bangunan-bangunannya bergaya. Seniman-seniman di situ bisa dihubungi 24 jam nonstop. Tukang sapu setiap kali mondar-mandir untuk mempertahankan kestabilan kebersihan. Fungsinya, di samping tempat untuk berjualan, juga untuk rekreasi dan pameran. Di sana sering ada pertunjukan musik, drama, film karton atau perlombaan. Main corat-coret tidak dilarang, tapi disediai sebuah tempat khusus. Sehingga tidak mengganggu kestabilan kompleks itu sebagai taman. Jumlah pengunjung Pasar Seni cukup menggembirakan. Tahun 1976 8,7 juta. Tahun berikutnya naik sampai 8,9 juta. Dapat dipastikan para pengunjung tahun ini, dengan kompleks yang lebih parlente -- kalau tidak bisa dikatakan mewah -- akan menanjak terus. Sayang sekali pemasukannya masih belum ada. Dumadi menganggapnya masih bersifat sosial. Seniman-seniman Bandung, Yogya, Cirebon dan Jakarta yang bercokol di situ, masih menyewa kios-kios dengan harga sangat enteng. Tak heran kalau pemasukan hanya sekitar Rp 2 juta seminggu. Sementara biaya listrik saja sudah mencapai Rp 3,5 juta -- seminggu. Tiap orang di situ menyewa tempat seluas 12¬ mÿFD, dengan harga Rp 350 satu hari. Sudah diperlengkapi dengan listrik. Banyak di antaranya pelukis muda dari Yogya. Gaya lukisan mereka, kalau tidak batik, adalah "gaya Pasar Seni". Yakni lukisan ilustratif di atas kertas buffalo. Ada juga pelukis potret yang siap melukis setiap pengunjung dalam tempo 1 jam. Salah seorang dapat pula menggunting kertas hitam dengan mahirnya meniru profil setiap pengunjung. Barang kerajinan mendapat tempat leluasa juga di pasar ini. Para pengrajin, dalam satu kios kadangkala 3 kali ganti orang -- dalam 1 bulan. Sebab mereka kan harus kembali ke sanggar mereka untuk menerima pesanan para konsumen. Beberapa buah kios yang agak besar, dengan sewa yang lain, kelihatan permanen. Sementara yang non-se~ni -- seperti teh botol, tahu, sate, roti d~an makanan lain -- ikut juga menjadi warga negara situ. Kalau tidak berhati-hati mungkin sekali pasar seni kelak bisa berubah menjadi semacam taman hiburan biasa. Sebagai pasar, kompleks ini masih belum komersiil. Banyak orang datang tapi paling hanya lihat-lihat, pegang-pegang, nawar-nawar, lalu makan dan pergi. Ini salah satu sebabnya, kenapa diadakan pancingan berbagai macam atraksi. Pada hari minggu misalnya, diadakan apa saja yang bisa menggembirakan. Sedang sejak 22 April yang lalu dicoba pula mengadakan apa yang dinamakan 'Festival Ngamen'. Kegiatan tersebut berakhir 30 April. Tak kurang dari Emil Salim, Jenderal Surono, Tjokropranolo, Ruslan Abdul Gani, Prof. Muchtar Kusumaatmadja sempat menjenguk festival tersebut. Ada 30 buah grup ngamen yang bertanding: separuhnya profesional, sebagian lagi ba~u dibentuk dengan spontan karena ada festival. Jenisnya macam-macam. Keroncong, kecapi suling, siteran Jawa, dangdut, dan kuda lumping. Acara ini ternyata berhasil juga mengundang banyak penonton. Yang dinilai adalah: mutu aransemen, kekompakan, penampilan kostum, dan gaya. "Ini bakal dijadikan kalender acara Dinas Pariwisata," kata Dumadi. Bagus ya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus