Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sisa-Sisa Gelodog

Ida Bagus Ketut Gelodog, pembuat topeng dan penari Bali, meninggal dunia. Gelodog dikenal sebagai perintis perubahan pembuatan topeng dari model wayang ke model manusia. (kbd)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB seniman, kalau tidak mabuk sanjungan pasti mati kesepian. Demikianlah kepergian Ida Bagus Ketut Gelodog, 4 Maret yang lalu, di RSUP Sanglah Denpasar, bikin ngeres. Tidak seperti kepulangan Cokot dan Pugra yang mendahuluinya, Gelodog seakan menghilang diam-diam. Padahal inilah dedengkot nomor satu pada masa ini dalam soal pembuatan topeng -- sekaligus penari -- di Bali. Tak ada ucapan berduka cita di koran setempat. Tubuhnya yang kaku, diangkut dengan sederhana ke Mas, Gianyar, hanya oleh keluarga dan anak-anaknya. Demikian juga upacara penguburannya. Bali seakan tak sadar, salah satu puteranya yang terbaik sudah disensor Hyang Widhi. Realisme Pada masa hidupnya, Gelodog seorang penari yang hebat. Dalam soal topeng dia seorang perintis. Ia sempat meninggalkan kejutan dengan merobah model wayang kepada model manusia. "Dahulunya aji (ayah) membuat topeng dalam gaya wayang. Lalu dirubahnya menjadi bentuk-bentuk realistis seperti wajah manusia yang sebenarnya," kata Ida Bagus Anom, putera Gelodog yang berusia 25 tahun. Realisme topeng yang dibawa Gelodog diteruskan Ambara, putera Gelodog yang lain. Ia benar-benar melanjutkan perombakan yang dilakukan ayahnya. "Karya kakak saya itu sudah berbentuk manusia. Tetapi topeng yang saya buat sendiri masih tetap kewayang-wayangan," kata Anom. Adakalanya Anom memakai juga bentuk realistis tapi hanya terbatas pada topeng bebondesan -- topeng untuk adegan-adegan lucu. Beda antara gaya klasik alias wayang dengan gaya (Gelodog memang samar. Yang pertama tampaknya lebih tampan, agak lonjong, lebih lunak serta lembut. Sedang gaya Gelodog keras, ekspresinya muncul dengan guratan-guratan yang lebih berani. Sering dapat menangkap kejenakaan yang dapat dirasakan setiap orang. Artinya lebih lanjut: di sini topeng bukan hanya simbol dari cerita tapi juga bagian dari kehidupan yang ada. Anom amat merasa sayang karena tidak banyak memiliki karya Almarhum. Yang masih ada kini cuma Topeng Gajah Mada, Pakem, Dalem. Topeng-topeng ini menurut pengakuannya tidak mungkin bisa ditiru baik oleh Ambara Sutardja maupun Anom sendiri -- meski mereka tetesan darah Gelodog. Di samping itu ada juga topeng Durga dan Garuda yang merupakan bagian dari sisa-sisa kehebatan Gelodog. Karya-karya yang lain, yang lebih baik, entah di mana tersebar. Ada yang dibeli, ada juga yang hanya disumbangkan. Sekarang, di rumah Gelodog di Mas, dipancangkan papan reklame Mask Exhibition Ida Bagus Gelodog. Tapi topeng-topeng di situ dikerjakan anak-anaknya. Terutama Anom yang tergolong paling produktif. Gelodog yunior ini terus terang bilang ia tidak bermaksud main "idealis-idealis"an. Ia sibuk bergumul dengan kayu dan bikin banyak topeng yang sedan disukai turis. Namun ia masih berusaha mengelak dari barang kodian. "Topeng saya masih lebih bermutu dan kentara bedanya," kata Anom. Babi Beda topeng pasaran dengan topeng scntuhan seorang seniman, tldak hanya pada kehalusan. Tapi juga pada pewarnaan. Anom menjelaskan betapa rumitnya membuat warna topeng menurut cara tradisionil. Bahan bakunya tulang babi. Dibakar di atas bara api serabut kelapa. Api tidak boleh sampai menyala, sedang tulang itu sendiri tidak boleh sampai hitam. Kalau hitam, berarti gagal, dibuang saja. Tulang babi yang sudah dibakar itu kemudian ditumbuk halus-halus. Tentunga dicampur dengan hancur yang dapat ditemukan di toko-toko Cina -- fungsinya sebagai lem. Harganya Rp 700, tapi sulit dicari sekarang. Ramuan inilah yang dipoleskan pada topeng -- tapel -- sehingga mendapat warna putih mengkilap yang ditanggung tidak luntur. Warna hitam didapat dari kotoran hitam pada cerobong lamu teplok, dicampur dengan hancur tadi. Sedang warna merah dari sejenis batu. Anom mewarisi batu ini dari Gelodog. Namanya tidak ketahuan, sehingga warisan itu jadi sangat berharga. "Syukurlah jarang topeng pakai warna merah," kata Anom. Anom dan saudara-saudaranya tak pernah membuat topeng suci yang disimpan di pura. Gelodog pada masa hidupnya pernah melakukannya, dan sering berhasil. Ukuran berhasil dalam hal ini tentu saja amat lain. Topeng semacam itu bernilai spirituil. Sejak mulai dari mencari kayu sudah harus diperhitungkan hari baik dan pakai sesajen segala. Dalam membuatnya pun ada pantangan-pantangan yang rumit. Ini agaknya sudah amat bertentangan dengan arus kesenian di Bali sekarang yang jelas-jelas dijadikan ladang untuk menjadi kaya. Menjadi anak orang hebat rupa-rupanya memang berat. Kalau tidak lebih hebat dari bapaknya, bisa dianggap tukang bonceng. Sebagaimana juga Pemahat Ida Bagus Tilem, yang dicurigai membonceng ketenaran ayahnya Ida Bagus Nyana, anak-anak Gelodog juga mendapat sentilan bahwa mereka hanya kena arus sang bapak. Satu hal yang bisa bikin kecil hati, tapi juga satu peluang yang baik untuk melejit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus