NASIB seniman, kalau tidak mabuk sanjungan pasti mati kesepian.
Demikianlah kepergian Ida Bagus Ketut Gelodog, 4 Maret yang
lalu, di RSUP Sanglah Denpasar, bikin ngeres. Tidak seperti
kepulangan Cokot dan Pugra yang mendahuluinya, Gelodog seakan
menghilang diam-diam. Padahal inilah dedengkot nomor satu pada
masa ini dalam soal pembuatan topeng -- sekaligus penari -- di
Bali.
Tak ada ucapan berduka cita di koran setempat. Tubuhnya yang
kaku, diangkut dengan sederhana ke Mas, Gianyar, hanya oleh
keluarga dan anak-anaknya. Demikian juga upacara penguburannya.
Bali seakan tak sadar, salah satu puteranya yang terbaik sudah
disensor Hyang Widhi.
Realisme
Pada masa hidupnya, Gelodog seorang penari yang hebat. Dalam
soal topeng dia seorang perintis. Ia sempat meninggalkan kejutan
dengan merobah model wayang kepada model manusia. "Dahulunya aji
(ayah) membuat topeng dalam gaya wayang. Lalu dirubahnya menjadi
bentuk-bentuk realistis seperti wajah manusia yang sebenarnya,"
kata Ida Bagus Anom, putera Gelodog yang berusia 25 tahun.
Realisme topeng yang dibawa Gelodog diteruskan Ambara, putera
Gelodog yang lain. Ia benar-benar melanjutkan perombakan yang
dilakukan ayahnya. "Karya kakak saya itu sudah berbentuk
manusia. Tetapi topeng yang saya buat sendiri masih tetap
kewayang-wayangan," kata Anom. Adakalanya Anom memakai juga
bentuk realistis tapi hanya terbatas pada topeng bebondesan --
topeng untuk adegan-adegan lucu.
Beda antara gaya klasik alias wayang dengan gaya (Gelodog memang
samar. Yang pertama tampaknya lebih tampan, agak lonjong, lebih
lunak serta lembut. Sedang gaya Gelodog keras, ekspresinya
muncul dengan guratan-guratan yang lebih berani. Sering dapat
menangkap kejenakaan yang dapat dirasakan setiap orang. Artinya
lebih lanjut: di sini topeng bukan hanya simbol dari cerita tapi
juga bagian dari kehidupan yang ada.
Anom amat merasa sayang karena tidak banyak memiliki karya
Almarhum. Yang masih ada kini cuma Topeng Gajah Mada, Pakem,
Dalem. Topeng-topeng ini menurut pengakuannya tidak mungkin bisa
ditiru baik oleh Ambara Sutardja maupun Anom sendiri -- meski
mereka tetesan darah Gelodog. Di samping itu ada juga topeng
Durga dan Garuda yang merupakan bagian dari sisa-sisa kehebatan
Gelodog. Karya-karya yang lain, yang lebih baik, entah di mana
tersebar. Ada yang dibeli, ada juga yang hanya disumbangkan.
Sekarang, di rumah Gelodog di Mas, dipancangkan papan reklame
Mask Exhibition Ida Bagus Gelodog. Tapi topeng-topeng di situ
dikerjakan anak-anaknya. Terutama Anom yang tergolong paling
produktif. Gelodog yunior ini terus terang bilang ia tidak
bermaksud main "idealis-idealis"an. Ia sibuk bergumul dengan
kayu dan bikin banyak topeng yang sedan disukai turis. Namun ia
masih berusaha mengelak dari barang kodian. "Topeng saya masih
lebih bermutu dan kentara bedanya," kata Anom.
Babi
Beda topeng pasaran dengan topeng scntuhan seorang seniman,
tldak hanya pada kehalusan. Tapi juga pada pewarnaan. Anom
menjelaskan betapa rumitnya membuat warna topeng menurut cara
tradisionil. Bahan bakunya tulang babi. Dibakar di atas bara api
serabut kelapa. Api tidak boleh sampai menyala, sedang tulang
itu sendiri tidak boleh sampai hitam. Kalau hitam, berarti
gagal, dibuang saja.
Tulang babi yang sudah dibakar itu kemudian ditumbuk
halus-halus. Tentunga dicampur dengan hancur yang dapat
ditemukan di toko-toko Cina -- fungsinya sebagai lem. Harganya
Rp 700, tapi sulit dicari sekarang. Ramuan inilah yang
dipoleskan pada topeng -- tapel -- sehingga mendapat warna putih
mengkilap yang ditanggung tidak luntur. Warna hitam didapat dari
kotoran hitam pada cerobong lamu teplok, dicampur dengan hancur
tadi. Sedang warna merah dari sejenis batu. Anom mewarisi batu
ini dari Gelodog. Namanya tidak ketahuan, sehingga warisan itu
jadi sangat berharga. "Syukurlah jarang topeng pakai warna
merah," kata Anom.
Anom dan saudara-saudaranya tak pernah membuat topeng suci yang
disimpan di pura. Gelodog pada masa hidupnya pernah
melakukannya, dan sering berhasil. Ukuran berhasil dalam hal ini
tentu saja amat lain. Topeng semacam itu bernilai spirituil.
Sejak mulai dari mencari kayu sudah harus diperhitungkan hari
baik dan pakai sesajen segala. Dalam membuatnya pun ada
pantangan-pantangan yang rumit. Ini agaknya sudah amat
bertentangan dengan arus kesenian di Bali sekarang yang
jelas-jelas dijadikan ladang untuk menjadi kaya.
Menjadi anak orang hebat rupa-rupanya memang berat. Kalau tidak
lebih hebat dari bapaknya, bisa dianggap tukang bonceng.
Sebagaimana juga Pemahat Ida Bagus Tilem, yang dicurigai
membonceng ketenaran ayahnya Ida Bagus Nyana, anak-anak Gelodog
juga mendapat sentilan bahwa mereka hanya kena arus sang bapak.
Satu hal yang bisa bikin kecil hati, tapi juga satu peluang yang
baik untuk melejit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini