MONSIEUR Balmain ada di Jakarta! Dan Hotel Borobudur
InterContinental pun sesak seperti pasar. Pierre Balmain -- si
perancang busana untuk ratu-ratu --memamerkan kreasi-kreasinya
selama dua hari pertengahan April kemarin. Terdiri dari 68
potong pakaian untuk Musim Semi di Paris -- meskipun udara
Jakarta mulai panas menyengat.
"Di tahun 1946, saya berada di New York," demikian Balmain
membuka peragaan pakaiannya. "Waktu itu saya masih sangat asing
tentang Amerika. Saya dibawa ke suatu ruangan yang penuh oleh
nyonya-nyonya sekitar 900 orang. Di Waldorf Astoria waktu itu
seperti saya berhadapan di ruang ini dengan nyonya sekalian,
nyonya-nyonya yang cantik yang gemar mode."
Rolls Royce Pun Datang
Tepuk tangan yang keras menyambut pidato pendek dari orang
Perancis yang berbahasa Inggeris ini. Balmain, Seorang humas
yang baik untuk dirinya sendiri, karena dia lebih senang
berhadapan sendiri dengan publiknya. "Ya, mengapa saya harus
malu?" katanya kepada TEMPO. Tambahnya lagi: "Bahasa bukan
handikap untuk saya. Juga, saya ini bukan golongan pemalu
seperti teman-teman saya Yves St. Laurent atau Pierre Cardin.
Banyak yang selalu malu berhadapan dengan publik dan tidak
berani berhadapan dengan pers."
Umurnya sudah 64 tahun. Tubuhnya masih tegap, berpakaian rapi
tapi sederhana. Rambutnya mulai menipis. Enak diajak ngomong,
Balmain juga senang begadang. Untuk usianya itu, Balmain tetap
memperlihatkan semangat yang hampir tak pernah kenal lelah.
Gairahnya untuk mencipta -- seakan-akan dia dikejar waktu --
retap tinggi sehingga dia sanggup mengeluarkan beberapa koleksi
dalam tempo satu tahun.
Ketika umurnya 18, Balmain belajar arsitektur. Tapi hanya dua
tahun saja. Rupanya dia lebih berbakat untuk merancang baju.
"Tidak banyak beda untuk seorang arsitek dan seorang perancang
baju bukan?" ujamya. Dan namanya mulai menonjol ketika Balmain
selama seminggu merancang busana Puteri Marina dari Yunani yang
akan menikah dengan Duke of Kent. Waktu itu ia masih bekerja
untuk Molynent.
Pada usia 30 tahun, Balmain telah membuka salon di Paris.
Namanya semakin menanjak ketika Ratu Sirikit, dari Muangthai
memesan Balmain untuk menciptakan baju-bajunya dalam perjalanan
resmi ke luar negeri di tahun 1960. Setelah itu, nyaris setiap
tahun Balmain selalu datang ke Bangkok.
Di tahun 1975, Ratu Nagako dari Jepang meminta Balmain untuk
menyiapkan seluruh busana buat kunjungan kenegaraan Ratu ke AS.
Waktu itu, semua gambar rencana, bahan dan sulaman didatangkan
dari Perancis dan Balmain membuat seluruh busana Ratu Nagako di
Tokyo.
"Dan saya tidak pernah membayangkan bisa sampai Jakarta, setelah
berkali-kali ke Bangkok, Tokyo, Manila, Singapura dan beberapa
tempat lainnya di Asia," kata Balmain. Ini berkat Pierre
Martinet yang duduk sebagai General Manager Hotel Borobudur,
yang kenal Balmain sejak dia -- Martinet -- bekerja di
Inter-Continental Kabul. "Saya mendapat kehormatan bisa membantu
Yayasan Borobudur," katanya lagi. Dan atas kerjasarna Hotel
Borobudur, UTA dan pabrik rokok John Players, dana Restorasi
Borobudur tambah 15 juta rupiah. Sementara harga karcis untuk
malam gala, Rp 100.000 satu meja 4 orang yang dekat catwalk, Rp
4.000 seorang untuk makan siang dan Rp 2.500 untuk melihat
rancangan Pierre Balmain sambil minum teh sore hari.
Tidak menikah, Balmain kini mempunyai peranan luas dalam usaha
yang menggunakan namanya. Tidak kurang 13 butik menjual
karya-karyanya secara eksklusip dan 7.000 tempat penjualan toko
ternama yang menyajikan barang-barang pelengkap pakaian
(accessories) memakai namanya. Banyak yang menganggap, nama
Balmain adalah cenderung ke barang-barang mewah yang hanya bisa
dimiliki oleh lapisan atas. Mengingat besarnya nama Balmain,
adalah patut kalau Hotel Borobudur sampai menjemput Balmain
dengan sebuah Rolls Royce pinjaman. Milik orang bisnis kaya
Hasyim Ning, yang selama sejak 1974, selalu menyimpan Rolls
Royce-nya di garasi saja.
Warna Kerajaan
Ciptaan-ciptaannya banyak terpengaruh oleh dunia ketimuran.
Mungkin karena ini, ratu-ratu dari Asia juga gemar memesan baju
dari Balmain. "Tidak ada ketentuan-ketentuan yang pasti
bagaimana inspirasi itu datang, tapi boleh dikatakan bahwa dunia
Timur banyak mempengaruhi saya dalam hal mencipta baju-baju yang
saya rancang," ujarnya. Inspirasi datang tiba-tiba saja ketika
dia sedang pergi ke suatu negara, bertemu dengan orang kaya atau
rakyat di jalanan, baik itu di Marakesh ataupun di Afrika
Selatan.
Beberapa tahun yang lalu dalam sebuah interviu di BBC, seorang
perancang baju Inggeris -- muda dan namanya cukup terkenal
karena rok mini -- berkata kepada Balmain: "Tuan Balmain, anda
mendisain hanya untuk wanita-wanita tua dan kaya." Balmain
dianggap terlalu konservatif dan wanita-wanita itu jadi semakin
tua tampaknya. "Saya tidak membalas tanggapannya ini. Hanya
fikir saya, Ratu dari Muangthai memang kaya sekali, beliau juga
sudah berumur, tapi siapa sih yang semakin muda?"
Banyak memang perancang baju generasi muda membuat baju yang
bisa dibeli semua kalangan di butik mereka. Nanti malam ada
pesta, beli saja baju baru sore harinya. Malam hari di pesta,
baju barunya itu kena anggur merah yang tertumpah, tapi dia
tidak peduli. Besok toh bisa beli baju baru lagi, karena
harganya tidak begitu mahal. "Itulah bedanya dengan langganan
saya," ujar Balmain, "langganan saya tidak akan begitu ceroboh
tingkah lakunya sampai menumpahkan anggur di bajunya."
Baju-baju Balmain yang dipertunjukkan di Jakarta (juga Singapura
dan Bangkok) berdasarkan warna-warna lembut, dengan garis-garis
yang sederhana, tanpa meninggalkan keelokan. Sebagian besar
ciptaannya untuk musim semi, diborong oleh warna putih, krem.
"Saya yakin bahwa warna putih (maksudnya broken white) adalah
warna yang terbaik untuk malam hari. Mungkin karena saya begitu
senang mendisain orang-orang dari kerajaan dan putih adalah
warna kerajaan. Putih, krem, warna asli dari kayu itu adalah
warna pokok saya. Baru warna lainnya."
Berikut ini beberapa patokan dan langkah-langkah Balmain untuk
masa depannya, yang dinyatakannya ketika mengadakan konperensi
pers dengan wartawan ibukota.
-- Baju ciptaan saya banyak dititikberatkan kepada si
pemakainya, bukan ke baju. Saya tidak senang dengan potongan
baju yang begitu menyolok yang bisa mengalahkan kepribadian si
pemakainya. Harapan saya, hendaknya seseorang memakai baju itu
akan tambah berwibawa. Jangan harapkan dari saya
potongan-potongan yang eksentrik, yang menonjolkan seks. Saya
tidak senang akan hal itu.
-- Haute couture (busana prima) adalah sari dari segala sari
dalam suatu ciptaan. Saya tidak bermaksud untuk meninggalkan
busana prima untuk kemudian pindah ke ready to wear (baju jadi
massal). Saya sangat puas kalau menciptakan busana prima.
Soalnya sekarang, siapa nanti yang bisa menandingi saya, setelah
saya tiada? Rasanya, sulit untuk dipercaya akan ada seorang
perancang muda yang mempunyai semangat sama seperti saya ketika
berumur 30 tahun dan berani mempertaruhkan seluruh modalnya
untuk rumah mode Balmain. Busana prima lambat atau cepat akan
mati, karena tampaknya tak ada lagi yang memiliki keberanian
seperti Christian Dior, Cocco Channel, atau Balenciaga. Dan saya
bangga, Paris tetap sebagai pusat dari mode dalam kurun waktu
yang langgeng tampaknya. Bukan di Roma, London atau tempat lain.
-- Meskipun begitu, saya juga sudah siap untuk baju jadi massal.
Langganan saya untuk busana prima masih sekitar 1000 orang, tapi
melihat masa depan keadaan ekonomi, jumlah orang yang
membelanjakan uangnya untuk busana prima pasti makin sedikit.
Juga karena pemasaran baju jadi massal cukup luas arenanya. Dan
saya kira, industri baju jadi massal atau lebih tepat dikatakan
better cloths collection (kumpulan baju-baju apik) mempunyai
masa depan cemerlang. Tapi ini tidak berarti saya meninggalkan
busana prima.
-- Rasanya, saya tinggal seorang diri sekarang. Dan tidak enak
menjadi orang hari kemarin. Coba bayangkan, Patoux meninggal di
tahun 1931, Nina Ricci pensiun di tahun 1950, Lanvin meninggal
di tahun 1947, tapi nama-nama mereka hingga kini masih abadi,
tetap hidup di balik karya orang lain. Nama kami sudah jadi
merek dagang.
-- Juga jangan coba seorang perancang baju jadi massal pindah ke
perancang busana prima. Sebaliknya bisa, asal dengan langkah
penuh perhitungan. Jangan seperti Yves St. Laurent karena ingin
menjual baju jadi massal, potongan baju yang sama (yang seharga
AS$3.000) dia jual AS$200 untuk baju jadi massal. Dia membunuh
dirinya sendiri dan akhirnya Laurent kembali ke busana prima.
Selama ini, saya banyak melihat perancang-perancang muda
terkenal cuma satu musim saja atau satu tahun dan tidak lebih.
Cepat muncul dan cepat pula menghilang nama mereka.
-- Mode di Indonesia saya lihat banyak yang menggemari model
keras baik dalam potongan maupun warna. Tentang batik, sama
seperti sutera Muangthai, saya memiliki juga dalam butik saya di
Paris. Lebih baik untuk koleksi butik saya dan bukan untuk
kumpulan busana prima. Tapi batik seperti milik kenalan lama
saya Iwan Tirta, mahal sekali. Batiknya memang indah sekali,
tapi orang tak akan percaya kalau dikatakan yang mahal adalah
bahannya dan celakanya mereka mengira saya yang menipu mereka
dengan harga mahal.
Bagi penduduk Jakarta -- terutama nyonya-nyonya ibukota yang
selalu dari hotel ke hotel lain mengadakan arisan -- rupanya
kurang suka akan model-model Balmain yang lembut, feminin dan
sopan itu. Tapi sambutan akan lain ketika Balmain mengeluarkan
warna merah menyala atau potongan baju yang sedikit berani.
Rupanya wanita kita lebih cenderung untuk memamerkan baju yang
lain dari yang lain, ketimbang menonjolkan kepribadiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini