Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pengawas hukum Salman

Tertuduh dalam perkara peristiwa Cicendo, Salman Hafids, menolak didampingi pembela. majelis hakim pengadilan negeri bandung menolak tatacara sidang yang dimaui terdakwa. (hk)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Pengawas hukum Salman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETELAH menolak pembela yang disediakan pengadilan, pada sidang pertam Perkara Cicendo, tertuduh Salman Hafidz mengumumkan mengundang ahli hukum yang bersedia menjadi "pengawas hukum" pada proses penyidangan perkaranya. Karena tak jelas apa maunya terdakwa, begitu agaknya, tak seorang ahli hukum pun yang mendaftarkan diri. Namun pada sidang ketiga, akhir Februari, keluarga terdakwa dapat mengajukan dua orang advokat anggota Peradin (organisasi advokat) Cabang Bandung. Mereka adalah Edi Suwardi dan Anwar Sulaeman. Ketika itulah jelas apa yang dimaksudkan Salman Hafidz terdakwa yang diancam hukuman mati karena dituduh menyerang Pos Polisi Cicendo di Bandung (TEMPO, 27 Februari), dengan "pengawas hukum"-nya. Duduk di kursi pembela, Edi Suwardi dan Anwar Sulaeman, sama sekali tak diperlakukan terdakwa sebagai pembela, seperti lazimnya kehadiran seorang penasihat hukum di sebuah sidang pengadilan. Lalu? Terdakwa, anggota kelompok Imran (yang disebut terakhir itu adalah terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dituduh mendalangi pembajakan pesawat Woyla ke Bangkok tempo hari), mempreteli hampir semua hak dan kewajiban pembelanya. Pertama, begitu disyaratkan terdakwa, para pembela dilarang bertanya kepadanya atau kepada saksi selama sidang berlangsung. Bahkan terdakwa melarang kedua advokat tersebut menemuinya bekonsultasi di luar sidang. Pembela juga dibebaskannya dari tugas pembelaan. Karenanya terdakwa tak mau menyebut penasihat hukumnya sebagai pembela. Salman hanya meminta kedua pengacara tersebut menjadi semacam pengawas jalannya sidang pengadilan--agar tetap berada di rel hukum yang berlaku Sehingga, ketika pada suatu kesempatan "pengawas hukum" memprotes jaksa yang menyatakan keberatan atas pertanyaan tertuduh kepada salah seorang saksi, tertuduh menyela: "Saya ingin bertanya: apakah pengawas hukum membela saya?" Sang pengawas bijak menjawab: "Oh, tidak. Kami hanya mendudukkan masalah sesuai dengan hukum." Salman tersenyum: "Terima kasih !" Terdakwa juga menetapkan tugas baru bagi "pembela" yang disebutnya sebagai pengawas hukum tadi. Sebelum majelis hakim menutup sidang, terdakwa minta agar pengawas hukum menyatakan pendapatnya, semacam evaluasi hukum, terhadap jalannya pemeriksaan. Kedua advokat tersebut ternyata mau juga menjalankan kewajiban yang ditentukan kliennya: "Kami rasa tak ada penyimpangan hukum, persidangan telah dilaksanakan sebaik-baiknya, Sesuai dengan hukum yang berlaku." Hak Terdakwa Semula majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung yang dipimpin Soedarko menolak tatacara sidang yang dimaui terdakwa itu. Di buku undang-undang mana pun tentu tak ditemukan istilah "pengawas hukum". Duduknya seorang atau lebih penasihat hukum di pengadilan, begitu aturan main yang berlaku, tentu tak lain sebagai pembela. Tapi terdakwa tak mau tahu "Saya tak perlu pembela--yang saya perlukan pengawas hukum!" Majelis tak ingin berdebat lebih jauh. Kehadiran penasihat hukum di pengadilan, apa pun hendak disebut terdakwa, resminya tetap diperlakukan sebagai pembela. "Semua hak terdakwa telah kami berikan sesuai dengan hukum acara," kata Soedarko di luar kamar sidang. Bahwa terdakwa membatasi hak penasihat hukumnya, katanya "itu hak terdakwa juga." Apalagi jika penaslhat hukum juga mau menerima persyaratan tak lazim seperti yang disodorkan Salman. "Kami hanya membela karena rasa perikemanusiaan saja," kata Edi Suwardi. Sehingga, kedua pengacara tersebut akan tetap menjalankan kewajibannya meski haknya dibatasi. "Apakah kami harus meninggalkan terdakwa hanya karena ia tak mengerti hukum saja?" kata Edi Suwardi lagi. Kedua pengacara tersebut masih berharap dapat menyampaikan pembelaan atau pleidoi kelak di ujung pemeriksaan. Kalau toh terdakwa tetap ngotot menolak jasa baiknya seperti kata Anwar Sulaeman, kedua advokat tersebut tak terlalu berkecil hati. "Mendampingi terdakwa saja dan membantu persidangan agar berjalan sesuai dengan hukum," kata Anwar Sulaeman, "sudah merupakan upaya pembelaan." Tentu saja ada yang tak setuju dcngan pembelaan cara begitu. Misalnya Pengacara Bob M. Neels dari Pusbadhi (organisasi pecinta 8 pengabdi hukum). Kata Neels: "Pembatasan terdakwa seharusnya ditolak penasihat hukumnya." Tugas pembelaan di pengadilan, menurut Bob, harus sepenuhnya dilakukan seorang pembela. "Kalau tidak," lanjut Bob, "pembela hanya seperti boneka saja!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus