Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setan, Zetan, Pahlawan

Drama tentang setan yang ingin dididik budi pekerti. Pesta verbal Teater Mandiri.

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA tak muncul dalam penampakan seram. Zetan—memakai ”Z”, bukan ”S”, meski dari famili yang sama—datang bertamu ke rumah seorang guru. Ia mengendarai sebuah sepeda. Baju dan celananya, alamak..., bak siswa sekolah dasar: putih dan merah. Ia membawa meja lipat segala.

Dengan muka kolokan, sembari du-duk manis, ia memohon kepada Pak Guru untuk dididik menjadi seorang pah-lawan yang sanggup menyebe-rang-kan orang dari neraka ke pintu surga.

Sang guru terenyak. Ketemu berapa perkara: setan tiba-tiba ingin berperi-laku baik? Sang guru pun menolak, ka-re-na ia hanya mengajar manusia. Tak mau ditampik, Zetan kemudian me-nun-juk-kan kekuatannya di atas panggung: mengancam dan menerkam sang guru.

Sebuah boneka raksasa serba hitam—sekitar tiga meter—tiba-tiba muncul dari balik layar, menegaskan sisi angkara-murka yang di-mili-kinya. Berbarengan dengan munculnya sang raksasa, musik berdentam keras. Me-ngagetkan. Bayang-bayang hitam di layar putih di belakang panggung me-nebalkan daya teror pertunjukan itu pada penonton.

Ya, Sabtu dan Minggu malam dua pekan lalu, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya menggedor penonton di Taman Ismail Marzuki dengan pertunjukan Zetan. Bayang-bayang raksasa itu menciptakan efek vi-sual yang menekan. Ia—yang digerakkan de-ngan tangkas oleh para pemain di be-lakangnya—mencengkeram, me-nam-par, menerjang.

Lalu Zetan kembali ke wajah imutnya, menyampaikan permintaannya sekali lagi: meminta dididik budi pekerti agar bisa menjadi pahlawan. Sang guru— yang bertahun-tahun tak punya murid lantaran dipecat setelah memasukkan pelajaran budi pekerti pada kurikulum sekolah—pun menga-bulkannya. Maka, setelah berbekal budi pekerti, setan pun bertanya, ”Ke mana saya harus pergi untuk menjadi pahlawan?”

Sang guru menganjurkan untuk ke Indonesia. ”Kalau ada gunung m-eletus, kalau ada gempa, dan orang-orang da-tang bukannya menolong tapi menyu-sahkan, itulah Indonesia. Kalau ada gedung parlemen dengan deretan mobil mewah, itulah Indonesia,” ucap guru.

Putu menyuguhkan drama 90 menit itu dengan meramu teror yang menjadi ciri khasnya dan humor. Untuk yang pertama, ia membangunnya dari citra visual dan gempuran kata-kata yang nyaris tak menyisakan helaan napas. Sementara kemasan humor ia ha-dir-kan untuk melunakkan isi naskah yang sebenarnya berkerumuk.

Persoalan pendidikan budi pe-kerti dan karut-marutnya dunia sekolah ada-lah tema yang tak sederhana. Dari tema ini, Putu kemudian melabrak persoalan lain seperti korupsi, pe-maksaan kehendak, hingga kebhinekaan yang dilucuti. Tak mengherankan bila kontroversi Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi hilir-mudik dalam drama ini.

Nah, jagat para setan yang haus ilmu di-ha-dirkan untuk menjinakkan naskah itu. ”Setan saja mau belajar budi pe-kerti. Kenapa manusia tidak?” ucap Putu.

Malam itu, Zetan pun tampil seba-gai kemasan panjang Setan, cerita pendek karya Putu yang telah berkali-kali dibawakan sebagai monolog. Beda-nya, monolog dalam Zetan dimainkan secara bergantian oleh beberapa pemain. Putu memainkan peran seba-gai guru setan. Pada saat yang lain Arswendy Nasution dan Alung Seroja juga memainkan peran guru. Zetan pun dimainkan oleh Yanto Kribo dan Bambang Ismantoro.

Pergantian pemain untuk peran yang sama itu dilakukan di depan p-enonton. Teater yang berdiri sejak 1971 itu tampak ingin menunjukkan, seserius apa pun drama yang mereka mainkan, itu tetap hanya tontonan. Bukan realitas nyata.

Dengan ringan, Mandiri, mi-salnya, mempersilakan penonton menyalakan ponsel dan memotret sebebas-bebasnya. Mereka juga menenangkan penonton yang hatinya ragu meninggal-kan serunya Piala Dunia dengan memberikan informasi hasil pertandingan sepak bola di tengah-tengah pertunjuk-an. ”Hasil akhir Jepang-Kroasia 1-1,” celetuk salah satu setan.

Di luar humor menyegarkan dan kejutan-kejutan visual—lewat bayangan raksasa—Zetan penuh sesak dengan komentar sosial. Inilah ranah verbal yang dipilih Putu setelah 14 tahun senantiasa mementaskan karya-karya yang memberikan porsi visual yang besar—dan karena ”minim kata, maksi citra” itu, Mandiri sukses menyihir penonton.

Pada Zetan, Mandiri menghadapi tantangan tak mudah dengan risiko: mereka, juga penonton, tersesat ter-lalu jauh di rimba kata-kata.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus