Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Syafii tentang Syafii

Otobiografi seorang murid Fazlur Rahman. Pemikirannya kaya, tapi sayang tidak terekam cukup baik oleh publik.

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah buku riwayat hidup yang sangat revealing. Syafii Maarif menumpahkan segala sesuatu yang dianggap penting dalam kehidup-annya, dan karena itu menjadi kisar-kisar (milestones) hayatnya, dalam Titik-titik Kisar di Perjalananku.

Sekurangnya ada tiga panggung penting dalam hidupnya yang dirasa-kannya masyarakat perlu tahu: kehidupan pribadi dan keluarganya, kehidupan intelektualnya, kehidupan ke-muhammadiyahannya. Untuk yang pertama, Syafii tidak berusaha menyembunyikan suasana batinnya ketika menulis. Dua kali kita disuguhi kenyataan bahwa Syafii tak mampu meneruskan upaya rekonstruksi bagian tertentu karena luapan emosi yang tak tertahankan. Sebagai laki-laki gagah yang pada 1983 saya lihat untuk pertama kali di kantor jur-nal berbahasa Inggris Mizan, asuhan Komaruddin Hidayat, ia menangis mengenang Salman dan Ikhwan, dua putranya yang meninggal dalam usia kanak-kanak. Peristiwa itu, ditambah dengan beban ekonomi, ia tuturkan dengan sangat terbuka. Di sinilah letak keberanian atau kekuatan seorang S-yafii.

Sementara itu, dalam konteks keindonesiaan dan keislaman, arti penting Syafii terletak pada paruh hidupnya yang lain, pemikiran dan kemuhammadiyahan. Dalam hal ini, saya yakin Syafii tidak bersedia menempatkan posisi (intelektual) dirinya. Dan se-per-ti yang sering ia katakan, ”Biar-lah orang lain yang menilai atau yang menempatkan.” Tetapi, melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di Panji Masyarakat pada 1980-an, lewat pikiran-pikirannya da-lam As-pirasi Umat I-slam Indonesia, dan melalui seminar-seminar setelah ia kem-bali dari Chicago (1983), Fachry Ali dan saya, dalam Merambah Jalan Baru I-slam (1986) menempatkan Syafii dalam gerbong pemikiran ”modernisme” Is-lam, bersama dengan Djohan Effendi. Kate-gori ini kami pilih kare-na kuatnya pandangan diri-nya tentang Al-Quran di satu pihak dan rasionalitas di pihak lain. Dalam perspektif Sya-fii, Al-Quran merupa-kan locus kehidup-an, dan hal itu hanya bisa diwujudkan jika umat Islam menggunakan akal budinya. Dan jika ia melontarkan kritik tajam—umat Islam telah berhenti berpikir sejak seribu tahun—itu karena belum bertemunya dua faktor penting ini. Kenyataan ini ia teguh-kan kembali dalam otobiografinya, bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh ketidakmampuan memahami Al-Quran secara jujur; dan pemahaman terhadap sumber Islam yang masih bersifat ad hoc. Inilah yang menjelaskan terjadinya kesenjang-an antara ideal Islam (s-ebagaimana termaktub dalam Quran) dan histori-cal Islam (s-ebagaimana terhampar dalam kehi-dupan umat I-slam).

Dalam konteks ini, Sya-fiilah yang merupakan murid Fazlur Rahman. Lebih dari yang lain, dia memperoleh pengaruh lebih banyak dari intelektual muslim asal Pakistan itu. Dari orang yang hingga usia 40 tahun lebih masih memegang cita-cita politik tentang perlunya persatuan antara agama dan negara, yang dikenal dalam ungkapan inna al-Islam dinun wa al-dawlah. Di bawah bimbingan Fazlur Rahman, ia tertransformasikan menjadi orang yang mengikuti ”ideologi” garam daripada gincu. Cukuplah Islam menjadi perasa dan bukan pewarna. Itulah yang antara lain terungkap dalam magnum opus-nya, Islam dan Masalah Kenegaraan.

Sayang, gagasan seperti ini tak terpatri pada kesan publik atas diri Sya-fii. Berbeda dengan Abdurrahman Wa-hid yang memegang hak paten atas ”pribumisasi Islam” atau Nurcholish Madjid atas ”sekularisasi”, dan bahkan Munawir Syadzali atas ”konteks-tualisasi Islam”.

Untung, ia beroleh kesempatan m-enjadi pemimpin Muhammadiyah (2005–2006). Di sanalah ia mewujudkan ga-gasan-gagasan itu dalam praktek-praktek yang lebih konkret. Karenanya, nyaman ia bergaul dengan banyak orang: Megawati, Taufik Kiemas, Abdurrahman Wahid, Todung Mulya Lubis, Magnis Suseno, Biku Pannyavaro, Fuad Bawazier, Sofjan Wanandi, Sudhamek, dan lain-lain. Dan tenteram pula mereka bersahabat dengan Syafii.

Bahtiar Effendy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus