Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Teknologi swedia

Seminar teknologi Swedia oleh dewan perdagangan swedia membalas berbagai bidang teknologi sebagai upaya meningkatkan kerjasama indonesia-swedia, (suplemen). (eb)

15 Desember 1984 | 00.00 WIB

Teknologi swedia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PRODUK-produk Swedia selalu membawa citra produk berkualitas tinggi yang terlalu mahal harganya. Para juru potret mendambakan kamera Hasselblad, tetapi membeli Nikon karena harganya yang lebih terjangkau. Para eksekutif menginginkan mobil Volvo, tetapi kemudian membeli Honda Accord karena lebih murah dan mudah dijual kembali. Jepang memang merupakan penghambat utama bagi pertumbuhan pemasaran produk-produk Swedia di Indonesia. Seperti juga negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia merupakan home market bagi industri Jepang yang tentu saja akan berusaha keras agar pasar yang gemuk ini tidak dicaplok Eropa ataupun Amerika. Sebagai negara yang hanya berpenduduk 8,3 juta, Swedia memang sangat tergantung pada eksport. Volvo, sebagai contoh, mengeksport 85% dari produksinya ke luar Swedia. Electrolux mengeksport 75% produksinya, ASEA mengeksport 69%, Alfa-Laval 90% dan SKF 93%. Pada banyak kasus, sulit untuk menempelkan label made in Swedia pada produk-produk ini karena memang tidak semuanya dibuat di Swedia. Perusahaan-perusahaan Swedia kini mempunyai lebih dari 600 subsidiaries di luar Swedia. Hingga sekarang Eropa dan Amerika masih merupakan pasar utama bagi Swedia. Setengah dari eksport Swedia diserap oleh Norwegia, Jerman Barat, Inggris, Denmark, dan Amerika Serikat. Asia Tenggara hanya menyerap kurang dari 10% eksport Swedia. Kegiatan Swedia di Dunia Ketiga memang hanya seperlima dari seluruh operasi internasionalnya. Swedia tampaknya lebih menitikberatkan kegiatannya di negara berteknologi maju. Di Inggris saja Swedia mempunyai 60 pabrik. Di Amerika Serikat pun pabrik-pabrik Swedia bertambah banyak. Jenis yang dieksport Swedia pun mengalami perubahan. Kalau sebelum Perang Dunia ll Swedia lebih banyak mengeksport bahan baku dan setengah jadi (biji besi, bubur kertas, pelat besi, kertas), maka setelah Perang Dunia ll, Swedia lebih banyak mengeksport barang jadi. Swedia yang menyatakan netralitasnya selama Perang Dunia I dan ll, serta tidak terlibat perang selama 100 tahun lebih, memang mempunyai peluang yang lebih baik untuk memasuki pasar dengan kebutuhan yang meningkat setelah Perang Dunia berakhir. Peningkatan produktivitas dan eksport Swedia, bagaimanapun, tetap merupakan peristiwa yang fenomenal. Seratus tahun yang lalu hampir sejuta orang Swedia pergi ke luar Swedia karena situasi rawan pangan yang gawat. Amerika Serikat merupakan tumpuan harapan para imigran Swedia ketika itu. Tetapi sejak tahun 1940-an justru banyak orang-orang Yugoslavia, Finlandia, Norwegia, Denmark, Yunani, Turki, dan negara-negara Eropa lainnya berdatangan ke Swedia. Eksport Swedia terutama ditentukan oleh inovasi baru dan aplikasi baru di bidang teknologi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sistem gotri baa bearing yang ditemukan SKF, misalnya, langsung menembus pasar dunia. Gustaf de Laval menemukan cara untuk memisahkan kepala susu. Penemuannya melahirkan perusahaan Alfa-Laval yang kemudian menembus pasar dunia. Carl Magnus Ericsson memang bukan penemu telepon, tetapi ia menyempurnakan sistem telepon dan mendirikan perusahaan telepon Ericsson yang dengan cepat memenuhi permintaan pasar dunia. Electrolux menemukan mesin pengisap debu untuk keperluan rumah tangga, dan kemudian menemukan sistem lemari es tanpa bagian yang bergerak, dan kini merupakan perusahaan terbesar kedua di Swedia dengan pasar eksport yang meyakinkan. Assar Gabrielson adalah juga seorang insinyur dari SKF yang kemudian bersama Gustaf Larson membangun mobil Volvo yang pertama pada tahun 1927. Keunggulan mutu biji besi Swedia ikut pula menunjang sukses Volvo untuk memasuki pasar dunia. ASEA, industri alat-alat besar terkemuka di Swedia yang telah berdiri sejak 101 tahun yang lalu, pun mempunyai pasar dunia yang luas, terutama untuk instalasi listrik dan transmisi. Lokomotifnya tidak hanya dipakai di Swedia dan negara-negara Eropa, tetapi sistem kereta api Amtrak di Amerika Serikat pun memakai lokomotif ASEA. ASEA mempunyai pasar tunggal di dunia untuk alat pengukur tinggi awan yang dipakai untuk keperluan penerbangan. Sekarang pun ASEA memulai bidang baru - robotika - dan merupakan penghasil robot pertama yang "dapat melihat". Swedia juga unggul dalam turbin uap dan turbin hidroelektrik seperti yang diwakili oleh Gotaverken, Flakt, dan Alfa-Laval. Melaju pesatnya industri Swedia tentu pula mengubah struktur tenaga kerja. Pada tahun 1950, 20% penduduk bekerja di sektor pertanian. Tetapi sekarang jumlah itu tinggal 4%-5% saja, sedangkan produksi naik 20% bila dibanding dengan keadaan tahun 1950 karena bantuan mekanisasi. Kini sebagian terbesar penduduk Swedia bekerja di sektor industri. Penemuan dan aplikasi baru teknologi akan tetap merupakan tulang punggung bagi eksport Swedia di masa depan. Tidak heran bila kegiatan riset dan pengembangan memperoleh porsi sangat penting di Swedia. ASEA, misalnya, mempunyai 3.000 pegawai yang khusus bekerja untuk kepentingan rise dan pengembangan. Ini untuk memastikan bahwa ia selalu berada di garda depan. Ericsson yang tahun lalu menikmati pertumbuhan sebesar 30% telah meningkatkan anggaran riset dan pengembangannya menjadi 8 dari omset. Seorang peneliti mikrobiologi kelahiran Mesir, Dr. Refaat el Sayed (kini warga negara Swedia), adalah seorang genius muda berusia 37 tahun yang sudah berhasil mematenkan 26 penemuannya. Salah satu penemuan Refaat adalah Aquaguard yang baru saja dipasarkan di Indonesia oleh Electrolux. Aquaguard adalah sistem pemumian air rumah tangga yang menggabungkan pemakaian karbon aktif (untuk menghilangkan bau, rasa, dan khlorin) dan sinar ultraviolet untuk membunuh kuman. Sekalipun 85% perusahaan Swedia merupakan usaha swasta dan telah melakukan riset dan pengembangannya sendiri, Pemerintah masih juga mengalokasikan anggaran sebesar 2,5% dari GNP-nya untuk kepentingan riset dasar. Riset dasar yang dilakukan Pemerintah ini terutama didasarkan pada empat bidang hasil pokok: teknologi informatika, teknologi bahan, bioteknologi, dan pelestarian lingkungan hidup. Dengan kegiatan riset dan pengembangan seserius ini berarti bahwa Swedia telah melakukan 2% dari seluruh nset dunia. Swedia yang mengenakan pajak tinggi kepada warga negaranyabahkan memberikan kesempatan bagi peneliti asing untuk melakukan penelitian di Swedia dengan memperoleh keringanan pajak. Kerja sama intemasional pun terus dicari Swedia untuk mempertahankan keandalan dan keunggulannya di bidang teknologi. Pada saat ini Swedia telah mempunyai "Silicon Valley" sebagai tempat pengkajian dan penelitian teknologi infommatika. "Desa Teknologi" ini terletak di atas pekuburan kuno Viking di luar kota Stockholm, di sebuah kota kecil yang bernama Kista (baca: Sista!). Di Kista terdapat 12.000 orang yang setiap harinya hanya duduk di depan temminal komputer, mengintip mikroskop untuk mengamati keping-keping silikon, merancang software atau desain sirkuit. Pusat riset untuk teknologi infommatika ini telah mengundang nama-nama intemasional seperti IBM, Hewlett-Packard, Burroughs untuk memulai operasi riset dan pengembangannya di Kista. Perusahaan infommatika lokal seperti RIFA dan Ericsson pun telah berada di Kista. Selain perumahan untuk para peneliti dan bangsalbangsal penelitian, di Kista pun telah dipersiapkan tanah seluas 60 hektar untuk menampung industri yang bakal dikembangkan. Sekalipun Swedia berusaha keras menjual produksinya ke luar negeri, Pemerintah nyaris tidak melakukan instrumen perlindungan terhadap masuknya barang-barang import. Bukti terhadap pemyataan ini dengan mudah misalnya dapat ditemukan dalam kamar hotel yang mempunyai perlengkapan berikut: televisi dan lemari es mini buatan Jepang, mesin setrika otomatis buatan Inggris, handuk dan pengering rambut buatan Jerman, shower massage buatan Amerika, dan porselin kamar mandi buatan Belanda. Isi kulkas pun mengandung ragam import seperti bir dan sari jeruk dari Denmark, kacang dari Amerika, keju Belanda, cokelat Swiss. "Kami tidak mempunyai sistem untuk melakukan proteksi seperti itu. Swedia adalah negara bebas," kata Christer Johansson dari Badan Perlindungan Konsumen. "Saya sendiri berpendapat bahwa dengan membuka lebar-lebar pintu Swedia untuk masuknya barang import, industri Swedia justru harus bisa menang dalam persaingan merebut pasaran." Badan ini hanya berkepentingan untuk memastikan bahwa barang-barang yang sampai ke tangan konsumen terjaga mutunya, cocok harganya, dan tidak menimbulkan bahaya. " Kami memang melakukan kampanye agar masyarakat Swedia lebih berhemat dalam situasi stagnasi ekonomi seperti sekarang ini. Tetapi kami sama sekali tidak menyebut agar masyarakat hanya membeli produksi Swedia. Dalam beberapa hal, seperti tekstil (baca boks: "Wawancara dengan Dua Dubes"), Swedia bahkan memperkecil kapasitas produksi dalam negeri agar dapat mengimport dari luar negeri. Dalam kerja sama Nordic dengan negara-negara Skandinavia lainnya, Swedia pun menunjukkan kebesaran jiwa. Sekalipun mempunyai 40% saham pada Scandinavian Airlines System, Swedia tidak memaksakan agar Stockholm menjadi pintu gerbang karena Copenhagen di Denmark lebih masuk akal. Satu hal yang tampak jelas (khususnya bagi pendatang dari Asia) adalah sedikitnya jumlah orang di Swedia. Di gedung Vattenfall (Badan Tenaga Listrik Nasional) yang begitu besar dan luas, dari luar kantor tampak sepi dan lengang seperti hari libur. Baru di dalam gedung tampak para karyawan tekun di meja masing-masing. Begitu juga di pabrik-pabrik. Di pabrik mesin listrik ASEA, misalnya, hanya terdapat 200 karyawan pada setiap shift. Padahal mesin listrik mereka dieksport ke seluruh dunia. Di pabrik flue bed Gotaverken, jumlah karyawan yang bekerja di sebuah bangunan besar bisa dihitung dengan jari. Toh mereka sedang dalam kapasitas produksi penuh. Di pabrik mobil Volvo, jumlah pekerja yang tampak tidak sebanyak pekerja di pabrik-pabrik mobil Jepang. Efisiensi dan otomatisasi memang sudah lama menjadi the name of the game dari industri Swedia. Untuk sasaran ini pun Pemerintah tidak melakukan campur tangan sekalipun jumlah penganggur sudah mencapai 4,2% (tinggi untuk ukuran Swedia). Jumlah pengangguran remaja pun meningkat. Tetapi itu tidak berarti bahwa industri Swedia tidak melibatkan angkatan kerja yang besar. Electrolux dengan jumlah pegawai 100.000 orang merupakan industri Swedia yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Tetapi dari jumlah itu 63% bekerja di luar Swedia. Sejumlah dua pertiga karyawan Atlas-Copco bekerja di luar Swedia. Tetra Pak (di Indonesia rnembuat karton pembungkus susu Ultra sari kacang hijau ABC, teh Sosro dll.) mempunyai tujuh persepuluh pegawai yang bekerja di luar Swedia. Volvo mempunyai 71.500 karyawan, 25% bekerja di luar Swedia. ASEA mempunyai 56.600 karyawan 35% bekerja di luar Swedia. Ericsson mempunyai 70.000 pegawai, separuhnya tersebar di lebih dari 100 negara di luar Swedia. Diversifikasi dan akuisisi pun merupakan yejala baru yang berkembang dengan cepat di Swedia. Ini tentu karena didorong oleh keadaan. Akuisisi, mula-mula banyak terjadi di Amerika Serikat di mana perusahaan besar mencaplok perusahaan-perusahaan kecil yang megap-megap. Restrukturisasi bisnis semacam ini pun menjalar ke Eropa karena semakin banyak perusahaan yang metugi. "Perusahaan yang tidak bisa mencapai volume 500.000 unit per tahun kini tak bisa hidup," kata Magnus Karlberg, president rnanager Electrolux di Indonesia. "Karena itu mereka terpaksa melakukan penggabungan dengan perusahaan besar yang memang sedang memerlukan penambahan kapasitas produksi." Dalam hal Electrolux, misalnya, adalah upaya mereka untuk membeli pabrik kompor Zanussi di Italia agar dapat dipadukan dalam sistem produksi Electrolux yang tengah tumbuh. Volvo bekerja sama dengan Renault dan Peugeot untuk memproduksi mesin mobil, sekalipun ini bukan contoh akuisisi murni. Dalam bidang diversifikasi pun tampak spektrum usaha yang sangat luas. Volvo ternyata tidak hanya membuat mobil sedan, truk, dan bus. Tetapi juga mempunyai divisi pengolah makanan yang memasarkan daging olah, makanan beku, dan air mineral. Volvo juga mempunyai divisi yang bergerak dalam perdagangan minyak. Gotaverken, salah satu industri kapal terpenting di Goteborg, dipaksa mengalihkan teknologinya ke bidang lain karena kebutuhan kapal dunia mengalami penciutan. Sejak pertengahan dasawarsa yang lalu, Gotaverken yang ahli dalam bidang mesin uap untuk kapal mengalihkan teknologinya dan memulai bidang baru di bidang generator energi. Sven Salen AB yang semula merupakan raja kapal Swedia pun terpukul berat dengan situasi ini sehingga perlu mendiversifikasikan usaha dengan bendera baru Saleninvest ke bidang eksplorasi minyak lepas pantai, teknologi maritim dan telah juga menghasilkan sebuah alat untuk bongkar muat kapal curah. Penemuan baru ini - sistem Siwertell - masih memberikan kesempatan monopoli bagi Saleninvest untuk hadir di pasar internasional. Diversifikasi ini sekaligus membuktikan bahwa riset dan pengembangan yang dilakukan Swedia sebagai investasi jangka panjang telah menghasilkan niche teknologi baru yang memang unggul dan mempunyai pasar internasional, sering kali bersifat monopoli. Swedia kini memang sedang melakukan program tiga tahun yang dikoordinasikan oIeh Dewan Perdagangan Swedia untuk mempromosikan eksport. Iklan-iklan produk teknologi Swedia pun semakin sering muncul di majalah-majalah terkemuka. Upaya menengok ke timur (dalam hal ini Asia) pun mulai mendapat penekanan karena Swedia mengkhawatirkan eksport mereka ke negara maju akan segera mencapai titik jenuh. Tahun lalu eksport Swedia ke Singapura menutun sehingga neracanya menjadi tidak seimbang (Swedia mengimport lebih banyak dari Singapura), tetapi di empat negara ASEAN lainnya eksport Swedia mengalami peningkatan. Eksport ke Brunei baru mulai dikembangkan. Peningkatan eksport Swedia terbanyak terjadi di Thailand (75%) dan Malaysia (72% - terutama karena kontrak Ericsson yang besar). Eksport Swedia ke Indonesia tahun lalu hanya mencapai kenaikan 36% (menurut Duta Besar Swedia di Indonesia hanya 11%). Dewan Perdagangan Swedia menganggap bahwa sektor yang masih bisa banyak dikembangkan di negara-negara ASEAN ini adalah konstruksi bangunan, konservasi energi, pembangunan instalasi pembangkit energi, kehutanan, komputerisasi, dan telekomunikasi. Persaingan keras dengan Jepang di pasar Indonesia tidak menggetarkan para produsen Swedia. "Mereka memang sangat kuat dan sangat pintar," kata Magnus Karlberg dari Electrolux Indonesia menunjuk para pemasar Jepang itu. "Karena itu kami tidak selalu berharapan dengan produk mereka yang kuat. Misalnya, kami tahu bahwa kulkas Electrolux yang besar - seperti kulkas Eropa umumnya - tidak disukai masyarakat Indonesia. Kami tidak memasarkannya secara luas karena jelas kulkas Jepang lebih disukai konsumen di sini." Electrolux yang baru masuk di Indonesia pada tahun 1976 dalam waktu dekat sudah merebut 63% pasaran mesin pengisap debu (vacuum cleaners). "Dalam menghadapi pesaing Jepang, kami harus mencari segi kekuatan kami agar bisa berhasil dalam persaingan itu. Jepang lebih menekankan pada faktor penyediaan dan membanjiri pasar dengan stok. Kami lebih menekankan pada kualitas dan pelayanan purna jual," kata Magnus. Nils Arthur, resident manager ASEA di Indonesia juga sependapat bahwa produk Swedia bisa bersaing dengan Jepang. "Tidak hanya dari segi kualitas dan keunggulan, kami pun bisa bersaing dalam soal harga," kata Nils. Penjelasan ini memang seakan mematahkan mitos bahwa produk Jepang selalu lebih murah daripada produk Swedia. ASEA pada tahun 1982 memperoleh kontrak dari Pemerintah Indonesia untuk membangun proyek hidroelektrik PLTA Mnca, bersama Skanska (kontraktor sipil terbesar Swedia) dan Balfour Beatty (kontraktor sipil Inggris). Dari proyek senilai 350 juta dolar AS ini ASEA kebagian 80 juta dolar untuk pelaksanaan pekerjaan listrik dan permesinan. Penjadwalan kembali proyek ini yang menyebabkan keterbengkalaian selama setahun, ternyata tidak membuat ASEA jera untuk berhubungan dengan Indonesia. Padahal banyak kalangan bisnis Swedia yang mengkhawatirkan kejadian ini sebagai pencerminan ketidakpastian berusaha di negara berkembang. "Kami tidak punya alasan untuk mengeluh terhadap apa yang kami capai selama ini," kata Nils Arthur. ASEA juga telah memperoieh kontrak proyek tumkey kelistrikan di Jawa Barat. "Tetapi ASEA kan tidak hanya bergerak di proyek-proyek besar seperti itu," tambah Nils. "Kami juga memasarkan fasilitas transmisi, motor, switchgear dan perlengkapan listrik standar lainnya. Dan di sektor ini kami menikmati pertumbuhan yang sehat. Bahkan dalam waktu dekat kami sudah akan berproduksi di sini." Atlas Copco, pembuat kompresor yang sudah diwakili di Indonesia sejak 1950, saat ini juga menunjukkan peningkatan penjualan yang meyakinkan. Sejak keagenan tunggalnya dipegang oleh PT Atlasco Sakti pada tahun 1982, penjualan naik 50%. Tahun ini penjualan mereka naik 30% lagi. Ini pun tampak pada perkembangan tenaga kerja dari 10 orang menjadi 60 orang dalam waktu dua tahun. "Kami optimis dapat mengembangkan pasar disini," kata lr. Tonny Notosetyanto dari PT Atlasco Sakti. Perkembangan itu diharapkannya bisa mencapai volume untuk memulai produksi sendiri di Indonesia. Saat ini produk-produk Atlas Copco tampak hadir pada instalasi-instalasi penhng seperti keempat proyek PLTA Saguling, Mrica, Cirata dan Tanggari, proyek-proyek pertambangan dan pabrik-pabrik besar seperti di Indocement, Semen Padang dan Semen Cibinong. Alat-alat Atlas Copco juga dipakai di pabrik-pabrik perakitan mobil, sektor industri dan perawatan pesawat terbang. Tetra Pak adalah salah satu teknologi Swedia yang baru masuk di Indonesia dan telah menikmati pertumbuhan yang sehat. Sejak instalasi mesin pertama pada pabrik susu Ultra di Bandung pada tahun 1975, Tetra Pak kini sudah melayani banyak perusahaan minuman Indonesia yang memerlukan sistem kemasan karton ini. Sistem Tetra Pak memang memberikan jawaban terhadap kondisi pemasaran Indonesia: jarak yang jauh serta idak tersedianya fasilitas pendinginan. Ada juga beberapa perusahaan yang kurang beruntung, tentu saja. Salah satunya mungkin adalah perusahaan ball beaning SKF. Persoalan mereka bukanlah karena tidak bisa bersaing dengan merk lain, tetapi di Asia Tenggara ini mereka menghadapi masalah pemalsuan produk yang tentu saja menggerogoti pasar mereka. Pabrik komponen mesin tekstil yang didirikan SKF di Singapura pada tahun 1974, misalnya, sekarang hanya berproduksi dengan kapasitas 70%. Televisi Luxor pun di Indonesia bernasib kurang baik belakangan ini. Ketika baru masuk di Indonesia tahun 1979, dan masyarakat mempunyai kepercayaan besar terhadap televisi yang dibuat di Swedia ini, Luxor bisa menjual hingga 1.500 unit setiap bulan. Tetapi tiba-tiba saja muncul isyu dipasaran yang mengatakan bahwa televisi Luxor yang beredar di Indonesia adalah buatan Taiwan. "Isyu palsu ini benar-benar membuat kami jatuh," kata Antonius dari PT Besuki Indah Electronics. Tahun 1983 Luxor hanya mampu menjual 10% dibanding omset tahun sebelumnya. Tahun 1984 ini, sekalipun sudah mulai membaik, mereka belum mampu mencapai 30% omset semula. Sampai pihak Kedutaan Swedia sendiri merasa perlu turun tangan memberikan pernyataan bahwa tidak ada komponen Taiwan dalam televisi Luxor yang benar-benar dibuat di Swedia. Perusahaan telepon Ericsson yang diwakili oleh PT Erindo Utama di Indonesia juga harus bersaing berat dengan perusahaan lain yang menjual sistem telekomunikasi. Beberapa tahun yang lalu Ericsson terpaksa gigit jari karena Perumtel menandatangani kontrak dengan Siemens (Jerman Barat). Tetapi ketika pelaksanaan kontrak ini kemudian agak terganggu karena beberapa kelambatan, Ericsson masih mencoba untuk menawarkan sistem AXE-nya sebagai pilihan yang menguntungkan. Sistem public switching AXE yang modem ini telah dipakai di 56 negara, temmasuk juga beberapa negara tetangga kita seperti Malaysia, Australia, Thailand, Hong Kong dan Korea. Ericsson sendiri masih mempunyai keyakinan dapat ikut serta dalam proyek-proyek Perumtel yang akan datang. "Indonesia toh masih memerlukan begitu banyak sambungan telepon," kata seorang sumber Ericsson. Keyakinan itu bukan saja karena keunggulan dan keandalan sistem Ericssoo, tetapi juga karena sejak tahun 1907! Encsson telah membuktikan kesungguhannya dalam melakukan alih teknologi kepada bangsa Indonesia. Volvo di Indonesia pun boleh dianggap kurang beruntung kalau dibandingkan dengan pasar mereka di kawasan lain. Volvo jenis terbaru, seri 740 dan 760, tidak dapat dimasukkan ke Indonesia. Volvo seri 240 dan 260 pun tidak terlalu banyak beredar karena harganya yang tinggi dan harga jual kembali yang rendah. "Kecuali Mercedes Benz, semua mobil Eropa harga jual kembalinya selalu jatuh," kata Prawito Hadisaksono dari Central Sole Agency, distributor Volvo di Indonesia. Ia juga menyatakan keheranan bahwa mobil Volvo yang di Eropa dan di Amerika dianggap mobil biasa, di Indonesia dianggap sebagai mobil gengsi. "Di Eropa dan Amerika kami hanya unggul karena dianggap kuat, terpercaya dan aman," kata Prawito. Tahun 1985 nanti Volvo akan meluncurkan jenis mobil yang lebih kecil, seri 340 (1.400 cc), agar dapat merebut segmen pasar yang lebih luas. Kabarnya harga mobil ini akan dibuat sedemikian rupa agar bisa bersaing dengan mobil-mobil Jepang. Beberapa pengusaha Swedia beranggapan bahwa mereka masih memerlukan antara 3-5 tahun lagi untuk bisa mencapai tingkat pasar yang menguntungkan di kawasan ASEAN ini. Hingga sekarang pun belum ada perusahaan Swedia yang undur dari gelanggang ini sekalipun sedang terjadi kesusutan dan kelesuan. "Memang harus ada komitmen jangka panjang dari Swedia terhadap ASEAN," kata Per Halstrom dari Dewan Perdagangan Swedia. "Dalam situasi pasar baik atau buruk, kami akan tetap berusaha meningkatkan kegiatan kami di sini." *)Karangan ini ditulis seluruhnya oleh Bondan Winarno. Bondan adalah kolumnis dan penulis rubrik tetap "Kiat" di TEMPO. BOKS I Kisah Dua Empu Manajemen Modern MASING-masing negara mempunyai pakar dalam bidang manajemen. Pehr dan Percy adalah dua tokoh muda yang telah mencapai puncak sukses di Swedia. Pehr G. Gyllenhammar, baru berusia 37 tahun ketika mulai memimpin Volvo 12 tahun yang lalu. Volvo adalah industri terbesar di Swedia yang mempekerjakan 71.506 karyawan pada akhir tahun 1983 (25% bekerja di luar Swedia) dan omset tahunan 100 milyar krona. Percy Bamevik, 43 tahun, baru empat tahun memimpin ASEA, salah satu industri terbesar Swedia dengan 56.660 karyawan (35% bekerja di luar Swedia) dan omset tahunan 30 milyar krona. Keduanya menghasilkan retum on total capital sebesar 20%. Volvo mengekspor 85% dari produksinya ke luar Swedia. ASEA mengekspor 65%. Seperti juga para manajer profesional modern, Pehr Gyllenhammar juga mengakui bahwa karyawan adalah modal utama peru sahaannya. "Gagasan, ambisi, keterampilan dan pengalaman merekalah yang akan memungkinkan perusahaan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan untuk masa depan," kata Pehr. Tidak heran kalau di banyak sudut kantor dan pabrik Volvo terdapat kotak-kotak untuk menampung saran dan gagasan karyawan. Salah satu ciri manajemen Volvo adalah pemilikan saham yang dipegang oleh lebih dari 150.000 orang. Tidak seorang pun dari pemegang saham yang mempunyai hak suara lebih dari 6%. Ini pulalah yang menyebabkan direksi Volvo gagal menjual sebagian sahamnya kepada Norwegia untuk ditukar dengan pemilikan saham atas ladang minyak lepas pantai Norwegia. Percy Barnevik dari ASEA pun merupakan manajer dengan tatapan masa depan yang tajam. Pada ulang tahun ke-100 ASEA tahun lalu, Percy menyampaikan pidato yang berisi ramalannya tentang perspektif masa depan. Prinsip dasamya adalah: "Masa depan ASEA sangatlah dipengaruhi oleh perubahan dunia yang terjadi di sekelilingnya. Masa depan ASEA sepenuhnya tergantung pada bagaimana kita bisa menggunakan teknologi baru atau aplikasi baru, dan kemampuan kami untuk memasuki pasar baru," kata Percy. Percy meramalkan bahwa sikap proteksionisme akan makin meningkat di masa depan. Karena itu pulalah ia menganggap bahwa kenetralan Swedia yang tetap berada di luar blok (tidak masuk MEE, NATO, IGGI) bisa membahayakan eksport Swedia. Tetapi ia pun mempunyai keyakinan bahwa negara-negara berkembang masih akan membeli proyek-proyek tumkey untuk meningkatkan pembangunannya. Di sektor ini ASEA agaknya memang sudah lama mempersiapkan diri. BOKS II Wawancara dengan Dua Duta Besar HARUS BERSAING DENGAN JEPANG SEPERTI negara-negara non-blok lainnya, Indonesia dan Swedia mempunyai banyak kesamaan," kata Arne Lellki, duta besar Kerajaan Swedia di Indonesia. Di bidang politik memang tidak ada gangguan maupun ancaman bagi hubungan bilateral Indonesia-Swedia. Ini tentu saja karena sikap netral Swedia. Tetapi di bidang ekonomi hingga sekarang masih terjadi ketimpangan neraca perdagangan. Tahun 1983 yang lalu Swedia memasukkan barang-barang seharga 704 juta krona (1 krona = Rp 120), tetapi hanya membelanjakan 184 juta krona di Indonesia. Ekspor Indonesia ke Swedia terutama adalah tekstil, singkong (untuk makanan ternak), tepung ikan (juga untuk makanan ternak). Indonesia pun banyak mengimpor bubur kertas dan kertas dari Swedia. Para penerbit surat kabar dan majalah di Indonesia masih menganggap kertas Swedia yang paling baik. "Secara tradisional, Swedia juga membeli kopi dan rempah-rempah dari Indonesia," kata Lellki. "Dulu waktu saya masih kecil, orang menyebut kopi Jawa untuk minuman lezat ini. Dulu pun arak dari Indonesia banyak diminum di Swedia, kini tidak lagi." Indonesia pun sejak sebelum perang mengenal korek api Swedia. Hingga kini kita masih dapat membeli korek api yang kotaknya dicetak dengan etiket Swedia (ejaan lama): sakerhets-tandstickor. "Soal ketimpangan neraca perdagangan ini haruslah kita lihat secara obyektif," kata Alex Rumambi, duta besar Republik Indonesia di Swedia. "Swedia hanya berpenduduk 8,3 juta jiwa, tentu saja tidak banyak volume impor mereka. "Bukan hanya jumlah penduduk yang sedikit, unsur jarak yang begitu lebar memisahkan Indonesia-Swedia tentulah bertanggung jawab atas soal ini. Swedia yang meski punya kayu berlimpah, masih juga mengimpor sedikit kayu dari hutan tropik. Tetapi untuk membeli kayu tropik dari Indonesia tentulah sangat mahal ongkosnya. Karena itu Swedia membeli kayu tropik dari Afrika. Di bidang tekstil Indonesia boleh merasa lega karena impor tekstil dari Indonesia ke Swedia sempat membuat iri negara-negara penghasil tekstil lainnya. "Kita memang sudah punya perjanjian dalam hal tekstil dengan Swedia," kata Rumambi. Pada saat ini Swedia mengimpor 70% dari kebutuhan tekstil mereka. " Kita sebenarnya merasa bahwa Swedia berpikir terlalu simplistik dalam hal impor tekstil ini. Karena kebutuhan itu diimpor dari tujuh negara, maka dengan mudah setiap negara kebagian sepuluh persen," kata Rumambi. "Tetapi masa impor dari negara yang berpenduduk 150 juta disamakan dengan impor dari negara yang hanya berpenduduk 15 juta?" Menurut Arne Lellki ekspor Swedia ke Indonesia pada tahun 1983 mengalami kenaikan 11% (menurut majalah South, naik 36%), tetapi tahun ini turun 22%. Beberapa pengamat menyebut bahwa seretnya kenaikan ekspor Swedia ke negara-negara ASEAN adalah karena Swedia tidak menyediakan fasilitas kredit lunak atau pinjaman jangka panjang lainnya. "Kami pun meminjam dari pasar uang internasional." Sejak 1981 pun Swedia telah mengundurkan diri dari IGGI dan hanya menjadi peninjau. Mundurnya status keanggotaan Swedia dari IGGI tentu saja mempunyai dampak karena Pemerintah Indonesia cenderung menyerahkan proyek-proyeknya kepada negara-negara anggota IGGI. Duta Besar Rumambi menyebut bahwa Indonesia dapat memahami keadaan Swedia dan memang tidak terlalu mengharapkan pinjaman-pinjaman lunak jangka panjang. Hubungan dagang Indonesia-Swedia tampaknya memang tidak sangat mulus. Skanska dan ASEA yang bersama Balfour Beatty (Inggris) memperoleh kontrak pada tahun 1982 untuk membangun proyek PLTA Mrica di Jawa Tengah terkena penjadwalan kembali pada tahun 1983. "Kejadian ini tampaknya membuat Swedia terpukul," kata Rumambi. "Semua pengusaha Swedia lalu mengamati peristiwa ini dengan seksama. Mereka tentu tidak ingin kehilangan pasar Indonesia karena pasar tradisional mereka di Eropa mulai jenuh." Penjadwalan kembali itu sebenarnya bukanlah karena pihak Indonesia tidak mau membiayai proyek itu, tetapi karena Pemerintah tidak mau jalan terus kalau ternyata tidak bisa membiayainya. Proyek yang mandek setahun itu kini telah berjalan kembali. Duta Besar Arne Lellki sendiri tidak melihat kasus Mrica itu sebagai hal yang menakutkan Swedia. "Saya menganggap bahwa dalam kasus ini Pemerintah Indonesia sanga compromising. Cara Pemerintah Indonesia menangani krisis ekonominya tahun lalu justru membuat saya angkat topi," katanya. Alex Rumambi menaksir bahwa untuk masa yang akan datang Indonesia akan lebih banyak mengimpor produk-produk teknologi Swedia karena tingkat dan mutu teknologi Swedia yang unggul. Tetapi Arne Lellki tidah dapat menyatakan hal yang serupa. "Kami tidak punya sistem untuk bisa membuat prioritas," kata Lellki. "Biarlah para pengusaha Swedia berkompetisi sendiri dan memenangkan pasar Indonesia. Indonesia masih perlu jutaan mobil dan Volvo harus bersaing dengan Jepang. Indonesia masih memerlukan jutaan telepon dan Ericson harus bisa bersaing."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus