Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setelah 'Happening' dengan Peri

Seniman teater Kodok Ibnu Sukodok melakukan "perkawinan" dengan peri di Ngawi. Resepsinya menyedot ribuan warga.

20 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kodok Ibnu Sukodok, 63 tahun, telah kembali ke tempat sehari-harinya di Wisma Seni, di belakang Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Tidak ada yang berubah dari penampilan lelaki bohemian bernama asli Prawoto Mangun Baskoro ini. Rambutnya tetap putih awut-awutan, tak dicukur rapi. Untuk sementara waktu, mantan anggota Bengkel Teater Rendra itu mungkin tak melakukan aktivitas apa-apa. Kemudian, seperti biasa, ia tentu menyanyi sendiri dengan gitarnya, menulis, membaca puisi, dan diskusi dengan anak-anak teater kampus atau apa.

Rabu, 8 Oktober lalu, ia menghebohkan Kota Ngawi, Jawa Timur. Belum pernah mungkin dalam karier kesenimanannya ia mendapat pemberitaan media nasional demikian luasnya. Belum pernah penonton "pertunjukan"-nya sebanyak itu. Oleh Bramantyo Prijosusilo, sahabatnya yang juga eks Bengkel Teater, ia dinikahkan dengan peri Alas Ketonggo (hutan dekat Ngawi) bernama Rara Setyawati.

Pesta perkawinan berlangsung di rumah Bramantyo, sebuah rumah tua bergaya joglo di Desa Sekalaras, Kecamatan Widodaren. Bram yang mengurus seluruh perhelatan. Dari meminta izin ke kelurahan, mengatur seksi keamanan, sampai menyebarkan undangan.

Acara sensasional itu betul-betul "gila" karena prosesinya ternyata berlangsung tak main-main dan khidmat. Kodok sebagai pengantin pria tampak serius. Menurut dia, peri itu dikenalnya semenjak lima tahun lalu. Ia merasa bahwa Setyawati selalu hadir dalam kehidupannya kendati tidak terlihat. Peri itu menjadi spiritnya dalam berkarya melalui lukisan, tulisan, ataupun lagu.

Sejak sore hingga malam itu, ribuan tamu berdesakan saat pasangan pengantin dipertemukan. Prosesi siraman air bunga dilakukan seniman kondang pelaku gerak spiritual asal Solo, Suprapto Suryodarmo. Tubuh Sukodok yang berbalut pakaian basahan batik hijau diguyur dengan air dari tempayan oleh Suprapto dan Kiai Khaelani Jaelani. Kodok dengan pakaian seorang pengantin Jawa kemudian bersanding dengan kursi kosong.

Mungkin baru kali ini sebuah happening art mampu menyedot warga biasa. Happening art biasanya terbatas dimengerti lingkaran seniman. Meski sering digelar di candi, situs, atau tempat terbuka, konteksnya tetap pameran, festival, biennale, atau apa. Wilayahnya adalah "seni untuk seni". Sebanyak-banyaknya warga yang menonton tetap dari kalangan terbatas.

Adapun dalam hajatan ini, selain puluhan seniman, seperti penari Djarot Budidarsono, perupa Rahmayani, pengamat teater Halim H.D., performer Melati Suryodarmo, penyanyi Oppie Andaresta, dan Sawung Jabo dari keluarga besar Bengkel Teater seperti, yang paling berduyun-duyun mengalir adalah masyarakat biasa yang penasaran. "Semua orang yang hadir menjadi bagian dari seni ini," kata Bramantyo.

Harus diakui, sebagai sebuah happening art, acara itu sangat berhasil. Kalah happening art lain dari segi penonton, paling tidak yang terjadi dalam satu-dua tahun belakangan ini. Itu karena Bram mampu mengolah mitos-mitos Alas Ketonggo, yang sehari-hari memang ada dalam kesadaran penduduk desa di Ngawi. Alas seluas 4.846 meter persegi yang berada di sebelah selatan Kota Ngawi itu dipercaya masyarakat merupakan tempat wingit.

Raja Majapahit, yaitu Prabu Brawijaya V, dikabarkan pernah singgah di Srigati, salah satu situs di Alas Ketonggo. Konon, di tempat itu sang raja menanggalkan pakaian dan atribut kerajaan untuk bermeditasi selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Lawu. Presiden Republik Indonesia Sukarno, syahdan, juga pernah bermeditasi di situs Punden Tugu Mas, yang berupa lingga dan yoni.

Tak mengherankan bila saat "temu manten" berlangsung, warga ada yang menganggap Setyawati benar-benar hadir. Salah satu tanda kedatangan Setyawati adalah embusan angin yang menyibak kain putih yang digelar memanjang di halaman rumah tua itu.Apalagi tokoh sekaliber Suprapto Suryodarmo juga yakin akan kehadiran peri Setyawati. Dia merasakannya melalui sebuah getaran yang sulit dideskripsikan. Pengasuh Padepokan Lemah Putih itu menganggap perkawinan itu sebagai sebuah kenyataan.

Bagaimana wajah Setyawati? Sukodok menggambarkan Setyawati sebagai seorang perempuan setengah baya yang memiliki wajah klasik. Perempuan itu mengenakan pakaian kebaya dengan aksesori sederhana seperti layaknya perempuan desa.

Sukodok menceritakan perkenalannya dengan Setyawati berawal saat dia berjalan-jalan di Hutan Ketonggo, yang berada di daerah Paron, Ngawi. Ia buang air besar di sebuah sungai. Beberapa hari kemudian, dia ditegur oleh Setyawati melalui sebuah mimpi. Dan mimpi itu terus mengejarnya sampai bertahun-tahun. Ia lalu merasa akrab dengan Setyawati.

Ia menceritakan mimpi itu kepada Bram. Bagi Bram, kisah cinta Kodok dan Setyawati tak aneh. Dalam kisah-kisah Jawa, hal itu sama dengan perkawinan Panembahan Senopati dengan Nyi Roro Kidul atau Jaka Tarub dengan Dewi Nawangwulan. Karena itu, Bram kemudian berusaha meresmikan sosok ayu dalam mimpi sebagai pendamping sahabatnya. Dan ia menggelar hajatan yang hanya diterangi obor.

Tapi Ketua Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa Provinsi Jawa Timur Toto Widhiarto menyatakan "perkawinan" antara Sukodok dan Setyawati tentu tidak benar-benar terjadi. Sebab, secara kodrati jodoh manusia adalah manusia dan jodoh jin adalah jin juga.

Ia melihat hajatan itu sesungguhnya adalah medium Bram dan Kodok melakukan kritik lingkungan. Perkawinan itu suatu "upacara simbolis" untuk memprotes kondisi Hutan Ketonggo yang kini ramai dengan penebangan liar. Perkawinan itu sebuah mitos baru yang membawa semangat bagi masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan.

Tempat tinggal Setyawati di Sendang Margo, yang termasuk wilayah Alas Ketonggo, memang kini rusak akibat illegal logging. Pohon jati besar banyak yang hilang. "Itulah sebenarnya yang diperingatkan Kodok," ujar pria 55 tahun ini.

Menurut Toto, dalam kepercayaan warga Ngawi, Setyawati adalah danyang, manusia yang hidup 600-700 tahun lalu dan jasadnya telah hancur tapi rohnya masih ada. Danyang, Toto melanjutkan, merupakan urutan keturunan orang Jawa kesepuluh setelah anak, bapak, mbah, buyut, canggah, wareng, udeg-udeg, gantung siwur, dan gropak sente. Danyang diyakini sebagai orang suci dan memiliki ilmu yang sempurna. Maka sisa-sisa energinya masih menyelimuti di suatu tempat dengan radius tertentu.

Masuk akal saja bagi Toto apabila Kodok sekitar lima tahun saat berada di sungai Hutan Ketonggo merasa diperingatkan Setyawati. "Biasanya orang yang buang hajat itu melamun. Saat itulah pikirannya kosong dan kebetulan di tempat itu ada energi pedanyangan akhirnya masuk ke Sukodok," ujar Toto.

Suprapto melihat peristiwa pernikahan tersebut sebagai sebuah ruwatan ekosistem Alas Ketonggo. Sebuah ruwatan agar Alas Ketonggo bisa kembali seperti dulu. "Ya, melalui pernikahan ini, kami meruwat sungai dan sumber airnya," katanya.

Bramantyo Prijosusilo, sang sutradara happening art, tampak bangga mampu merealisasi resepsi pernikahan ini. Ia mengatakan perkawinan Sukodok dengan Setyawati menjadi sejarah baru. Sebab, dalam cerita mitos terdahulu, resepsi perkawinan antara manusia dan makhluk halus selalu berlangsung di alam gaib, misalnya resepsi Joko Tarub dengan Nawangwulan."Happening resepsi Sukodok dengan Setyawati bisa kami selenggarakan. Bukan fiktif, kan?'' ujarnya.

Tentunya Mas Kodok setelah perkawinan heboh itu kini capek, tapi penuh inspirasi.

"Bagaimana malam pertamanya dengan peri, Mas Kodok? Kok, tidak berbulan madu?" Tempo mencoba hati-hati bertanya saat bertemu dengannya di Wisma Seni.

"Saya menghormati Setyawati karena sering mengingatkan saya berkarya. Saya tidak pernah meminta berhubungan seks," tutur Sukodok.

Menurut Sukodok, dia sempat terpikir mencari rumah di dekat Hutan Ketonggo. "Tapi rencana itu masih jauh," katanya.

Nofika Dian Nugroho (Ngawi) dan Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus