Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Setelah Juz 30

Rendra menjalani masa tuanya dengan menghindari perangkap kenangan sukses masa lalu. Sangat tertarik pada dunia maritim.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP pagi ia berjalan perlahan mengitari kompleks rumahnya yang luas dan rindang di Depok, Jawa Barat. Bersama anak-anak Bengkel Teater, ia suka menjelajahi pekarangan seluas tiga hektare itu, seraya mengamati aneka tanaman, mengawasi kambing ettawa kesayangannya, lalu mengajak anak-anak memasak. ”Dia hobi sekali masak nasi goreng,” kata Arifin, asistennya asal Salatiga, selama sepuluh tahun terakhir.

Willibrordus Surendra Broto Rendra di atas 70 tahun tak lagi sarat dengan puisi dan teater. Memang, sesekali ia menghabiskan berjam-jam di atas bangku favoritnya yang terletak di bangunan kayu yang menghadap ke utara di kompleks itu, untuk menulis dan membaca. Tapi ia bukan lagi Rendra perkasa di panggung teater dan di ruangan latihan silat: ia satu dari 41 anggota nomor satu persatuan gerak badan Bangau Putih.

Dengan rambutnya yang memutih, menyentuh pundak, dan menggelombang itu, Rendra masih tampak gagah, dan sepertinya mencoba menghindar dari perangkap kenangan sukses masa lalu. Sedikit sekali ia bercerita tentang dunia pentasnya yang mempesona pada 1970-an dan 1980-an, seperti Lysistrata, Oedipus, atau Barzanji.

Rendra 70-an tahun bukanlah kakek yang suka bercerita tentang kegagahan dan kepahlawanan masa mudanya. Kendati semua orang tahu, misalnya, adalah melalui Rendra kita menyaksikan ironi yang menusuk dalam pertunjukannya pada 1987 di Jakarta. Oedipus Sang Raja berbicara tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi takdirnya. Oedipus, yang mengusut kasus pembunuhan ayahnya itu, akhirnya tahu: sang pembunuh adalah dirinya sendiri—seperti yang diramalkan.

Rendra 70-an tahun adalah seorang kakek yang sibuk. Ia tak kenal bosan mengeksplorasi aneka topik: dari berita aktual, sejarah, sains, sampai dunia maritim—yang paling digandrunginya belakangan ini. ”Dia suka bicara tentang bagaimana mengembalikan semangat maritim bangsa ini, dunia yang sekarang kita abaikan,” tutur Rosihan Anwar, wartawan senior, kolega Rendra di Akademi Jakarta.

Rendra juga suka membandingkan negara maritim yang egaliter dengan negara agraris yang feodal seperti Mataram. Adakah ini semua merupakan kompensasi atas puisi dan teaternya yang tak semencorong dulu? Yang jelas, Rendra adalah sosok seperti ungkapan yang sering dipakai orang Betawi: gak ade matinye.

Manakala Soeharto terpaksa turun takhta pada 1998, Rendra, yang sajak-sajaknya tak lagi liris dan lebih menyerupai pernyataan politik yang tak lagi tabu itu, tidak ikut tenggelam. Ia tetap sering diundang ke daerah untuk memberikan ceramah, yang topiknya tidak melulu tentang kesusastraan.

Rendra bukan anak muda lagi. Ginjalnya mengalami gangguan, ”Kondisi ini karena Mas Willy tidak suka minum air putih,” kata Arifin, asistennya. Pada 2003 ia menjalani operasi pemasangan cincin di jantungnya. ”Mas Willy menduga penyakitnya ini karena kualat,” kata lelaki yang pernah bekerja di Taman Budaya Surakarta sebelum bergabung dengan Rendra itu. ”Aku pernah janji enggak minum alkohol, eh..., aku langgar,” kata Rendra waktu itu. Penyair yang dijuluki Si Burung Merak ini mengaku melanggar janjinya ketika diundang ke Skandinavia dan Jerman.

Pulang dari Jerman ia menderita kolik (sakit perut hebat), sesuatu yang oleh dokter kemudian dianggap sebagai serangan jantung. Ia pernah bilang ingin hidup sampai berusia 100 tahun. ”Tadinya ia ingin berobat ke Singapura, tapi enggak punya uang,” kata Edi Haryono, sahabat sekaligus pengurus Bengkel Teater. Dalam kondisi seperti itu pun Rendra masih memenuhi undangan ke daerah-daerah.

Rendra wafat pada usia 74. Dua tahun sebelumnya ia pernah menelepon mantan istri keduanya, Sitoresmi, dan minta dibacakan Al-Quran Juz 30 yang berisi ayat-ayat tentang kematian. Ya, Rendra bukan Chairil Anwar atau novelis Jepang Yukio Mishima, yang mati muda di pucuk pencapaiannya. Ia mengalami ototnya yang mulai kendur dan napasnya yang cepat memburu. Seperti Oedipus yang tak bisa melawan takdir, ia pun menjadi tua lalu meninggalkan kita.

Idrus F. Shahab, Sita Aquadini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus