Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setelah kejadian rendra, bagaimana ?

Sapardi joko damono, dosen fsui, menyatakan dengan adanya kasus rendra, pemerintah sudah berubah sejak dulu sampai sekarang, kesusasteraan kita sebenarnya tak pernah sepi dari kritik sosial. (ter)

20 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYAIR ini, dosen di Fakultas Sastra UI kini tengah menyiapkan thesis untuk gelar doktornya, tentang kesusastraan dan masyarakat Indonesia. Ia baru pulang dari undangan berkeliling di Australia. Dari semua buku-buku puisinya Djoko Damono tidak termasuk penyair yang berciri "protes sosial." Puisinya justru memukau karena berbisik, tentang Tuhan, kematian, dan pokok-pokok soal yang selalu hidup sepanjang masa. "Saya baru saja berbicara di Australia mengatakan bahwa meskipun ada hal-hal yang dianggap buruk di Indonesia, tapi belum pernah ada orang ditangkap karena menulis puisi, membaca sajak atau menulis novel. Maka kaget juga saya mendengar Rendra ditahan. Dulu itu tak terjadi mungkin karena pemerintah tak memperhatikan kesusastraan, karena mungkin sastra dianggap tak efektif. Atau memang karena pemerintah tak pernah membacanya. Sekarang nyatanya dengan kasus Rendra pemerintah sudah berubah. Rendra mungkin menganggap itu barang kesenian, tapi pemerintah itu umpatan. Ini soal yang bisa dipertengkarkan bertahun-tahun. Tentang sajak-sajak Rendra terakhir, saya tak menganggap itu bagus. Rendra mengatakan itu sajak pamflet. Ini mungkin saja usaha Rendra untuk melemparkan genre (jenis) baru. Kalau nanti diakui, itu membutuhkan kriteria tersendiri. Tapi kesusastraan kita sebenarnya tak pernah sepi dari kritik sosial, sejak dulu sampai sekarang. Dulu misalnya kita mengenal novel Belenggu karya Armijn Pane. Tetapi yang disebut kritik sosial dalam sastra (kalau kita percaya sebuah novel itu lain dari pidato dan artikel biasa) menuntut bentuk sendiri, sesuai dengan hakikat kesenian sendiri. Sejauh mana seorang seniman melanggar tuntutan tersebut, itu harus ditanyakan dan dijawab dengan jujur oleh senimannya sendiri. Sulit untuk mengdtakan bahwa pemerintah punya hak untuk membatasi kreativitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus