PENYAIR ini, dosen di Fakultas Sastra UI kini tengah menyiapkan
thesis untuk gelar doktornya, tentang kesusastraan dan
masyarakat Indonesia. Ia baru pulang dari undangan berkeliling
di Australia. Dari semua buku-buku puisinya Djoko Damono tidak
termasuk penyair yang berciri "protes sosial." Puisinya justru
memukau karena berbisik, tentang Tuhan, kematian, dan
pokok-pokok soal yang selalu hidup sepanjang masa.
"Saya baru saja berbicara di Australia mengatakan bahwa meskipun
ada hal-hal yang dianggap buruk di Indonesia, tapi belum pernah
ada orang ditangkap karena menulis puisi, membaca sajak atau
menulis novel. Maka kaget juga saya mendengar Rendra ditahan.
Dulu itu tak terjadi mungkin karena pemerintah tak memperhatikan
kesusastraan, karena mungkin sastra dianggap tak efektif. Atau
memang karena pemerintah tak pernah membacanya. Sekarang
nyatanya dengan kasus Rendra pemerintah sudah berubah. Rendra
mungkin menganggap itu barang kesenian, tapi pemerintah itu
umpatan. Ini soal yang bisa dipertengkarkan bertahun-tahun.
Tentang sajak-sajak Rendra terakhir, saya tak menganggap itu
bagus. Rendra mengatakan itu sajak pamflet. Ini mungkin saja
usaha Rendra untuk melemparkan genre (jenis) baru. Kalau nanti
diakui, itu membutuhkan kriteria tersendiri.
Tapi kesusastraan kita sebenarnya tak pernah sepi dari kritik
sosial, sejak dulu sampai sekarang. Dulu misalnya kita mengenal
novel Belenggu karya Armijn Pane. Tetapi yang disebut kritik
sosial dalam sastra (kalau kita percaya sebuah novel itu lain
dari pidato dan artikel biasa) menuntut bentuk sendiri, sesuai
dengan hakikat kesenian sendiri. Sejauh mana seorang seniman
melanggar tuntutan tersebut, itu harus ditanyakan dan dijawab
dengan jujur oleh senimannya sendiri.
Sulit untuk mengdtakan bahwa pemerintah punya hak untuk
membatasi kreativitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini