Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setelah kejadian rendra, bagaimana ?

Asrul sani, 50, ketua dewan kesenian jakarta akan menghalangi tim dijadikan sebagai tempat pidato politik. kalau sajak rendra mendapat respons hebat, karena pendengarnya merasakan keadaan yang dinyatakannya.(ter)

20 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SASTRAWAN dari jaman 45 ini, yang juga sutradara, di masa "demokrasi terpimpin" nyaris kepepet. Filmnya, Di Balik Pagar Kawat Berduri, yang ditulis berdasarkan novel revolusi karya Trisnojuwono, diganyang oleh koran-koran kiri sebagai bertentangan dengan garis revolusi. Film itu dituntut agar dilarang beredar. Tapi berbeda dari orang-orang Manifes Kebudayaan yang kena ganyang tapi tak punya deking, Asrul waktu itu bisa berlindung pada partai NU. Akhirnya masalah film ini diselesaikan sendiri oleh . . . Presiden Soekarno. Pemimpin Besar Revolusi bilang: boleh, setelah ia sendiri menyaksikan film tadi. Di luar kejadian itu, Asrul Sani, 50 tahun, belum pernah dicegat dalam berkarya. Ia kini anggota Akademi Jakarta, dan juga Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Pendapatnya: "Memasukkan unsur politik dalam karya seni bukanlah kegiatan politik praktis. Kalau mengumpulkan massa untuk demonstrasi itu politik praktis. Pamflet yang dibaca Rendra itu sama saja dengan yang dulu-dulu. Juga dulu kita membaca sajak-sajak Taufiq Ismail, Tirani yang menyuarakan protes para mahasiswa terhadap Orde Lama. Seperti itu, puisi Rendra juga bersifat sementara. Sajak semasa. Kalau tak mengena akan hilang dengan sendirinya. Nah, kalau sajak itu mendapat respons hebat, itu karena pendengarnya merasakan keadaan yang dinyatakannya. Seniman juga punya tanggungjawab pada tanah air. Atau setidaknya pada hati nuraninya. Di Rusia dulu, sebelum revolusi komunis terjadi, pengarang Dostoyewski menggambarkan apa yang bergolak di negerinya. Tapi penguasa waktu itu tak melihatnya sebagai ramalan cuaca, dan langsung memusuhi si pengarang. Tapi apakah yang akan dihasilkan seniman itu seni atau bukan, sulit untuk memberikan ukuran yang pasti. Ini semua barang bergerak. Yang jelas, kalau TIM mau dijadikan tempat pidato politik, itu kita halangi. Kalau belum lama ini di TIM ada pamflet pencalonan presiden yang ditempelkan di pohon, itu bukan program TIM."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus