SASTRAWAN dari jaman 45 ini, yang juga sutradara, di masa
"demokrasi terpimpin" nyaris kepepet. Filmnya, Di Balik Pagar
Kawat Berduri, yang ditulis berdasarkan novel revolusi karya
Trisnojuwono, diganyang oleh koran-koran kiri sebagai
bertentangan dengan garis revolusi. Film itu dituntut agar
dilarang beredar. Tapi berbeda dari orang-orang Manifes
Kebudayaan yang kena ganyang tapi tak punya deking, Asrul waktu
itu bisa berlindung pada partai NU. Akhirnya masalah film ini
diselesaikan sendiri oleh . . . Presiden Soekarno. Pemimpin
Besar Revolusi bilang: boleh, setelah ia sendiri menyaksikan
film tadi.
Di luar kejadian itu, Asrul Sani, 50 tahun, belum pernah dicegat
dalam berkarya. Ia kini anggota Akademi Jakarta, dan juga Ketua
Dewan Kesenian Jakarta. Pendapatnya:
"Memasukkan unsur politik dalam karya seni bukanlah kegiatan
politik praktis. Kalau mengumpulkan massa untuk demonstrasi itu
politik praktis. Pamflet yang dibaca Rendra itu sama saja
dengan yang dulu-dulu. Juga dulu kita membaca sajak-sajak
Taufiq Ismail, Tirani yang menyuarakan protes para mahasiswa
terhadap Orde Lama. Seperti itu, puisi Rendra juga bersifat
sementara. Sajak semasa. Kalau tak mengena akan hilang dengan
sendirinya. Nah, kalau sajak itu mendapat respons hebat, itu
karena pendengarnya merasakan keadaan yang dinyatakannya.
Seniman juga punya tanggungjawab pada tanah air. Atau setidaknya
pada hati nuraninya. Di Rusia dulu, sebelum revolusi komunis
terjadi, pengarang Dostoyewski menggambarkan apa yang bergolak
di negerinya. Tapi penguasa waktu itu tak melihatnya sebagai
ramalan cuaca, dan langsung memusuhi si pengarang.
Tapi apakah yang akan dihasilkan seniman itu seni atau bukan,
sulit untuk memberikan ukuran yang pasti. Ini semua barang
bergerak. Yang jelas, kalau TIM mau dijadikan tempat pidato
politik, itu kita halangi. Kalau belum lama ini di TIM ada
pamflet pencalonan presiden yang ditempelkan di pohon, itu bukan
program TIM."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini