DI masa "demokrasi terpimpin" dulu, empat bersaudara yang
disebut Koes disekap di penjara Glodok, Jakarta Kota, selama
tiga bulan. Kesalahannya: dituduh menyebarkan lagu yang
terpengaruh The Beatles, yang waktu itu dicap "ngak-ngik-ngok".
Mereka baru bebas dari Glodok, bersamaan dengan gagalnya Gerakan
30 September, dan datangnya "Orde Baru", yang waktu itu disambut
sebagai pembebas dari pelbagai kekangan di bidang ilmu dan
kesenian.
Sejak zaman baru itu grup-grup penyanyi pop tumbuh subur, banyak
yang jadi makmur, termasuk Koes Bersaudara yang kemudian jadi
Koes Plus, dan lain-lain. Di masa kini nampaknya penyanyi dan
musik pop yang komersiil memang maju, praktis tanpa hambatan
dari badan-badan pemerintah -- barangkali karena isinya
rata-rata jinak, kebanyakan tentang cinta. Bukan kebetulan jika
Nomo Koeswoyo, salah satu dari Koes, kini mengatakan "Iklim
kreatifitas agak mending sekarang."
Katanya pula:
"Bedanya, kreatifitas di musik kini punya ikatan yang memberat
pada tuntutan komersiil, permintaan pasar. Lagu protes? Kalau
semua pencipta lagu mengurusi protes, wah, kaset-kaset bakal
banyak yang nggak laku. Kita ini 'kan golek pangan (cari
makan). Mungkin saja dengan lagu protes itu Koes Bersaudara bisa
populer. Tapi taruhan, deh, kasetnya pasti kurang laku.
Saya lebih menyenangi stabilitas, dan karena itu juga saya
tidak bikin lagu protes. Kalau toh masih ada yang ingin protes
mbok ya lewat lembaga perwakilan rakyat. Sebagai orang Timur,
kalau efek protes itu kurang baik, rasa risi itu kadang-kadang
mengganggu juga. Kalau kami (Koes Bersaudara) diminta untuk
melancarkan protes, saat yang tepat adalah dulu, ketika kami
masih menyala-nyala."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini