Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Setelah kejadian rendra, bagaimana ? seni kita harus bagaimana ?

Rendra ditahan sehabis membacakan sajak-sajaknya di pusat kesenian tim. kebebasan kreativitas yang dimiliki seniman sejak orde baru, kini dibatasi. pendapat tentang kreativitas, kebebasan dan wadah kesenian. (ter)

20 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENDRA ditahan, sehabis membacakan sajak-sajaknya di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki. Kejadian dua pekan lalu itu membikin kaget sementara orang, tapi umumnya diterima dengan tenang. Tak ada gelombang ribut seperti yang terjadi dalam sandiwara Mastodon dan Burung Kondor, ketika penyair jagoan Jose Carosta ditangkap. Mungkin karena penahanan sekarang ini sudah tak aneh lagi. Mungkin karena banyak yang menganggap, apa yang terjadi pada Rendra adalah risiko yang sudah harus diperhitungkan oleh Rendra sendiri, ketika ia tampil sebagai pengritik keadaan kini. Namun yang jadi persoalan tentulah bukan risiko Rendra saja. Pihak keamanan, melalui ucapan Let. Kol. Anas Malik, menyesali Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), yang diurus oleh Dewan Kesenian Jakarta. "TIM bukan Hyde Park," katanya, menyebut taman terbuka di London, Inggeris, yang tersohor sebagai tempat orang berpidato bebas itu. Yang terkesan dari ucapan itu ialah kehendak untuk memperketat kontrol atas hal-hal yang dimunculkan di TIM. Sebelum kasus Rendra, Dewan Kesenian Jakarta sendiri pun sudah mulai repot dengan masalah kontrol. Di tahun 1975, Putu Wijaya mementaskan Lho. Lakon ini tanpa jalan cerita, tapi sangat memukau, dari suasana dan lukisan yang suram sampai dengan yang sehari-hari, dalam sketsa yang lucu -- antara lain tentang mandi di kolam dan buang air besar (tidak betul-betul). Pementasan di bulan Nopember itu dapat reaksi keras sebulan kemudian. Datangnya dari Gubernur Ali Sadikin. Teguran itu memang mengejutkan, sebab selama ini ia memberi keleluasaan kepada Dewan Kesenian untuk memilih acara, meskipun Pemerintah DKI memberi subsidi ke TIM. "Selaku gubernur saya nyatakan bahwa yang begini ini salah," kata Bang Ali. Dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan cepat mencari jalan untuk setuju. Para seniman yang suka mengadakan pertunjukan di TIM diundang ke suatu pertemuan. Mereka diminta untuk "memahami" bahwa kebebasan yang selama ini tersedia --sejak TIM dibuka di tahun 1968 -- pada dasarnya gampang dicabut sewaktu-waktu. Para seniman yang hadir pun mengangguk-angguk, faham -- dan prihatin. Tapi kurang dari setahun setelah itu, koreografer Farida Faisol mementaskan sebuah tarian karyanya, Putih-Putih. Tarian yang mencoba menghidupkan gerak sahdu sembahyang ini ternyata malah dikecam oleh kalangan Islam. Bahkan dilarang dari dalam TIM sendiri (lihat wawancara dengan Farida Faisol). Toh 22 Nopember 1976, Majelis Ulama DKI Jakarta mengirim surat ke DKJ. Dengan ramah Majelis Ulama menganjurkan agar DK "menyensor teks dan adegan-adegan pertunjukan sebelum memberikan izin pertunjukannya." Namun justru "menyensor" itulah hal yang paling sulit dilakukan oleh DKJ. Bagaimana pun juga, lembaga seperti DKJ dan semangat yang melahirkannya bertolak dari pengalaman sejarah yang pahit. Orang-orang pertama yang menegakkan dan memberi dasanya, misalnya almarhum Trisno Sumardjo, almarhum Zaini, Arief Budiman dan Taufiq Ismail, adalah para seniman yang di masa "demokrasi terpimpin" menyaksikan bagaimana pelbagai larangan telah memacetkan, atau merusak, beberapa sendi perkembangan kesenian Indonesia. Di masa "demokrasi terpimpin" itu, dengan arus desak dari organisasi kebudayaan PKI dan PNI, kehidupan seni dijuruskan agar terpimpin oleh kekuatan dan kekuasaan politik. Dari sinilah lahir semboyan "Politik Sebagai Panglima" kebudayaan. Tak dapat diingkari bahwa di bawah naungan partai-partai itu, terutama PKI, para seniman mendapat perhatian dan fasilitas yang baik. Tapi juga mereka mau tak mau harus mengikuti garis dari atas, baik mengenai cara ekspresi ataupun isinya. Hasilnya seringkali adalah karya yang hanya mengulang-ulang slogan, mandul dan dengan keharuan palsu karena dipaksakan. Dan akhirnya yang paling cocok dengan sang pemimpm itulah yang dianggap bagus -- suatu hal yang waktu itu pun sudah menggelisahkan sementara seniman partai sendiri. DI negeri di mana doktrin yang sama juga dilakukan, di Uni Soviet dan RRC, kegelisahan itu juga terdengar sampai ke Indonesia. Diktatur Stalin wafat dan meninggalkan kcsenian tipe "realisme sosialis" yang praktis tanpa ketulusan -- cuma berulang-ulang memuji "pembangunan masyarakat sosialis." Begitu Stalin digantikan dan dikutuk Khruschev, pada keluarlah uneg-uneg -- dan juga karya-karya cemerlang -- yang selama itu tersembunyi. Khruschev memuji novel karya Alexander Solzhenitsin, Suatu Hari Dalam Hidup Ivan Denisovitch, yang dengan hidup mengisahkan kejinya kamp tahanan Stalin. Doktrin "Politik Sebagai Panglima" akhirnya memang menjadi doktrin untuk berdisiplin kepada apa-maunya yang di atas saja. Jika yang di atas berubah pendapat, penilaian yang indah, yang bagus dan berharga juga berubah. Di RRC, pengarang wanita Ting Ling yang pernah dapat hadiah Stalin, di tahun 1958 ternyata dikutuk. Sementara itu di Indonesia masa itu gcrakan untuk "mengarahkan" penciptaan seni dikampanyekan ke luar batas partai, lewat harian kiri Bintang Timur, Harian Rakyat dan lain-lain. Melihat ini semua, dan dengan mencatat pengalaman di Uni Soviet dan RRC, sejumlah seniman dan cendekiawan mengumumkan "Manifes Kebudayaan", Agustus 1963. Manifes ini sebenarnya bukan menegaskan asas "seni untuk seni" seperti yang disangka orang, atau menganjurkan "humanisme universil." Tapi Manifes menentang doktrin "Politik Sebagai Panglima," karena baginya kesenian yang juga sarana perjuangan -- bisa berfungsi sosial tanpa didikte oleh kekuatan politik. Bahwa inti semangatnya adalah untuk kebebasan kreatif, nampaknya jelas. Entah karena serangan Manifes memang dianggap begitu serius oleh tokoh-tokoh kebudayaan PKI dan PNI, entah karena percaya bahwa Manifes Kebudayaan merupakan gerakan yang didukung ABRI, kampanye besar menggebrak musuh dilancarkan. 8 Mei 1964, Presiden Sukarno "melarang Manikebu". Para penandatangannya sejak itu menjadi semacam gelandangan kebudayaan. Mereka tak boleh mempublikasikan karyanya, hingga banyak yang memakai nama samaran, tak bisa berpameran, kehilangan pekerjaan atau kesempatan belajar. TAK heran ketika "demokrasi terpimpin" guyah di tahun 1966 dan "Orde Baru" lahir, para seniman ini menyambutnya dengan gimbira. Mereka tanpa disuruh siapa pun giat menulis poster, pamflet, puisi, bahkan berdemonstrasi dan menyerbu rumah dan kantor-kantor PKI. Mereka berharap, dan percaya, bahwa Orde yang sedang lahir waktu itu akan menjamin kebebasan kreativitas. Berbareng dengan masa baru itu, apalagi setelah TIM dibuka oleh Gubernur Ali Sadikin, suatu elan kreatif yang belum pernah nampak selama ini dengan derasnya berbuah. Eksperimen-eksperimen baru dalam pelbagai cabang seni berlangsung. Terutama di bidang seni pertunjukan, sejumlah besar karya teater Indonesia yang terbagus sejak awal abad ke-20 lahir di masa kebebasan ini. Semangat kreatif yang selalu mencari yang baru itu memang sering mengejutkan -- terutama bagi mereka yang tak begitu mengenal dunia kesenian. Kontroversi dan perdebatan sering terjadi, dan tak semuanya mengenakkan. Dan bersama dengan itu, keadaan sosial politik juga rupanya berubah. Mungkin berbareng dengan menciutnya keleluasaan di tempat lain buat "berbebas-bebas", pusat kesenian seperti TIM tiba-tiba tumbuh jadi tempat untuk banyak macam. Dari sini mungkin lahir kesan bahwa TIM adalah semacam Hyde Park. Tapi setidaknya seorang dari DKJ ingin menjelaskan "Hyde Park? Saya kira tidak, sepanjang itu menyangkut-program wewenang DKJ. Tapi Taman ini, dimasuki siapa saja tiap hari. Di sini ada lapangan dan warung. Kalau yang ke warung itu datang untuk berpacaran atau untuk mencalonkan seorang presiden -- bagaimana pengurus TIM akan mengetahuinya sebelum terjadi?" JUGA adanya pidato, diskusi atau ceramah yang tiba-tiba menyimpang ke kalimat-kalimat yang "politik" tidak bisa dengan mudah dicegah. Betapapun juga, pihak TIM-lah yang disalahkan oleh penguasa. Semua itu memang menunjukkan, bahwa situasi sedang berubah untuk TIM. Sebagaimana juga situasi yang dialami oleh kegiatan kesenian di kota lain. Misalnya Surabaya. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Moh. Ali, para seniman Surabaya pun, merasakan "Orde Baru" sebagai masa timbulnya lagi kebebasan. "Tapi sejak dua tahun terakhir ini terasa lagi ada hambatan," kata Moh. Ali. Mungkin, kata Ali, "ada kecurigaan terhadap seniman." Di Medan, tak disebut-sebut soal "kecurigaan". Ketua Dewan Keseniannya seorang Kolonel Pomad (CPM), Agus Salim Rangkuty. Ia menyatakan bahwa di Medan tidak ada hambatan kreatifitas -- kecuali kurangnya dana. Ia juga menambahkan bahwa kritik sosial dalam seni di Medan "belum bisa disamakan dengan Jakarta." Ujung Pandang juga "belum sama" dengan Jakarta. Di sini seperti diceritakan oleh Ketua Dewan Kesenian Rachman Arge, ada keharusan untuk minta izin bagi pertunjukan. Hanya, kata Arge, "masih ada dialog, tidak pelotot-pelototan." Contoh: di sekitar masa "15 Januari 1974" yang hangat oleh demonstrasi dan larangan. Waktu itu direncanakan mementaskan Macbeth, karya pujangga Inggeris abad ke-17 Shakespeare. Pihak keamanan melarang. Pihak seniman setuju. Arge sendiri bisa memahami larangan seperti itu, tapi ia mengakui: "Memang yang ideal seperti di Jakarta." Seraya menyatakan bahwa Ujung Pandang berbeda suasananya dengan Jakarta, ia berharap bahwa kondisi seperti di Jakarta bisa diberlakukan di daerah-daerah. Toh ia menambahkan, pelan: "Tapi saya tahu itu mimpi." Pesimisme? Mungkin. Tapi mimpi Arge adalah mimpi yang laim mimpi bahwa kesenian Indonesia bisa berkembang dengan semangat yang tulus, 12 tahun yang lalu. Tapi jika suasana berubah, dan mimpi itu tak sampai, toh orang masih boleh percaya bahwa kreatifitas itu seperti tikus dalam film kartun TV. Artinya ia akan selalu ada, selalu lebih cerdik ketimbang si kucing. Namanya saja "kreatifitas"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus