RENDRA ditahan, sehabis membacakan sajak-sajaknya di Pusat
Kesenian Taman Ismail Marzuki. Kejadian dua pekan lalu itu
membikin kaget sementara orang, tapi umumnya diterima dengan
tenang. Tak ada gelombang ribut seperti yang terjadi dalam
sandiwara Mastodon dan Burung Kondor, ketika penyair jagoan Jose
Carosta ditangkap.
Mungkin karena penahanan sekarang ini sudah tak aneh lagi.
Mungkin karena banyak yang menganggap, apa yang terjadi pada
Rendra adalah risiko yang sudah harus diperhitungkan oleh Rendra
sendiri, ketika ia tampil sebagai pengritik keadaan kini.
Namun yang jadi persoalan tentulah bukan risiko Rendra saja.
Pihak keamanan, melalui ucapan Let. Kol. Anas Malik, menyesali
Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), yang diurus oleh
Dewan Kesenian Jakarta. "TIM bukan Hyde Park," katanya, menyebut
taman terbuka di London, Inggeris, yang tersohor sebagai tempat
orang berpidato bebas itu. Yang terkesan dari ucapan itu ialah
kehendak untuk memperketat kontrol atas hal-hal yang dimunculkan
di TIM.
Sebelum kasus Rendra, Dewan Kesenian Jakarta sendiri pun sudah
mulai repot dengan masalah kontrol. Di tahun 1975, Putu Wijaya
mementaskan Lho. Lakon ini tanpa jalan cerita, tapi sangat
memukau, dari suasana dan lukisan yang suram sampai dengan yang
sehari-hari, dalam sketsa yang lucu -- antara lain tentang mandi
di kolam dan buang air besar (tidak betul-betul). Pementasan di
bulan Nopember itu dapat reaksi keras sebulan kemudian.
Datangnya dari Gubernur Ali Sadikin. Teguran itu memang
mengejutkan, sebab selama ini ia memberi keleluasaan kepada
Dewan Kesenian untuk memilih acara, meskipun Pemerintah DKI
memberi subsidi ke TIM.
"Selaku gubernur saya nyatakan bahwa yang begini ini salah,"
kata Bang Ali.
Dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan cepat mencari jalan
untuk setuju. Para seniman yang suka mengadakan pertunjukan di
TIM diundang ke suatu pertemuan. Mereka diminta untuk
"memahami" bahwa kebebasan yang selama ini tersedia --sejak TIM
dibuka di tahun 1968 -- pada dasarnya gampang dicabut
sewaktu-waktu. Para seniman yang hadir pun mengangguk-angguk,
faham -- dan prihatin.
Tapi kurang dari setahun setelah itu, koreografer Farida Faisol
mementaskan sebuah tarian karyanya, Putih-Putih. Tarian yang
mencoba menghidupkan gerak sahdu sembahyang ini ternyata malah
dikecam oleh kalangan Islam. Bahkan dilarang dari dalam TIM
sendiri (lihat wawancara dengan Farida Faisol). Toh 22 Nopember
1976, Majelis Ulama DKI Jakarta mengirim surat ke DKJ. Dengan
ramah Majelis Ulama menganjurkan agar DK "menyensor teks dan
adegan-adegan pertunjukan sebelum memberikan izin
pertunjukannya."
Namun justru "menyensor" itulah hal yang paling sulit dilakukan
oleh DKJ.
Bagaimana pun juga, lembaga seperti DKJ dan semangat yang
melahirkannya bertolak dari pengalaman sejarah yang pahit.
Orang-orang pertama yang menegakkan dan memberi dasanya,
misalnya almarhum Trisno Sumardjo, almarhum Zaini, Arief Budiman
dan Taufiq Ismail, adalah para seniman yang di masa "demokrasi
terpimpin" menyaksikan bagaimana pelbagai larangan telah
memacetkan, atau merusak, beberapa sendi perkembangan kesenian
Indonesia.
Di masa "demokrasi terpimpin" itu, dengan arus desak dari
organisasi kebudayaan PKI dan PNI, kehidupan seni dijuruskan
agar terpimpin oleh kekuatan dan kekuasaan politik. Dari sinilah
lahir semboyan "Politik Sebagai Panglima" kebudayaan.
Tak dapat diingkari bahwa di bawah naungan partai-partai itu,
terutama PKI, para seniman mendapat perhatian dan fasilitas yang
baik. Tapi juga mereka mau tak mau harus mengikuti garis dari
atas, baik mengenai cara ekspresi ataupun isinya. Hasilnya
seringkali adalah karya yang hanya mengulang-ulang slogan,
mandul dan dengan keharuan palsu karena dipaksakan. Dan akhirnya
yang paling cocok dengan sang pemimpm itulah yang dianggap bagus
-- suatu hal yang waktu itu pun sudah menggelisahkan sementara
seniman partai sendiri.
DI negeri di mana doktrin yang sama juga dilakukan, di Uni
Soviet dan RRC, kegelisahan itu juga terdengar sampai ke
Indonesia. Diktatur Stalin wafat dan meninggalkan kcsenian tipe
"realisme sosialis" yang praktis tanpa ketulusan -- cuma
berulang-ulang memuji "pembangunan masyarakat sosialis." Begitu
Stalin digantikan dan dikutuk Khruschev, pada keluarlah
uneg-uneg -- dan juga karya-karya cemerlang -- yang selama itu
tersembunyi. Khruschev memuji novel karya Alexander
Solzhenitsin, Suatu Hari Dalam Hidup Ivan Denisovitch, yang
dengan hidup mengisahkan kejinya kamp tahanan Stalin.
Doktrin "Politik Sebagai Panglima" akhirnya memang menjadi
doktrin untuk berdisiplin kepada apa-maunya yang di atas saja.
Jika yang di atas berubah pendapat, penilaian yang indah, yang
bagus dan berharga juga berubah. Di RRC, pengarang wanita Ting
Ling yang pernah dapat hadiah Stalin, di tahun 1958 ternyata
dikutuk.
Sementara itu di Indonesia masa itu gcrakan untuk "mengarahkan"
penciptaan seni dikampanyekan ke luar batas partai, lewat harian
kiri Bintang Timur, Harian Rakyat dan lain-lain. Melihat ini
semua, dan dengan mencatat pengalaman di Uni Soviet dan RRC,
sejumlah seniman dan cendekiawan mengumumkan "Manifes
Kebudayaan", Agustus 1963.
Manifes ini sebenarnya bukan menegaskan asas "seni untuk seni"
seperti yang disangka orang, atau menganjurkan "humanisme
universil." Tapi Manifes menentang doktrin "Politik Sebagai
Panglima," karena baginya kesenian yang juga sarana perjuangan
-- bisa berfungsi sosial tanpa didikte oleh kekuatan politik.
Bahwa inti semangatnya adalah untuk kebebasan kreatif, nampaknya
jelas.
Entah karena serangan Manifes memang dianggap begitu serius oleh
tokoh-tokoh kebudayaan PKI dan PNI, entah karena percaya bahwa
Manifes Kebudayaan merupakan gerakan yang didukung ABRI,
kampanye besar menggebrak musuh dilancarkan. 8 Mei 1964,
Presiden Sukarno "melarang Manikebu". Para penandatangannya
sejak itu menjadi semacam gelandangan kebudayaan. Mereka tak
boleh mempublikasikan karyanya, hingga banyak yang memakai nama
samaran, tak bisa berpameran, kehilangan pekerjaan atau
kesempatan belajar.
TAK heran ketika "demokrasi terpimpin" guyah di tahun 1966 dan
"Orde Baru" lahir, para seniman ini menyambutnya dengan
gimbira. Mereka tanpa disuruh siapa pun giat menulis poster,
pamflet, puisi, bahkan berdemonstrasi dan menyerbu rumah dan
kantor-kantor PKI. Mereka berharap, dan percaya, bahwa Orde yang
sedang lahir waktu itu akan menjamin kebebasan kreativitas.
Berbareng dengan masa baru itu, apalagi setelah TIM dibuka oleh
Gubernur Ali Sadikin, suatu elan kreatif yang belum pernah
nampak selama ini dengan derasnya berbuah. Eksperimen-eksperimen
baru dalam pelbagai cabang seni berlangsung. Terutama di bidang
seni pertunjukan, sejumlah besar karya teater Indonesia yang
terbagus sejak awal abad ke-20 lahir di masa kebebasan ini.
Semangat kreatif yang selalu mencari yang baru itu memang sering
mengejutkan -- terutama bagi mereka yang tak begitu mengenal
dunia kesenian. Kontroversi dan perdebatan sering terjadi, dan
tak semuanya mengenakkan. Dan bersama dengan itu, keadaan sosial
politik juga rupanya berubah. Mungkin berbareng dengan
menciutnya keleluasaan di tempat lain buat "berbebas-bebas",
pusat kesenian seperti TIM tiba-tiba tumbuh jadi tempat untuk
banyak macam.
Dari sini mungkin lahir kesan bahwa TIM adalah semacam Hyde
Park. Tapi setidaknya seorang dari DKJ ingin menjelaskan "Hyde
Park? Saya kira tidak, sepanjang itu menyangkut-program wewenang
DKJ. Tapi Taman ini, dimasuki siapa saja tiap hari. Di sini ada
lapangan dan warung. Kalau yang ke warung itu datang untuk
berpacaran atau untuk mencalonkan seorang presiden -- bagaimana
pengurus TIM akan mengetahuinya sebelum terjadi?"
JUGA adanya pidato, diskusi atau ceramah yang tiba-tiba
menyimpang ke kalimat-kalimat yang "politik" tidak bisa dengan
mudah dicegah. Betapapun juga, pihak TIM-lah yang disalahkan
oleh penguasa.
Semua itu memang menunjukkan, bahwa situasi sedang berubah untuk
TIM. Sebagaimana juga situasi yang dialami oleh kegiatan
kesenian di kota lain. Misalnya Surabaya. Seperti yang
dituturkan oleh Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Moh. Ali,
para seniman Surabaya pun, merasakan "Orde Baru" sebagai masa
timbulnya lagi kebebasan. "Tapi sejak dua tahun terakhir ini
terasa lagi ada hambatan," kata Moh. Ali. Mungkin, kata Ali,
"ada kecurigaan terhadap seniman."
Di Medan, tak disebut-sebut soal "kecurigaan". Ketua Dewan
Keseniannya seorang Kolonel Pomad (CPM), Agus Salim Rangkuty. Ia
menyatakan bahwa di Medan tidak ada hambatan kreatifitas --
kecuali kurangnya dana. Ia juga menambahkan bahwa kritik sosial
dalam seni di Medan "belum bisa disamakan dengan Jakarta."
Ujung Pandang juga "belum sama" dengan Jakarta. Di sini seperti
diceritakan oleh Ketua Dewan Kesenian Rachman Arge, ada
keharusan untuk minta izin bagi pertunjukan. Hanya, kata Arge,
"masih ada dialog, tidak pelotot-pelototan." Contoh: di sekitar
masa "15 Januari 1974" yang hangat oleh demonstrasi dan
larangan. Waktu itu direncanakan mementaskan Macbeth, karya
pujangga Inggeris abad ke-17 Shakespeare. Pihak keamanan
melarang. Pihak seniman setuju. Arge sendiri bisa memahami
larangan seperti itu, tapi ia mengakui: "Memang yang ideal
seperti di Jakarta." Seraya menyatakan bahwa Ujung Pandang
berbeda suasananya dengan Jakarta, ia berharap bahwa kondisi
seperti di Jakarta bisa diberlakukan di daerah-daerah. Toh ia
menambahkan, pelan: "Tapi saya tahu itu mimpi."
Pesimisme? Mungkin. Tapi mimpi Arge adalah mimpi yang laim
mimpi bahwa kesenian Indonesia bisa berkembang dengan semangat
yang tulus, 12 tahun yang lalu. Tapi jika suasana berubah, dan
mimpi itu tak sampai, toh orang masih boleh percaya bahwa
kreatifitas itu seperti tikus dalam film kartun TV. Artinya ia
akan selalu ada, selalu lebih cerdik ketimbang si kucing.
Namanya saja "kreatifitas"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini