SATU langkah maju lagi bagi dunia periklanan Indonesia. Minggu
ini International Advertising Association (IAA) mensahkan
Indonesia sebagai clapter yang kesemuanya kini berjumlah 40
dari berbagai negeri. Untuk itu delegasi Indonesia, dipimpin
oleh Aristides (Sinar Harapan) Katoppo, diberi kesempatan satu
jam untuk memberi penerangan, a.l. berupa film dan gambar
lainnya, sebagai memperkenalkan diri di kongres tahunan IAA di
Kopenhagen.
IAA beranggotakan perorangan yang bergerak di bidang adpertensi,
media dan bisnis lainnya yang berkaitan dengan periklanan.
Selama ini 20 tokoh Indonesia yang sudah menjadi anggotanya.
Pokoknya keanggotaan IAA mirip dengan International Press
Institute (IPI) untuk kaum wartawan.
P31 (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), menurut sekjen
Indra Abidin, secara organisatoris tidak ada kaitan dengan IAA
tapi "kami tentu nanti akan menerima manfaatnya" sesudah
Indonesia diterima sebagai chapter. Bersama IAA, memang
Indonesia akan memperoleh kesempatan belajar lebih banyak. Juga
kemungkinan memperluas relasi bisnis makin terbuka.
Tapi di rumah sendiri soal periklanan ini masih banyak yang
perlu ditertibkan. Umpamanya:
Porsinya, volume iklan, masih relatif kecil (Rp 23 milyar pada
tahun 1977), sedang biro adpertensi berjumiah terlalu banyak --
43 tercatat sebagai anggota P31. Di luar P31, ada sekitar 200
biro iklan kecil. Maka mereka umumnya masih berbisnis dalam
skala kecil. Sudah ada Indo-Ad, Fortune, Inter Vista, Matari,
Perwanal Utama -- semua itu biro iklan nasional -- yang bisa
dibanggakan tapi pada hakekatnya masih merangkak.
Januari 1977, Departemen Penerangan memprakarsai suatu seminar
tentang gagasan "perataan iklan" -- berarti pers 'lemah' supaya
dibantu, dan porsi untuk pers 'kuat' supaya dibatasi. Deppen
menyatakan tidak akan memaksakan gagasan itu tapi masih belum
mencabutnya.
Deppen ingin mengayomi bidang iklan. Maka P31 berada dalam
posisi yang harus menenggang. Karena bersifat bisnis, P31
semustinya melapor pada Departemen Perdagangan dan Koperasi.
Tapi kini ia tampak masih mengambang, sementara menanti
ketegasan pemerintah.
Kode etik periklanan sudah ada, baik dari pihak P3I maupun dari
media. Tapi pelanggaran masih terjadi tanpa sanksi. P3I dan
media (baca PWI) mempunyai Dewan Kehormatan masing-masing yang
sesungguhnya pantas menangani kasus pelanggaran itu. Ini belum
terjadi. Tanggungjawab sosial dari periklanan masih diabaikan.
P3I menuntut proteksi, menentang hadirnya modal asing dalam
perusahaan iklan setempat. Tentang ini dukungan Depperkop pasti
bisa diperoleh, jika P3I meminta pengayomannya dan jelas
bernaung di bawah satu departemen. Kini modal asing masih hadir
secara terselubung. Bahkan perusahaan asing seperti Lintas,
milik Unilever, masih menjagoi pasaran. Secara resmi, Lintas
memang kini khusus hanya boleh melayani keperluan promosi
produk (sampai 50 merek) Unilever.
Latarbelakang tersebut menuntut mereka yang bersangkutan dalam
bisnis iklan supaya menertibkan diri. Justru salah satu tujuan
IAA, seperti kata Katoppo, ialah membantu sistem periklanan
nasional mengatur diri sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini