Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Siapakah sang kurator baru di Museum of Art yang begitu berpengetahuan, begitu peduli pada sejarah setiap manusia yang dikenalnya, begitu intelektual, dan begitu halus budi hingga kita menatap matanya yang dingin tanpa pernah mengedip itu? Tak ada yang tahu.
Nun di Virginia, di sebuah ruang bawah tanah Kantor Pusat FBI, detektif Clarice Starling (Julianne Moore) tengah menyusuri keberadaan seorang buron lama; seorang "kawan lama", "mentor" yang paling pandai menukik ke dalam isi hatinya yang paling dasar: Dr. Hannibal Lecter atau yang lazim dikenal sebagai "Hannibal the Cannibal", si pemakan daging manusia, sang psikiater jenius dan berbahaya yang pernah ditemuinya sepuluh tahun silam dalam upaya penangkapan psikopat lainnya.
Melalui info seorang korban terakhir, Mason Verger (Gary Oldman), Starling mencoba mengurai jejak Lecter: Ternyata Hannibal Lecter selama ini menyamar sebagai Dr. Fell di Florence, Italia. Dan ke sanalah Verger memburunya. Verger adalah seorang konglomerat kaya-raya, seorang pengidap paedofilia dan penyiksa anak-anak yang "tunduk" di bawah "sihir" Lecter untuk mengupas dan menyayat wajahnya sendiri dan kemudian memberikannya kepada sekelompok anjing. Akibatnya, wajahnya hancur lebur, tubuhnya cacat, dan ia hanya bisa berkomunikasi dengan dunia luar melalui kursi rodanya dan serangkaian dokter serta pembantunya. Tujuan hidup Verger hanya satu: menyaksikan tubuh Lecter dikunyah oleh babi peliharaannya. Karena itulah Verger merancang kesumat untuk bisa menemukan Lecter melalui Starling. Verger, sebagai seorang psikopat yang tingkat gangguan kejiwaannya, mungkin, hanya bisa ditandingi oleh Lecter, paham betul bahwa Lecter akan segera keluar dari persembunyiannya jika Starling mengalami kesulitan.
Film yang merupakan sekuel dari film legendaris The Silence of the Lambs ini sebetulnya sudah mengandung tiga beban besar jauh sebelum ia dibuat. Pertama, karena The Silence of the Lambsjuga diangkat dari novel karya Thomas Harrispada tahun 1990 menggondol lima penghargaan Academy Awards, termasuk aktor terbaik (untuk Anthony Hopkins), aktris terbaik (untuk Jodie Foster), dan sutradara terbaik (untuk Jonathan Demme). Kedua, film ini akan menyandang beban perbandingan, dari skenario, penggarapan sutradara, hingga peran antara Jodie Foster dan Julianne Moore. Penonton jarang bersedia melihat film sekuel sebagai sebuah karya yang berdiri sendiri. Ketiga, The Silence of the Lambs sudah berhasil menciptakan sebuah "genre" dan euforia di masanya, yakni sebuah euforia penciptaan film thriller yang berupaya menggunakan problem patologis dalam karakternya dan kemudian menyajikan "kegilaan" sebagai hiburan. Ini tak mungkin lagi ditandingi dengan sebuah pengulangan tema.
Itulah sebabnya sutradara Ridley Scott (Blade Runner, Alien, G.I. Jane) mencoba tidak mengulang segala kebesaran dan kemegahan yang pernah dihasilkan Demme. Kini, Clarice Starling versi Julianne Moore otomatis sudah lebih matang, dewasa, tetapi tetap serius dan sedikit tegang. Karirnya di FBI adalah hidupnya, sehingga ketika dia diskors, "hilanglah" segala identitasnya. Itu pula sebabnya Starling menjadi begitu tidak manusiawi karena, baik dalam versi The Silence maupun Hannibal, kita tak pernah disajikan kehidupan Starling yang manusiawipercintaan, misalnyadi luar kehidupannya sebagai agen FBI.
Sisi manusiawijika dikatakan demikianStarling akhirnya hanya terlihat pada hubungannya yang rumit antara dirinya dan Hannibal. Musuh tapi kawan, berbahaya tapi toh berisi kasih sayang. Saat Hannibal dalam bahayasiap diterkam babi peliharaan MasonStarling, yang patuh pada peraturan FBI, segera merasa harus membebaskan Hannibal dari "pengadilan jalanan" gaya Mason itu.
Scott mencoba menghindari adegan grotesque dengan menampilkan shot yang buram dan blurred pada bagian pengupasan kulit muka Mason. Tetapi, sepanjang film ini, dia toh tetap menyajikan adegan usus terburai, otak manusia yang dimasak, atau darah yang muncrat ke mana-mana. Mungkin, akhir film ini menjadi sebuah pertanyaan penting mengapa Scott butuh penyajian adegan semacam itu. Kekejaman Hannibal sudah terlalu nyata bagi penonton, sehingga akhir film ini menjadi sebuah pengulangan dan penekanan yang sia-sia.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo