Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ujung lorong yang panjang dan gelap itu, sosok Hannibal Lecter, yang berdiri tegak menanti kedatangan Clarice Starling, tampak bercahaya dan penuh karisma. Tangan kirinya yang terdiri dari enam buah jari memegang majalah Vogue edisi Italia. Sepasang bola matanya yang berwarna merah marun segera berbinar ketika Starling menghampiri sel penjaranya yang berlapis-lapis.
Dua wajah itu bertemu. Untuk pertama kalinya. (The Silence of the Lambs, Thomas Harris, Bab III).
Hannibal Lecter dan Clarice Starling akhirnya terlibat dalam sebuah hubungan yang rumit dan tidak nyaman. Berbeda dengan Starling, agen FBI Will Grahamdalam novel Red Dragon (jilid awal dari trilogi Hannibal)yang bersikap no-nonsense itu, dengan mudah menjebloskan sang psikiater jenius itu ke dalam sel asilum rumah sakit jiwa. Tapi Starling melangkah dalam kehidupan Lecter dengan peran yang beragam: sebagai sahabat, musuh, lawan yang setara sekaligus agen FBI yang patuh pada hukum. Maka, Lecter, sang pemakan manusia itu, yang juga memiliki seperangkat peraturan yang ganjil (dia membunuh manusia untuk dimakan, tetapi membenci orang yang dianggapnya kasar, udik, dan tak cukup beradab dalam pergaulan), juga entah bagaimana masih mampu meluangkan ruang untuk kasih sayang bagi sang agen yang cantik dan cerdas itu.
Nama tokoh Hannibal Lecter, sosok rekaan wartawan kriminal Thomas Harris, melambung di dunia sejak novel The Silence of the Lambs diangkat ke layar putih. Namun, sebelumnya, Harris sudah memperkenalkan sosok ini melalui novel Red Dragon pada 1981. Meski dalam novel Red Dragon peran Hannibal tak sebesar The Silence of the Lambs, sosok itu sudah menabur ngeri kepada pembacanya. Misalnya, Harris menggambarkan bagaimana Lecter menyerbu pipi perawat yang lengah dan memakannya, sementara detak jantung Lecter tak berubah. Santai saja.
Dengan segala problematik kejiwaannya, sang psikiater itu, entah bagaimana, berkembang menjadi sosok yang memikat, terutama dalam serial terakhirnya, Hannibal, yang filmnya tengah ditayangkan di bioskop Indonesia. Selain dikenal sebagai pembunuh, ia juga dimanfaatkan para agen FBI untuk mengail pembunuh serial ganas lainnya.
Pemilihan nama Hannibal sesungguhnya menunjukkan kecerdikan Harris memungut sejarah. Dalam era Romawi kuno, tersebutlah nama Hannibal Monochamus yang mengabdi pada Jenderal Hannibal dari Karthago yang masyhur. Hannibal Monochamus tampaknya memiliki kecenderungan kanibal. Misalnya, ia pernah berujar pada tentaranya agar bisa hidup dari daging manusia. Adapun nama Clarice Starling juga memiliki latar belakang unik. Dalam sejarah Romawi kuno, ada satu lagi tokoh bernama Hannibal, tepatnya Hannibal the Starling (Hannibal si Burung Jalak), salah seorang pemimpin era Perang Punic II. Dari pijakan inilah, Harris membawa pembaca pada hubungan yang ganjil antara si monster dan agen jelita.
Deskripsi fisik Hannibal dalam trilogi ini juga mengacu pada sosok pembunuh yang digambarkan dalam buku klasik. Misalnya, mata merah menyala. Sebelum ada pembuktian forensiksidik jari ataupun DNAseorang pembunuh dianggap bisa dikenali lewat penampakan lahiriahnya. Teori phrenology ini dikemukakan Franz Josef Gall, kriminolog abad ke-19.
Namun, ketegangan dalam trilogi ini tak mengandalkan sosok fisik Hannibal Lecter. Sosok pembunuh diperkenalkan sejak bagian awal. Rasa mencekam terbangun lewat pelukisan detail yang mengagumkan. Dalam novel Red Dragon, misalnya, pembaca diajaknya bertamasya ke alam pikiran Francis Dolarhyde. Akibatnya, simpati bisa tergiring pada pembunuh yang memiliki masa kecil yang pedih. Terlahir cacat, dibesarkan nenek yang berperilaku menyeramkanmengancam akan menggunting penis sewaktu si pembunuh mengompol saat bocahdan menerima pelecehan terus-menerus saat dewasa.
Dari segi bahasa, karya trilogi bekas wartawan kriminal yang pernah menelurkan novel suspens Black Sunday (1975) ini sebetulnya tak istimewa dan cenderung bertele-tele. Tak mengherankan jika sutradara Ridley Scott meminta izin pada Harris untuk membabat sekitar 10 bab dari novel Hannibal yang diangkat ke dalam film. Bagaimanapun, Harrislahir di Mississippi, AS, pada 1940telah menggebrak dunia dengan sebuah tren baru dalam film thriller dunia. Setelah The Silence, epigon film yang melibatkan pembunuh sakit jiwa menjadi sebuah mode untuk beberapa saat. Sayang sekali, setelah dua novelnya yang menampilkan Lecter yang misterius, dalam novel Hannibalyang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa IndonesiaHarris tak memberikan jejak mengapa psikiater ini punya desiran untuk membunuh. Ini tentu mengecewakan pembaca, yang sudah menanti selama 10 tahun untuk mengetahui latar belakang Hannibal. Sepertinya, ia hadir jahat begitu saja. Akhir novel ini juga meruntuhkan plot yang sudah dibangun sebelumnya. Clarice, yang sebelumnya sangat ngotot menangkap Hannibal, malah hidup bersama buruannya di Buenos Aires tiga tahun setelah kegegeran berlalu. Tak jelas betul seperti apa keintimannya, selain seks yang ditawarkan Clarice tampaknya menakutkan Hannibal. Keganjilan ini tak asyik lagi. Tapi, mungkin Harris berniat membuat satu lagi kisah tentang duo yang ganjil ini. Bila benar, alasan Harris pasti bukan sekadar kegelisahan kreatif. Hannibal, monster ciptaannya, kini sudah menjadi cap dagang bernilai ratusan juta dolar.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo