Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN berambut pirang itu terbaring kaku. Tubuhnya mengejang. Kedua tungkainya tertekuk, menempel erat ke pahanya. Bola matanya terbelalak dan mulut menyeringai, antara kesakitan dan ketakutan. Sedetik kemudian, tubuhnya menggelepar-gelepar, berguling ke kiri ke kanan. Seperti karet, tubuhnya mengerut, merentang, lalu bergetar.
Perempuan itu berusaha membebaskan diri dari bayangannya sendiri. Sejenak dia berhasil menjauh. Tapi bayangan hitam itu berhasil menjeratnya kembali. Ketika sorot lampu panggung menggelap, bayangan hitam itu berubah menjadi cahaya putih kebiruan yang berpendar mengikuti siluet tubuh.
Inilah Glow, sebuah pertunjukan tari yang dipersembahkan Chunky Move, kelompok tari asal Melbourne, Australia, di Teater Salihara, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu. Belum pernah ada pertunjukan tari seperti ini. Cahaya bukan cuma hiasan. Bayang-bayang mengikuti dan melepaskan diri dari gerak tangan dan kaki penari, sehingga menghasilkan citraan ajaib pada mata dan pikiran penonton.
Glow diciptakan Gideon Obarzanek dari grup Chunky Move dan Frieder Weiss, seorang pencipta perangkat lunak, pada 2006. Ide memadukan koreografi dengan teknologi muncul ketika mereka bertemu di Monaco Dance Forum pada 2004. Glow menjadi proyek coba-coba yang sukses dan dipertunjukkan di Inggris, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lain di Eropa. ”Ini pertunjukan perdana kami di Asia Tenggara,” ujar Obarzanek.
Panggung Glow tampak sederhana dan gelap-gulita dengan matras persegi berwarna putih. Tapi sesungguhnya ada kerumitan di balik kesederhanaan itu. ”Kami membutuhkan waktu tiga hari untuk mempersiapkan semua ini,” tutur Obarzanek. Tak hanya mengubah formasi kursi penonton yang dibuat melingkari panggung membentuk tapal kuda, Obarzanek dan timnya memasang perlengkapan perangkat lunak interaktif, termasuk proyektor data dan kamera video dengan sistem inframerah di langit-langit.
Inilah rahasia di balik keindahan permainan cahaya. Dengan teknologi canggih inilah, cahaya mampu bergerak mengikuti tubuh penari. Dengan memanfaatkan teknik sensor gerak dan tangkap yang biasanya digunakan oleh animator, kamera mengikuti garis besar tubuh penari dan memberi tahu komputer di mana penarinya berada, berapa cepat mereka bergerak, dan bagian tubuh apa yang bergerak.
Dari data tersebut, komputer mengolah serangkaian algoritma yang memungkinkan gerakan penari mengarahkan lampu dan video. Syaratnya, seluruh ruangan harus gelap-gulita. Tak mengherankan bila penonton yang hadir diminta mematikan ponsel agar tidak ada satu pun cahaya timbul. Sedikit cahaya yang masuk ke ruang teater bisa mengganggu kerja perangkat canggih itu.
Maka lihatlah hasilnya, cahaya dan tubuh saling merasuki. Selama 30 menit seorang penari, sendiri: berdiri, telentang, duduk, bergulung, dan sebagainya, adalah penampakan lain dari tubuh atau sebaliknya. Ketika tubuh sang penari bergetar, dia ikut bergetar.
Dari kursi penonton, matras putih itu menjelma menjadi sebuah kertas putih yang dipenuhi lukisan grafik dan geometrik. Saat garis-garis muncul di atas matras, lihatlah awalnya hanya ada dua garis yang bersinggungan. Tapi kemudian berkembang biak menjadi goresan-goresan yang mengikuti lekuk tubuh sang penari. Tubuh penari menjadi seperti zebra. Pada saat lain seolah muncul gelombang-gelombang gumpalan dari tubuhnya.
Dan yang menakjubkan adalah ketika sang penari seolah bergelut dengan bayangannya sendiri. Bayangan itu lepas dari dirinya. Terpencar-pencar. Tapi kemudian, diiringi musik yang mencekam, bayang-bayang itu mengejarnya. Kita seolah melihat seakan ada roh jahat yang memburu penari. ”Ya, idenya tentang sesuatu yang ingin memisahkan diri, keluar dari tubuh, entah aura atau energi...,” kata Obarzanek.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo