Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga orang penari (Endang Purwani, Hanny Herlina, dan Chrystina Binol) berjalan menghadang sosok Rahwana. Tangan kanan-kiri mereka masing-masing membawa kipas putih. Mereka berjalan mengibas-ngibaskan kipas. Suara kibasan angin keras, laksana kepakan burung. Kita segera tahu kipas itu metafora bagi sayap-sayap Jatayu.
Pertunjukan sendratari Kidung Dandaka di Gedung Kesenian Jakarta pada 22-23 April lalu, hasil kolaborasi dua maestro klasik, Retno Maruti dan Sulistyo Tirtokusumo, cukup puitis. Tidak ada topeng burung untuk Jatayu. Tidak ada sosok muka raksasa yang dikenakan Rahwana. Retno memang tak menampilkan sosok penarinya dalam kostum yang memperlihatkan tokohnya, tapi lebih pada koreografi.
Tengoklah bagaimana tatkala Rahwana (ditarikan Putra Mahesa) memperlihatkan banyak wajahnya. Putra Mahesa dikelilingi enam pemain di belakangnya yang bergerak bersama dan menonjolkan muka. Atau saat Hanuman muncul. Tanpa topeng kera putih, Anter Asmorotedjo seorang diri mengelilingi panggung. Ia tidak menampilkan gerak-gerak monyet yang verbal. Ia juga tak berlompatan secara ekstrem sebagaimana tokoh Hanuman sering diperagakan wayang wong. Gerak gesitnya cukup membuat kita tahu itu Hanuman.
Alur adegan mudah dipahami penonton. Rama (diperankan Agus Prasetya) dan Sinta (Rury Nostalgia) harus pergi menjalani pembuangan di Rimba Dandaka. Dari situ, alur bergulir sampai problem pembakaran Sinta. Retno, sebagaimana biasa, peka terhadap detail yang cantik. Dalam adegan rombongan kecil Rama menapaki Hutan Dandaka yang gelap, para penari, misalnya, bergerak anggun dengan lampu-lampu kecil di tangan.
Kisah Ramayana sudah dipentaskan banyak kelompok dengan berbagai koreografi dan sisi pandang. Retno dan Sulistyo agaknya berusaha keras menafsirkan lain. Mereka lalu menonjolkan keberanian Sinta. Sinta sebagai perempuan yang punya prinsip. Sinta yang sadar akan kekuatan dirinya. Retno memperlihatkan Sinta menyanggupi masuk ke bara api. Dia berani membakar diri, untuk pembuktian kesetiaannya.
Dengan langkah pelan, Rury Nostalgia malam itu menapaki tangga, menuju bara api, yang diwujudkan dalam latar seperti kawah gunung yang merekah, dari layar yang sengaja diangkat tak sempurna. Retno seperti memperlihatkan keangkuhan patriarki Rama dengan koreografi Rama yang membelakangi Sinta. Inilah koreografi yang muncul lantaran Retno terinspirasi novel Romo Sindhunata: Anak Bajang Menggiring Angin.
Dalam akhir novel ini dikisahkan Rama bertemu lagi dengan Sinta yang semakin cantik. Rama merasa iri terhadap ketabahan Sinta dan malu membayangkan penderitaannya. Bagi Rama, ketabahan Sinta melebihi kebesarannya. "Saya tertarik pada cara pandang Romo Sindhu yang berbeda. Dulu koreografi Alap-alap Sukesi juga dari novel ini," kata Retno.
Cara pandang mengenai Ramayana yang "lain" memang bisa terus digali. Beberapa peneliti India, misalnya, pernah meneliti bahwa ternyata relief Ramayana yang ada di Candi Siwa Prambanan tidak hanya bersumber pada epos Walmiki. Selain berdasarkan teks utama Walmiki, para pemahat Prambanan mengaduk kisah Ramayana dari sumber carangan Tamil sampai Raghuvamsa karya sastrawan Kalidasa. Penonjolan Trijata yang mendampingi Sinta, misalnya, disebut sebagai sebuah tafsir khas Jawa, yang tak ada di India.
Kakawin Ramayana yang muncul pada abad yang sama dengan Prambanan juga demikian. Tatkala Rama menginginkan pembakaran Sinta, dan Sinta dengan lemah menerima, Trijata berani mengata-ngatai Rama. Putri Gunawan Wibisana dan keponakan Rahwana ini menganggap Rama jauh dari bijak. Ia menganggap Rama buta dan tuli. Trijata kehilangan hormatnya terhadap Rama. Ia menganggap Rama seorang raja kerdil. "He Raja, bukankah kamu tahu pelajaran agama? Tabiat dewa tak ada padamu. Hilanglah ibadatmu dan jasamu di dunia sebab kamu mengambil jalan yang jahat," demikian kalimat-kalimat Trijata dalam kakawin Ramayana terjemahan Poerbatjaraka.
Tapi sosok Sinta yang lemah dan Trijata yang garang tidak ada dalam Retno Maruti. Sinta menampar muka Rahwana. Empat penari menyongsongkan belati ke Rahwana. Retno menampilkan Sinta sebagai sosok yang tak mau tunduk dalam kekolotan. Apalagi perempuan lemah dan pasrah.
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo