Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Malam Terakhir Ia Tidur Pulas

Hukuman mati terhadap Oesin Umar oleh pengadilan negeri Surabaya merupakan pertama kalinya. Berdasarkan pasal 340 w.v.s. yang telah menimbulkan silang pendapat. Hari-hari terakhir ia narapidana yang baik.(hk)

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Malam Terakhir Ia Tidur Pulas
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
WARGA Kota Mojokerto barangkali sulit melupakan nama Oesin bin Umar Batfari. Pedagang dan sekaligus penjagal kambing ini akan diingat pula sebagai penjagal manusia. Tapi di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok Surabaya ia akan dikenang sebagai narapidana yang baik. Ia berteman akrab dengan semua orang, bahkan dijadikan sebagai pimpindn kelompok. Hari-hari terakhir Oesin di Kalisosok sibuk sebagai penjahit pakaian. "Hasil jahitannya baik, lihat ini," kata seorang petugas LP Kalisosok sambil memegang pakaian dinasnya. Tiga hari sebelum eksekusi dilaksanakan, Oesin dipindahkan ke Kodak X Jawa Timur. "Malam terakhir ia masih bisa tidur pulas," tutur seorang petugas di Kodak X Jawa Timur kepdda TEMPO. Di mana hukum Oesin agaknya akan dikenang sebagai orang pertama yang menjalani hukuman mati berdasar pasal 340 W.v.S.( Wet boek Straftrecht). Memang sudah beberapa orang pelaku pembunuhan divonis mati, tapi umumnya dirubah menjadi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Banding -- Kusni Kasdut masih menunggu keputusan grasinya. (TEMPO, 1 Juli 1978). Di zaman Bung Karno hukuman mati pernah dijatukan terhadap Saadon (pelaku peristiwa Cikini) tapi berdasarkan pasal-pasal subversi, bukan pasal 340 W v.S. Tapi justru pelaksanaan pasal 340 W.v.S. itu telah menimbulkan silang pendapat di kalangan ahli hukum. Umumnya menilai pasal itu tak diperlukan lagi bagi negara yang berazas Pancasila. Ketua Lembaga Bantuan Hukum Cabang Surabaya, A. Tholib SH, yang dimintai pendapat tentang eksekusi terhadap Oesin juga menilai "tidak sesuai dengan negara Pancasila." Pendapat serupa diungkapkan juga oleh Dr. Jacob Elfinus Sahetafi yang pernah membuat disertasi tentang hukuman mati bagi pembunuhan berencana. "Ancaman pidana dalam pasal 340 W.v.S. sekarang ini praktis merupakan suatu ketentuan abolisi de fakto" kata Sahetafi. Secara pribadi, Ketua Peradin Jaya, Soenarto Soerodibroto SH, malahan meralat hukuman mati itu bertentanan dengan Pancasila. Memang Oesin jahat, katanya, tapi hukuman paling baik dijatuhkan kepadanya adalah seumur hidup. Menurut Soenarto, hukuman seumur hidup lebih berat bagi yang bersangkutan. Karena itu lehih baik, sebab mengandung pendidikan untuk menginsafkannya. Kata Soenarto, boleh saja pengadilan menjatuhkan hukuman mati. Toh selalu dimungkinkan adanya grasi dari presiden. Karena itu Ketua Peradin Jaya ini mengusulkan agar hukuman mati itu dihapuskan saja. Meski demikian ia mengakui sampai sekarang secara resmi Peradin Jaya maupun Peradin Pusat belum mengeluarkan pendapat tentang hal ini. Tapi berdasarkan pembicaraan dengan ahli-ahli hukum lainnya, menurut Soenarto, semua sependapat dengannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus