WARGA Kota Mojokerto barangkali sulit melupakan nama Oesin
bin Umar Batfari. Pedagang dan sekaligus penjagal kambing ini
akan diingat pula sebagai penjagal manusia. Tapi di Lembaga
Pemasyarakatan Kalisosok Surabaya ia akan dikenang sebagai
narapidana yang baik. Ia berteman akrab dengan semua orang,
bahkan dijadikan sebagai pimpindn kelompok.
Hari-hari terakhir Oesin di Kalisosok sibuk sebagai penjahit
pakaian. "Hasil jahitannya baik, lihat ini," kata seorang
petugas LP Kalisosok sambil memegang pakaian dinasnya. Tiga hari
sebelum eksekusi dilaksanakan, Oesin dipindahkan ke Kodak X Jawa
Timur. "Malam terakhir ia masih bisa tidur pulas," tutur
seorang petugas di Kodak X Jawa Timur kepdda TEMPO.
Di mana hukum Oesin agaknya akan dikenang sebagai orang
pertama yang menjalani hukuman mati berdasar pasal 340
W.v.S.( Wet boek Straftrecht). Memang sudah beberapa orang
pelaku pembunuhan divonis mati, tapi umumnya dirubah menjadi
hukuman seumur hidup oleh pengadilan Banding -- Kusni Kasdut
masih menunggu keputusan grasinya. (TEMPO, 1 Juli 1978). Di
zaman Bung Karno hukuman mati pernah dijatukan terhadap Saadon
(pelaku peristiwa Cikini) tapi berdasarkan pasal-pasal subversi,
bukan pasal 340 W v.S.
Tapi justru pelaksanaan pasal 340 W.v.S. itu telah menimbulkan
silang pendapat di kalangan ahli hukum. Umumnya menilai pasal
itu tak diperlukan lagi bagi negara yang berazas Pancasila.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Cabang Surabaya, A. Tholib SH, yang
dimintai pendapat tentang eksekusi terhadap Oesin juga menilai
"tidak sesuai dengan negara Pancasila." Pendapat serupa
diungkapkan juga oleh Dr. Jacob Elfinus Sahetafi yang pernah
membuat disertasi tentang hukuman mati bagi pembunuhan
berencana. "Ancaman pidana dalam pasal 340 W.v.S. sekarang ini
praktis merupakan suatu ketentuan abolisi de fakto" kata
Sahetafi.
Secara pribadi, Ketua Peradin Jaya, Soenarto Soerodibroto SH,
malahan meralat hukuman mati itu bertentanan dengan Pancasila.
Memang Oesin jahat, katanya, tapi hukuman paling baik dijatuhkan
kepadanya adalah seumur hidup. Menurut Soenarto, hukuman seumur
hidup lebih berat bagi yang bersangkutan. Karena itu lehih baik,
sebab mengandung pendidikan untuk menginsafkannya.
Kata Soenarto, boleh saja pengadilan menjatuhkan hukuman mati.
Toh selalu dimungkinkan adanya grasi dari presiden. Karena itu
Ketua Peradin Jaya ini mengusulkan agar hukuman mati itu
dihapuskan saja. Meski demikian ia mengakui sampai sekarang
secara resmi Peradin Jaya maupun Peradin Pusat belum
mengeluarkan pendapat tentang hal ini. Tapi berdasarkan
pembicaraan dengan ahli-ahli hukum lainnya, menurut Soenarto,
semua sependapat dengannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini