Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Ikhtiar Bagus Mendongkrak Riset

Bagus Muljadi mendirikan lembaga kemitraan untuk mendorong Indonesia memperkuat penelitian. Inovasi lahir dari dunia riset.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bagus Muljadi di Faculty of Engineering, University of Nottingham, Inggris, 2019./Mr. Yoggi Herdani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bagus Muljadi adalah salah seorang diaspora yang mendorong pemerintah Indonesia memperkuat riset.

  • Nilai rapornya sering merah dan IPK-nya jeblok, Bagus akhirnya bisa berkarier sebagai dosen di Inggris.

  • Berencana melakukan penelitian agar pulau kecil bisa mandiri saat pandemi.

PENYEBARAN virus corona membuat Bagus Putra Muljadi resah. Dosen University of Nottingham, Inggris, ini khawatir akan nasib masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil di Indonesia. “Bagaimana mereka bisa bertahan dalam kondisi seperti sekarang ini?” ujar Bagus, 37 tahun, melalui panggilan WhatsApp, Selasa, 23 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fasilitas kesehatan di pulau kecil, kata dia, sangat minim. Uji laboratorium untuk mengetahui adanya virus corona dalam tubuh, misalnya, harus dilakukan di kota di pulau besar, seperti Pulau Jawa. Begitu juga urusan suplai makanan dan bahan bakar. Kondisi ini mendorong Bagus mengajak dosen Institut Pertanian Bogor, Berry Juliandi, melakukan penelitian pada April lalu. “Dia kontak saya, bagaimana kalau kita bikin penelitian untuk mengatasi pandemi. Kami godok idenya bersama,” ucap Berry.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berry dan Bagus bersepakat melakukan penelitian di Pulau Belitung, Kepulauan Bangka Belitung. Bagus punya ide membuat pemodelan matematika tentang interaksi warga Belitung untuk menghitung waktu yang dibutuhkan suatu wabah menyebar ke seantero pulau jika salah satu penduduk terinfeksi. Hitungan ini akan menjadi dasar bagaimana penanganan yang tepat jika suatu saat Belitung kembali diserang pandemi agar bisa cepat teratasi. Sedangkan Berry akan mendata potensi alam dan tantangannya di Belitung. Maka, jika suatu saat wabah kembali datang, pasokan pangan ataupun energi tidak keteteran. “Kami ingin pulau kecil seperti ini bisa mandiri,” kata Bagus.

Bagus mengajak para koleganya di University of Nottingham membantu penelitian tersebut. Berry juga menggandeng para peneliti dari IPB. Jumlah peneliti yang terlibat sekitar 50 orang. Mereka berencana mengadakan diskusi antara para peneliti dari dua negara, Pemerintah Kabupaten Belitung, dan Kedutaan Besar Inggris di Indonesia perihal penelitian ini pada 2 Juli nanti.

Ini bukan pertama kalinya Bagus terlibat dalam kegiatan di Indonesia. Sejak 2017, ia diundang oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (sekarang Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional) sebagai salah satu pembicara Simposium Cendekia Kelas Dunia. Ia bersama pembicara lain diminta berbagi pengalaman masing-masing tentang dunia penelitian di luar negeri. “Saya ikut menyeleksi diaspora mana saja yang pantas diundang. Salah satu yang kami kira layak adalah Pak Bagus,” tutur Berry, yang juga menjadi anggota tim pakar di Direktorat Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Bagus langganan menjadi pembicara di acara simposium itu. Menurut Berry, Kementerian kembali mengundang Bagus karena kehadirannya bermanfaat untuk perkembangan penelitian di Indonesia. Setelah menjadi pembicara pada tahun pertama, Bagus mendirikan Indonesia Doctoral Training Partnership (IDTP) di University of Nottingham yang disokong penuh oleh universitas itu pada 2018. Lembaga ini memfasilitasi kerja sama antara pemerintah Indonesia dan University of Nottingham.

Mereka, di antaranya, membuat skema khusus agar para mahasiswa doktoral dari Indonesia di University of Nottingham disupervisi peneliti dari Indonesia. Maka hasil penelitiannya juga bermanfaat untuk perkembangan keilmuan di Tanah Air. IDTP juga mengirimkan para profesor dari University of Nottingham ke Indonesia untuk berbagi ilmu. “Bagus antara lain mengirimkan dua profesor ahli Future Food,” ucap Berry. Seusai acara tersebut, IDTP memfasilitasi nota kesepahaman antara IPB dan University of Nottingham. Salah satunya terkait dengan kerja sama penelitian Future Food atau makanan alternatif.

•••  

SEMULA Bagus tak pernah berniat menjadi pengajar, apalagi ilmuwan. Masa kecil dan remajanya lebih banyak dihabiskan untuk bermain, ngeband, atau main drama. Anak Betawi ini tumbuh berpindah-pindah di daerah Jakarta, tergantung di mana orang tuanya mendapatkan rumah untuk dikontrak. Bagus sering memperoleh nilai merah di sekolah. Ketika berkuliah di Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung pun indeks prestasi kumulatifnya hanya 2,69. “Di Indonesia, karier sebagai akademikus disimpan untuk mahasiswa yang IPK-nya bagus,” ujarnya.

Gara-gara IPK yang jeblok itu pula Bagus menjadi kesulitan mendapatkan pekerjaan. Pilihan yang paling memungkinkan untuknya adalah melanjutkan studi S-2. Ia lalu melamar di National Taiwan University, Jurusan Mekanika Terapan, pada 2006. Bagus memiliki kedekatan sentimental dengan Taiwan. Ayahnya dulu bekerja sebagai buruh migran di negara tersebut untuk menghidupi keluarganya. “Ayah sering cerita betapa susahnya bekerja di Taiwan. Saya ingin membuktikan bisa berhasil di negara tersebut,” katanya.

Lewat surat, Bagus meyakinkan calon supervisornya bahwa ia adalah calon mahasiswa yang sangat berambisi. Rupanya, surat itu membuka jalan Bagus di perguruan tinggi terbaik di Taiwan tersebut. Ia kemudian ikut terlibat dalam berbagai penelitian yang diinisiasi oleh para dosennya. Untuk biaya hidup, Bagus menjual pompa air yang dibuat oleh perusahaan teman sekampusnya. Ia mendagangkannya di kota-kota besar di Indonesia.

Bagus merampungkan S-3 di kampus yang sama dan menikahi Christine Koch, mahasiswa pertukaran dari Jerman, pada 2012. Pernikahan itu yang membuatnya menimbang untuk berkarier di Eropa. Ia mendapat pekerjaan di Institut de Mathematiques de Toulouse, Prancis, dan melakukan beberapa penelitian berbasis matematika.

Meski sudah sering melakukan penelitian sejak menjadi mahasiswa di Taiwan, Bagus baru benar-benar terpincut pada dunia akademik setelah menjadi rekanan peneliti di salah satu universitas terbaik di dunia, Imperial College London. Ia bisa meneliti apa pun, meski tak sesuai dengan dasar keilmuannya. Baik proses maupun hasil penelitiannya juga dilindungi oleh perguruan tinggi. “Saya merasa karier akademis itu memuaskan, kebebasan berpikir kami terlindungi,” ucapnya.

Bagus kemudian hijrah ke University of Nottingham sebagai asisten profesor (setingkat lektor di Indonesia) di Fakultas Teknik pada 2017. Ia antara lain mengampu mata kuliah mekanika fluida. “Dulu, saat jadi mahasiswa di ITB, saya gagal di mata kuliah itu. Sekarang malah saya mengajar mata kuliah itu, ha-ha-ha...,” tuturnya.

Di universitas tersebut, Bagus juga bebas melakukan beragam penelitian meski melenceng dari keilmuannya. Terakhir, ia meneliti dinding sarang rayap yang ternyata mampu beradaptasi di segala cuaca. Studi ini diterbitkan di jurnal Science Advances, 22 Maret 2019.

Belasan tahun belajar dan mengajar di luar negeri inilah yang membuat Bagus sadar ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Misalnya soal cara pandang masyarakat yang lebih mengunggulkan kelompok ilmu pengetahuan alam dibanding kelompok ilmu pengetahuan sosial. Juga tentang kebiasaan banyak pengajar dan peneliti di Tanah Air yang mengacu pada hasil penelitian luar negeri. Padahal, kata dia, karakter Indonesia dengan negara lain jelas berbeda. Sistem pendidikan di Indonesia juga tak mendorong orang menjadi peneliti. “Padahal inovasi lahir dari dunia riset,” ucapnya.

Inilah yang sering Bagus sampaikan ketika diminta menjadi pembicara di Indonesia. Sistem ini pula yang mendorongnya membuat IDTP. Ia ingin mempercepat transfer ilmu antara University of Nottingham dan perguruan tinggi di Indonesia, serta memperkuat riset Indonesia. Ia ingin di masa depan lembaga seperti IDTP juga berdiri di kampus lain di Inggris. “Kami ingin membangun konsorsium universitas-universitas di Inggris dengan universitas di Indonesia,” ujarnya.

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus