Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menunggu sang air menyentuh keberanian di kedungombo

Ribuan penduduk tak mau pindah dari lokasi kedungombo karena ganti rugi yang tidak memadai. air waduk terus naik. kronologi pembangunan kedungombo. muncul pungli & tuduhan G30S/PKI. wawancara dengan ismail.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI baru terang tanah. Cuaca dingin menggigit kulit. Mardi memanjat sebatang pohon kelapa di tepi desa. Lelaki berusia 27 tahun itu tersentak ketika melihat i kejauhan air sudah menggenangi beberapa tempat yang agak rendah. Bergegas ia turun, lalu berlari ke sebuah pos keamanan. Tung ... tung ... tung. Sebuah kentongan yang ada di sana dipukulnya bertalu-talu. Itulah pertanda bahaya sedang mendatangi. "Air datang ...," pekiknya. Bunyi kentongan itu segera membangunkan penduduk. Tak tampak ada kekagetan atau kecemasan. Mereka tampaknya sudah siap. Laki-laki, perempuan, langsung sibuk menebangi pohon pisang, membuat rakit. Di subuh 8 Maret 1989 itu, air mulai menyentuh Ngrakum, sebuah dukuh yang terletak di Desa Nrakum Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Mula-mula lidah air menjilat rumah Suriyem, yang berlokasi di tempat yang paling rendah. Semakin siang, perlahan-lahan permukaan air semakin naik. Hari itu saja, setidaknya 9 rumah sudah tergenang air. Dengan sigap, penduduk beramai-ramai membongkar rumah-rumah itu. Genting, papan, kayu-kayu bekas tiang rumah, mereka tumpuk di tepi jalan di tempat yang agak tinggi, agar tak dihanyutkan air. Lalu, penduduk yang rumahnya terendam air pindah ke rumah-rumah tetangganya yang belum terjamah air. Hingga dua pekan lalu, sekitar 70 kepala keluarga (KK), dengan 120-an anak-anak, masih ngotot tak mau meninggalkan kampung halaman mereka. Dulunya penduduk dukuh ini ada 137 KK. Air Waduk Kedungombo memang terus merambat naik. Pada 8 Maret yang lalu ketinggian permukaan air berada pada sudut elevasi 79,5, dan menggenangi 9 rumah. Sembilan hari kemudian, Jumat pekan lalu, air sudah merendam 35 rumah. Sudut elevasinya sudah di atas 80. Sampai hari itu, masih ada 102 rumah di dukuh ini yang selamat dari pagutan air. Di Kedung Cemplang, dukuh tetangga Ngrakum, tampaknya air sudah lebih tinggi lagi. Di beberapa tempat air bukan cuma menggenangi rumah-rumah, tapi tinggi permukaannya sudah mencapai pinggang orang dewasa. Penduduk kelihatan mengungsikan bermacam perabot rumah tangganya. Lemari, meja, tempat tidur, juga genting dan papan bekas rumah yang mereka bongkar. Ada yang membawa barang-barang itu dengan menggunakan rakit batang pisang, ada pula yang dengan main panggul saja, bergotong-royong. Sampai di tempat yang tinggi, dengan bergotong-royong pula, mereka kembali mendirikan rumah dengan bahan-bahan bekas bongkaran tadi. "Cara ini tidak efektif. Bapak-bapak mendirikan rumah di sini, padahal pada waktunya tempat ini juga akan tenggelam," kata Letkol. (Pol.) Dai Bachtiar, Kapolres Boyolali, sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat perbuatan penduduk itu. Tapi apa mau dikata. Beginilah pemandangan sehari-hari di berbagai desa di Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, sejak Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar meresmikan Waduk Kedungombo, 14 Januari yang lalu. Sejak itulah pintu waduk ditutup. Lalu air Sungai Serang serta beberapa anak sungai di sekitarnya segera terbendung dan naik perlahan-lahan, 20 sampai 50 cm setiap hari. Sesuai dengan rencana, kawasan ini nanti akan menjadi sebuah danau buatan yang mampu menyimpan 723 juta m3 air. Oleh karena itulah sejak 1983, 6.000 ha lebih tanah di lokasi calon danau buatan itu meliputi 37 desa di tiga kabupaten: Boyolali, Grobogan, dan Sragen, mulai dibebaskan. Tentu tak ada kesulitan membebaskan 304 ha tanah negara dan 1.500 hutan milik Perhutani. Persoalan menjadi rumit ketika Pemda Jawa Tengah harus menggusur 4.363 ha perkampungan yang dihuni lebih dari 5.000 kepala keluarga. Sebagian di antara mereka menolak pindah. Mereka memilih bertahan. Sampai saat peresmian waduk, kawasan yang akan digenangi air itu masih didiami 1.916 KK atau 8.844 jiwa -- termasuk anak-anak dan orang jompo. Mereka yang bertahan adalah penduduk enam desa di Kecamatan Kemusu: Kemusu, Ngrakum, Nglanji, Klewot, Blawu, dan Genengsari. Memang ada yang kemudian menyerah setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana air sampai di bubungan rumahnya. Menurut pendataan terakhir yang dilakukan Pemda Jawa Tengah, 10 Maret yang lalu, jumlah yang masih bertahan tinggal 1.684 KK. Tapi tak seluruh jumlah sekitar 7.500 jiwa itu terdiri dari orang yang menolak ganti rugi. Sebab, menurut catatan Pengadilan Negeri Boyolali -- tempat uang ganti rugi dititipkan -- jumlah yang belum menerima ganti rugi tak sampai 1.500 KK. Dengan kata lain, banyak yang sudah menerima uang tapi tetap bertahan. Alasannya beragam. Ada yang solider pada teman-teman. Ada yang masih ingin memetik tanamannya sebelum ditenggelamkan air waduk. Ada pula alasan lain. Misalnya, di sebuah rumah kosong di Desa Ngrakum dua pekan lalu, beberapa lelaki malah sedang sibuk berjudi kartu. Seorang perempuan muda merebus singkong dan membuat kopi untuk mereka. "Uang ganti ruginya ratusan ribu rupiah, jadi mereka main untuk membunuh waktu," kata seorang pemuda di rumah itu kepada, TEMPO. Di tempat lain, di desa itu, menjelang tengah hari Jumat pekan lalu, suara loudspeaker mengalun, menyerukan puji-pujian kepada Tuhan dari sebuah langgar kecil 6 x 8 meter, yang berhampiran dengan kuburan desa yang sudah terendam air. "Sedang ada upacara nyadran," kata seorang penduduk. Rupanya, sekalipun kampung sudah nyaris tenggelam, penduduk masih ingin membersihkan kuburan, menjelang Ramadan. Selintas, kehidupan sehari-hari tampak berjalan biasa. Tak ada bayang-bayang kelaparan. Penduduk baru saja panen Desember atau Januari yang lalu. Yang membedakan adalah air, air -- di mana-mana. Sampai Senin pekan ini, Waduk Kedungombo telah menenggelamkan sekitar separuh dari 6.000 ha daerah genangan yang direncanakan, yang di dalamnya terletak 37 desa di tiga kabupaten itu. Di sekitar pintu waduk di Desa Kedungombo, Kecamatan Kemusu, kedalaman air sudah mencapai 40 meter lebih. Memang 37 desa itu tak tenggelam total. Desa Ngrakum, misalnya, sampai pekan ini baru tergenang sebagian. Daerah yang berada di perbukitan -- kawasan ini memang berbukit-bukit -- sekarang membentuk pulau-pulau dan diceraikan oleh sungai atau selat buatan. Pulau-pulau itulah yang didiami penduduk. Hubungan antarpulau dilakukan dengan rakit batang pisang. Cukup mendebarkan. Soalnya, di beberapa tempat kedalaman air sampai lima meter. Di sana bisa dilihat pucuk kelapa, rumpun bambu, akasia, mahoni, atau jati, yang telah ditelan air. Daunnya menguning, layu, rontok. Dalam keadaan yang tak dibayangi kelaparan itu, penduduk toh punya kesulitan besar: mencari air minum. Di kawasan berbukit kapur itu, sumber air minum selama ini adalah mata air. Coba lihat Dukuh Mbanger di Desa Ngrakum. Sebuah mata air sudah ditelan air waduk, sedang sisanya, sebuah lagi, yang masih berfungsi, tinggal semeter lagi dari jilatan air yang keruh kehijauan itu. Dalam situasi itu, Warsini, 7 tahun, setian hari berjalan kaki melintasi perbukitan tandus dan berbatu sejauh 2,5 km, menuju sekolahnya yang baru, SD Wonosari. Sekolahnya yang lama di Ngrakum sudah ditelan waduk. Tapi Warsini tabah. "Saya tak takut berjalan sejauh itu untuk bersekolah," kata gadis kecil siswa kelas dua SD itu. Tapi tak banyak yang bersemangat seperti dia. Umumnya anak di sana sudah mogok sekolah sejak gedung sekolah di desa mereka tenggelam. Mereka, ditaksir ada 3.500 orang, terpaksa mengikuti orangtua mereka yang tetap bertahan. Mereka terserak di pulau-pulau, di enam desa (Ngrakum, Nglanji, Wanoharjo, Klewor, Bawu, dan Kemusu), yang seluruhnya masuk wilayah Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolai. Cuma di sinilah tinggal penduduk Kedungombo yang bertahan itu. Semua ini rupanya merisaukan hati Y.B. Mangunwijaya, 60 tahun, pastor dari Keuskupan Agung Semarang yang juga arsitek, novelis, dan penulis risalah di surat kabar itu. Ia amat khawatir pada nasib ribuan anak-anak yang sebenarnya tak tahu-menahu urusan orangtua mereka. Bukan saja sekolah mereka kocar-kacir. "Makan pun seadanya, sehingga mungkin mereka terserang penyakit cacing atau disentri," kata tokoh yang biasa dipanggil Romo Mangun itu. Maka, setelah berembuk dengan sejumlah tokoh lainnya, seperti Kiai Hamam Dja'far, pimpinan Pesantren Pabelan Prof. Slamet Rahardjo, Ketua Angkatan 45 Jawa Tengah Soewarno, Ketua PMI Semarang dan sejumlah tokoh lainnya yang bertindak atas nama pribadi, terbentuklah Panitia Darmakarya Bagi Anak-Anak Kedungombo, yang disingkat jadi PDK-AKO. Panitia ini bermaksud membantu anak-anak Kedungombo. "Kami akan mendongeng, mengajak mereka menyanyi, menari, dan main kasti, agar anak-anak itu gembira. Tak sepatutnya anak-anak menderita," kata pastor penulis novel Burung-Burung Manyar itu. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini sama sekali terlepas dari soal ganti rugi atau soal gawat lain, termasuk perkara orang-orang eks PKI yang dikatakan ada di Kedungombo. Segera, bantuan pun berdatangan dari mana-mana. Sejumlah sukarelawan mendaftarkan diri siap membantu. Kalangan pemerintah mula-mula bersuara positif. Malah Menteri Dalam Negeri Rudini, ketika menjawab pertanyaan wartawan di Klaten awal Maret yang lalu, mendukung rencana aksi sosial Romo Mangun itu. Rudini mengaku belum tahu persis rencana Mangunwijaya di Kedungombo, tapi ia berkata, "Sejauh niata membantu anak-anak yang telantar, kurang mampu, itu bagus, dan saya dukung ...." Tapi kemudian niat itu terkendala. Ini terjadi setelah Romo Mangun, didampingi Prof. Slamet Rahardjo dan Soewarno, bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah, Jumat pekan lalu. Gubernur Ismail tak setuju pada aksi sosial yang direncanakan Romo Mangun. Ia tak keberatan bila Romo Mangun ingin membantu anak-anak itu, tapi seluruh sumbangan harus disalurkan melalui pemda (lihat wawancara dengan Gubernur Ismail). Bagi Mangunwijaya, itu berarti, "Gubernur belum percaya bahwa tujuan panitia ini murni kemanusiaan." Keprihatinan yang sama menimpa Prof. Slamet Rahardjo, yang juga guru besar di Universitas Diponegoro, Semarang. "Kami bermaksud baik, sesuai dengan anjuran pemerintah agar berpartisipasi dan peka terhadap masalah sosial, kok malah dicurigai?" katanya. Yang menarik ialah yang terjadi dengan Kiai Hamam Dja'far. Ia urung menyertai rombongan ketika Mangunwijaya menghadap gubernur. Kenapa? Menurut Romo Mangun, kiai itu telah "diultimatum" Komandan Kodim Magelang. "Pilihlah, setia pada negara atau kepada Mangunwijaya," begitu Mangunwijaya menirukan ucapan Komandan Kodim kepada pimpinan Pesantren Pabelan yang terkenal itu. Tapi Komandan Kodim Magelang, Letkol. Sadim Putut, membantah cerita Mangunwijaya. "Kami hanya memberi wawasan kepada Kiai Hamam dalam kaitan dengan apa yang terjadi di Kedungombo. Misalnya, kami katakan, mok mikir, karena Pak Gubernur selaku pimpinan sudah menata Kedungombo. Jadi, kami tak melarang siapa pun," katanya. Kiai Hamam Dja'far sendiri memang sudah menerima ajakan Romo Mangun untuk membantu anak-anak di Kedungombo. "Menyantuni orang yang lemah dan teraniaya adalah panggilan semua agama," kata pemimpin pesantren yang memenangkan penghargaan The Agha Khan Award untuk arsitektur, 1980. Sampai sekarang sikapnya untuk membela anak-anak Kedungombo juga tak bergeser. Tapi ia sendiri menganggap tindakan Gubernur Ismail melarang mereka ke Kedungombo harus ditaati. Selain karena ia ingin menjadi seorang warga negara yang baik, katanya, ia juga punya pegangan tersendiri. "Taatilah Allah dan rasulnya, serta pimpinan yang sudah kau pilih," kata kiai itu mengutip Quran. Orang memang bisa bersikap untuk tidak membangkang, bila dilihat sebuah pertimbangan lain: besarnya manfaat waduk ini untuk kawasan sekitar. Dari pengamatan nampak jelas, daerah itu memang miskin. Tanahnya kuning dan berkapur. Tanpa sarana perairan teknis, produksi padi rendah, cuma sekitar 4 ton per hektar. Penduduk umumnya hanya punya tanaman keras kelapa. Tanaman keras yang lain, mahoni, akasia, jati, dan sonokeling, menunjukkan betapa tanah di situ memang tak subur. Sebagian boleh dikategorikan sebagai lahan kritis. Nah, waduk inilah yang memang akan mengubah wajah kering melarat kawasan itu. Dan seperti dikatakan Menteri Rudini kepada TEMPO, "Usaha untuk memakmurkan rakyat ini, betapapun, membutuhkan pengorbanan." Pengorbanan, dengan pindah tempat, sebenarnya biasa dalam setiap pembangunan bendungan. Ketika dibangun Waduk Gajahmungkur di Wonogiri, Jawa Tengah, sekitar 45.000 jiwa dipindahkan dengan bedol desa ke proyek transmigrasi Sitiung, Sumatera Barat. Waktu itu, 1978, tak ada problem. Padahal, ganti rugi, kata sumber pemerintah daerah setempat, cuma Rp 28 tiap meter. Kecil bila dibanding harga pasaran tanah setempat yang Rp 500. Juga pembangunan PLTA Saguling di Jawa Barat. Pada tahun 1982, lebih dari 3.000 KK yang mendiami lokasi waduk di Cililin, Kabupaten Bandung itu pindah. Ada ribut-ribut, tapi tak seramai Kedungombo, meskipun sampai sekarang enam warga Cililin masih dalam proses menggugat Pemda Jawa Barat di pengadilan, karena menganggap uang ganti rugi yang diberikan terlalu kecil. Tak heran orang jika ada pertanyaan, seperti dikemukakan Menteri Rudini sendiri, kenapa kejadiannya lain di Kedungombo. Dan mengapa pula dalam kasus ini, penduduk yang masih bertahan itu cuma di Kabupaten Boyolali, sementara di dua kabupaten lainnya, Grobogan dan Sragen, sudah beres. Dari kaca matanya sebagai seorang ABRI, Rudini melihat Boyolali dulu sebagai daerah basis PKI. Tapi benarkah daerah bekas PKI akan alot? Belum tentu. Wilayah Blitar Selatan dulu bahkan tempat yang dipilih oleh sisa-sisa PKI buat mencoba bergerilya, tapi kini justru merupakan daerah yang patuh membangun. Lagi pula, di kabupaten Boyolali ini sebenarnya daerah yang terkena proyek terdiri dari dua kecamatan: Andong dan Kemusu. Ternyata, desa yang bertahan semua terletak di Kecamatan Kemusu. Daerah ini memang paling belakang diserbu air. Tempatnya rada tinggi. Boleh jadi, penduduk tak yakin tanahnya akan bisa dicapai air. Selain itu, pendekatan yang dilakukan panitia ganti rugi terhadap penduduk, bila diamati, memang kurang lancar. Setidaknya kalau laporan penduduk benar: "Petugas memaksa penduduk memberi cap jempol menerima ganti rugi dan transmigrasi. Jika tak mau, dibentak, bahkan dipukuli," kata Yatmo Sudaryo, 52 tahun, penduduk Nglanji. Cara ini kurang sukses. Maka, dipakailah cara lain. Camat memanggil. Bila penduduk tak datang, ia diancam dengan pasal 224 KUHP. Begitulah tertulis dalam surat panggilan Camat, meskipun sebenarnya pasal itu dikenakan untuk saksi yang tak mematuhi panggilan pengadilan. Keadaan bertambah tegang setelah beberapa penduduk ditangkap dengan tuduhan mencuri kayu Perhutani. Entah karena kebetulan, semua yang ditangkap adalah orang-orang yang menolak ganti rugi. Lalu belakangan KTP belasan penduduk diberi kode ET, tanda buat bekas PKI. Itu dialami, setidaknya, oleh Cipto Simin, 46 tahun, penduduk Ngrakum yang ditemui TEMPO. Setelah ia menolak memberi cap jempol ganti rugi itu, tiba-.tiba KTP-nya yang diberikan kepala desa, 1 Januari 1986, pakai kode ET. "Padahal, sebelumnya KTP saya tak pakai ET," katanya sembari memperlihatkan dua KTP-nya yang lama, yang tanpa ET. Bupati Boyolali Moh. Hasbi membantah. Ia mengatakan bahwa kode ET itu bukan karangan belaka. "Itu data yang kami peroleh dari Laksusda ketika itu," kata bekas Komandan Kodim Yogya yang terkenal berhasil menumpas gali itu. Bagaimanapun, nampak ada yang kurang lancar di sana. LBH Yogyakarta pernah meneliti mengapa penduduk menolak bertransmigrasi. Jawabnya: sebagian besar sudah berusia lanjut. Alasan lain, ada keyakinan penduduk bahwa di pergantian abad ini akan ada bader mangan manggar (ikan bader makan kembang kelapa). Berarti kemakmuran segera akan tiba. Apa pun alasan dan idaman mereka, kini yang pasti mereka menghadapi kesulitan. Apalagi setelah wilayah itu ditutup. Jalan masuk ke sana harus melintasi empat lapis penjagaan polisi dan tentara. Penjagaan ini juga dilengkapi pawang ular dari "Contempo", grup sirkus dari Semarang, sejumlah perahu karet, sejumlah truk, tak ketinggalan obat-obatan dan bahan makanan. Ada juga dokter puskesmas. Untuk menolong penduduk juga, nanti.Amran Nasution, Aries Margono, Kastoyo Ramelan, Nanik Ismiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum