THE ACCUSED Pemain: Jodie Foster, Kelly Mc Gillis, Leo Rossi Musik: Brad Fiedel Cerita: Tom Topor Sutradara: Jonathan Kaplan FILM ini menginformasikan: setiap enam menit terjadi satu perkosaan di Amerika Serikat. Satu dari empat perkosaan dilakukan oleh lebih dua orang pria. Wajar kalau kemudian muncul usahausaha melindungi wanita. Tetapi pembelaan terhadap kaum wanita dalam film ini tidak membabi buta. Tetap berada dalam garis pikir yang jernih -- film ini nmencoba mendudukkan persoalan dengan wajar. Ia hadir sebagai dialog yang waras. Dibuka dengan gambar yang sepi suara, mula-mula kita melihat sebuah bar bernama The Mill. Tiba-tiba berlari seorang lelaki muda keluar, menyeberang jalan dan masuk ke dalam boks telepon. " Hallo, hallo di sini ada perkosaan. . . ," katanya melapor kepada polisi. Tak lama kemudian meloncat ke luar seorang wanita, dari dalam bar, sambil memegangi pakaiannya yang nyaris lepas. Ia berteriak-teriak menyetop mobil yang lewat -- sampai kemudian sebuah truk berbaik hati, berhenti dan memberinya pertolongan. Inilah kisah Sarah Tobias, seorang waiter bar, yang diperkosa beramai-ramai oleh tiga lelaki di dalam bar, di depan khalayak. Hukum kemudian mencoba melindunginya dengan menuntut para pelaku yang tak sulit diidentifikasi. Tetapi negosiasi antara jaksa dan para pembela -- mafia peradilan -- tak menghasilkan hukuman yang memuaskan. Tuntutan perkosaan dilemahkan, sehingga para pelaku, kendatipun dapat dijebloskan ke penjara, dihukum sangat ringan. Sarah Tobias (dimainkan Jodie Foster dan memperoleh Oscar tahun ini), wanita muda yang keras. Dia mengetok rumah jaksa (Kelly Mc Gillis) dan mencak-mencak dengan berang. "Mereka menganggap aku pelacur, apa karena aku orang hina aku tidak mendapat perlindungan secukupnya?" teriaknya. Jaksa penuntut, seorang wanita yang baik. Ia sudah berusaha menjebloskan para pelaku itu, tetapi ia mengerti hukumannya memang tidak seimbang. Apa daya? Perkara itu kemudian kembali diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Tetapi bukan lagi sebagai perkara perkosaan. Yang dituntut adalah mereka yang menonton ketika perkosaan itu berlangsung. Mereka telah bersorak-sorak memberi semangat para pemerkosa, sementara Sarah tak berdaya, dibantai di atas mesin mainan pinball. Dapatkah orang yang menonton perkosaan dijatuhi hukuman? Apa orang yang menonton dapat didakwa ikut melakukan tindak kriminal? "Dapat," kata jaksa dengan tegas, "kalau, karena sorak-sorai itu, orang lain tergerak untuk melakukan kejahatan." Kejadian di dalam ruang pengadilan berlangsung menarik. Terutama karena para pembela yang bertugas membela para terdakwa tidak dilukiskan sebagai orang orang goblok. Mereka malah hadir pintar dan tenang dengan argumentasi yang bagus. Adegan itu jadi menegangkan dan mencengkam. Ini sebuah film masa kini yang menarik. Dibuat dengan murah. Padat dan efektif. Ceritanya kental. Dialognya menampilkkan persoalan-persoalan sosial yang tajam. Tidak hanya buat masyarakat Amerika, karena ia menyangkut perlindungan terhadap wanita pada umumnya -- terhadap hak asasi manusia khususnya. Problem sosial yang juga relevan buat masyarakat kita ini membuat kita tergerak menontonnya. Beringas, bagaimana bisa pengadilan begitu tak berdaya. Penulis skenario dengan lihai menolak menampilkan semua adegan pengadilan. Penonton hanya dibawa ke ruang pengadilan pada puncak-puncak kasus terakhir, sehingga film ini tidak hanya merupakan cerita pengadilan yang tak beres, tapi gambaran masyarakat kota. Dari satu suasana ke suasana yang lain, emosi cerita terus menanjak. Yang paling istimewa adalah penampilan Jodie Foster. Ia muncul total dan kita tak pernah ingat itu Jodie, karena kita melihat dari awal sampai akhir Sarah Tobias, wanita yang diperkosa tapi beringas. Kita melihat wanita kelas bawah yang keras dan kasar ngomongnya, juga sedikit bodoh. Ia berjalan kaku seperti lelaki, tetapi tetap saja seksi. Jodie yang mula-mula kita kenal sebagai pelacur cilik dalam film Taxi Driver bersama Robert de Niro, sekarang sudah menjadi aktris yang matang. Permainan Jodie prima. Hadiah Oscar untuk penampilannya ini pantas sekali. Dengan penyutradaraan yang bagus dan musik yang amat membantu, film ini memikat sampai akhir. Kelancarannya tidak kehilangan saat-saat perenungan. Humor pun diselipkan tapi sama sekali tak mengganggu. Bahkan di saat-saat yang tegang, Sarah masih sempat diungkap sebagai seorang yang memiliki bakat meramal perbintangan. Peristiwa menyeret "penonton perkosaan" itu ke dalam kurungan, memberikan "PR kecil". Kok bisa-bisanya negeri maju tetap tak berdaya menghadapi penindasan hak asasi. Film ini sebuah film keras, bukan karena adegan-adegan keras, tetapi karena caranya melontarkan persoalan. Karena sikap sutradaranya. Adegan perkosaan, misalnya, dimunculkan secara kilas balik menjelang akhir film. Tetapi sutradara sama sekali tak berusaha memanfaatkan adegan-adegan itu untuk men-curi "point" komersial. Peristiwa tersebut berlangsung -- terima kasih pada badan sensor -- dengan menjijikkan. Inilah salah lagi kelebihan The Accused. Kekerasan dan tokoh-tokoh hitam dalam film ini tidak dipamer-obral sebagaimana umumnya film komersial. Inilah yang membantu penampilan Sarah oleh Jodie begitu hidup. Sarah hadir ke atas layar dengan total, bukan sebagai sosok yang ideal ata simbol kebenaran. Tetapi manusia hidup yang kebetulan jadi korban, yang tak bebas dari cela. Sikap sutradara yang adil dan realistis ini menjelaskan ia kenal betul medannya. Sebagai akibatnya film ini jadi "dingin". Tetapi kedinginan itu justru membuatnya simpatik. Dukungannya pada wanita yang tertindas bukan teriakan kosong, tapi suara kental yang luka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini