SUPLAI amunisi secara diam-diam diangkut lewat jembatan udara
(airlift) dari Libya ke Iran. Ternyata Mihael Gurdus
mengetahuinya. Ketika pesawat Iran tengah menerobos sebagian
wilayah udara Uni Soviet, Gurdus dengan perlengkapan radionya (
I0 Oktober) berhasil menyadap pembicaraan antara pilot pesawat
tadi dengan menara kontrol suatu pangkalan udara milier di lran.
Libya membantah tapi Iran bungkam. Pemerintah Teheran agaknya
sudah maklum akan prestasi Gurdus. Beberapa kali wartawan radio
Israel itu pernah membuat scoop dari kamar kerja di rumahnya.
Siapa Gurdus? Ia tinggal di sebuah rumah tembok, dikelilingi
pohon rindang, di suatu jalan Tel Aviv, Israel. Di atas wuwungan
rumahnya tampak menjulang antene radio bersilangan. Michael
Gurdus, 35 tahun, berambut kelabu, bekerja dengan perlengkapan
enam pesawat radio (gelombang pendek, menengah dan panjang).
Dari kamarnya itu, yang dihiasi dengan pesawat terbang mainan
dan bola dunia, Gurdus menjelajah dunia. Dan pada dini hari 25
April Gurdus berhasil menguping pembi- icaraan antara komandan
Angkatan Darat AS di Turki dengan pilot pesawat Angkatan Udara
AS yang tengah melintasi Bahrain. Percakapan itu adalah sebagian
dari suatu usaha AS membebaskan para sandera di Teheran. Blue
Light Operation yang , dilancarkan Presiden Jimmy Carter
ternyata kandas di danau garam Dashte-Kavir dan menewaskan
delapan anggota pasukan.
Bertolak dari percakapan itu, Gurdus menyiarkan di radio
bahwa misi yang gagal tadi bertolak dari Cairo, Mesir. mengisi
bahan bakar di Bahrain dan dikomando dari Turki. Banyak kantor
berita lalu mengutipnya, hingga cerita itu tersiar luas dan
berkembang. "Biasanya transmisi Angkatan Udara AS bekerja dengan
kode-kode. Tapi suatu saat anda tak bisa melanjutkannya. Anda
harus bekerja secara terbuka," katanya. "Itulah kesempatan saya
buat menguping."
Akibat pemberitaan Gurdus, Washington tentu saja gusar dan
malu. Operasi militer (dengan komandan veteran Perang Vietnam,
Kolonel Charles Beckwith) itu, walaupun dirahasiakan, ternyata
bocor juga. Presiden Carter konon pernah meminta Israel agar
men-bungkam kegiatan Gurdus. Tapi wartawan itu ternyata sampai
kini masih bekerja memperoleh berita dari memonitor radio.
Radio memang suatu sarana ampuh untuk menembus isolasi informasi
di Timur Tengah. Gurdus menghabiskan waktu sekitar delapan jam
sehari untuk menjejak setiap gelombang radio yang mendatangkan
bahan berita. Selama 12 tahun memonitor radio, ia menghasilkan
sejumlah kejutan. Di antaranya berita misi pasukan
Grenzschutzgruppe (C.SG 9) Jerman Barat menyelamatkan para
sandera- di Mogadishu (1977), penyelamatan penumpang pesawat Air
France yang dibajak ke Entebbe (1976) dan berita lolosnya Uskup
Agung Makarios (1976) dari suatu usaha kudeta berdarah.
Menjadi seorang wartawan memang suatu cita-cita Gurdus sedari
kecil. Ayahnya adalah seorang wartawan Jerman, diusir ke Warsawa
ketika Nazi memerintah. Ia meliput Eropa menjelang Perang Dunia
ll dari wilayah miskin di Warsawa dengan radio. Tahun 1939
keluarga Gurdus pindah ke Palestina dau sang ayah menjadi
wartawan Agence France Presse dengan tugas memonitor radio.
Setelah menjalani wajib militer dan lulus dari universitas,
pemuda Gurdus hekerja sebagai wartawan Freelance. Dengan radio
warisan ayahnya, ia kemudian mulai melacak setiap gelombang
radio dan stasiun pemakainya. Ribuan nama stasiun radio kini ada
dalam catatannya. Dalam upaya mengumpulkan data itulah tahun
1964, misalnya, ia menjumpai siaran Radio Brazil yang
memberitakan suatu kudeta. Kepada Duta Besar Brazil di Tel Aviv,
Gurdus menceritakan peristiwa tersebut. "la berterima kasih dan
menjawab bahwa karirnya berakhir sudah. Benar juga, heberapa
hari kemudian ia dipanggil pulang," tuturnya.
Makarios
Gurdus menjadi wartawan penuh pada tahun 1968. Menguasai enam
bahasa asing, ia enam tahun kemudian menangkap siaran radio
Siprus yang memberitakan bahwa Uskup Agung Makarios sudah mati.
Sementara itu, ia juga berhasil menangkap suatu siaran radio
dari Siprus Selatan yang mengudarakan suara Makatios. Ketika
Gurdus kemudian mengudarakan hasil sadapannya, kebetulan
Departemen Luar Negeri AS memonitornya -- dan meneruskan berita
itu ke Inggris. Pihak Inggris lalu menerbangkan Makarios ke
Malta.
Pengalaman menegangkan bagi Gurdus ialah ketika ia (1977)
menyadap pembicaraan percakapan pesawat militer Jerman Barat
yang sedang melintasi Turki dengan markasnya. Pesawat itu sedang
menuju Somalia untuk membebaskan penumpang Lufthansa yang
disandera para teroris. Ia menguntit penerbangan tadi sejak
melintasi Turki, Aden sampai Afrika. Seluruh hasil sadapan
tersebut langsung dikirimkannya ke redaksi.
Ketika mendekati jam siaran, Gurdus menghimbau atasannya agar
jangan mengudarakan dulu bahan berita itu sebelum operasi
selesai. Tapi sang redaktur tetap juga mengudarakan sekalipun
operasi belum diawali. Untung siaran tadi tak terdengar oleh
para pembajak. Belajar dari pengalaman menegangkan itu,
Gurdus kini mencoba menahan diri. Jika memperoleh lagi berita
peka, ia berniat akan mengudarakannya bila saatnya dianggap
sudah tepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini