LANGKAH pameran keliling seni visual negara-negara ASEAN dari tahun ke tahun berubah. Tahun ini, seni lukis anak-anak, seni lukis dewasa, dan fotografi ditampilkan bersama-sama. Putaran pertama pameran simultan, yang dananya dari bantuan Jepang, itu berlangsung 10 hari di Galeri Ancol, Jakarta, sejak 21 Desember silam. Embrio pameran ini sebenarnya dirintis pada 1968. Kusnadi mengadakan pameran lukisan dan foto dari seniman ASEAN di Gedung Pola, Jakarta. Kemudian, 1974, pameran ini ditetapkan secara resmi, dengan menyuguhkan materi yang sama. Pada tahun berikutnya materi itu tambah, bukan hanya seni lukis dan foto, tapi juga ada grafis -- sembari meninjau kembali kelengkapannya. Pada pameran berikut, seni grafis digeser: yang ada hanya seni lukis dan foto. Kemudian, di tengah gemuruh karya seni lukis, seni grafis kembali diselipkan. Pameran ASEAN 1984 ada perubahan lagi, dengan tema art on paper, seni di atas kertas. Berbagai wujud di atas kertas muncul, sejalan dengan perkembangan gagasan dan keterampilan membentuk. Tapi pada kurun itu, Indonesia disebut terdepak ke belakang, karena mengartikan art on paper itu melukis di atas kertas. Sedangkan peserta sudah "berseni rupa dengan media kertas". Sejak itu pamerannya sudah bersifat bukan lagi sekadar karena persahabatan budaya belaka, tapi sebagai ajang kompetisi. Dan itu makin kelihatan ketika 1985 Brunei masuk. Khusus untuk seni lukis, Indonesia memang memiliki potensi tersendiri walaupun, pada awal sampai paruh pertama itu, Indonesia masih menampilkan nama yang itu-itu saja: Affandi, Fajar Sidik, Suparto, Srihadi Sudarsono, dan lain-lain. Sementara itu, yang paling mencolok adalah Muangthai dan Filipina -- yang hampir setiap tahun pesertanya berganti dan senantiasa menyertakan yang muda-muda. Tahun ini kekuatan itu juga diikuti Indonesia. Kecuali nama pelukis Affandi tak muncul lagi, kini hadir Harjiman, Agus Burhan, Agus Kamal, Dede Eri Supria, Lini, Lucia Hartini, dan beberapa yang lain. Peserta "tua" sebagai pendongkrak, ikut Jeihan, Mochtar Apin, Barli Sasmitawinata. "Indonesia ingin memberikan peluang kepada para pelukis yang selama ini belum pernah mengikuti pameran ASEAN," kata Irsam. Pelukis dan personel Direktorat Kesenian P dan K ini salah seorang penyeleksi peserta. Yang masih menonjol tahun ini adalah peserta Muangthai. Mereka menghadirkan anyar yang sedang tumbuh di sana "Kesegaran bentuk dan kegairahan pada isi ciptaan adalah materi yang ingin kami tampilkan. Dan itu lebih nampak pada yang muda," kata seorang peserta, mengutip Mana Ratanakoses, Menteri Pendidikan Muangthai. Dan yang baru hadir itu di antaranya Vuttichai Buranasinlapin, Paiboon Mongkolsaosuk, Wisut Kongwut, Kom Kansuwun. Usia mereka berkisar dari 25 sampai 30-an. Memang ada yang mengguncang. Lukisan Wisut Kongwut, misalnya, menggambarkan refleksi bayangan benda dalam bilahan belasan cermin, berjudul Dimension of Mirror. Lukisan hitam kebiruan ini amat jernih dalam teknik, hingga tinggi pesona visualnya. Sementara itu, Sermsak Sukpeam menghadirkan seri The Contrast of Imaginative Form in Different States. Sebuah suguhan prima tentang karakter benda, yang dilampiaskan lewat bentuk organis dalam citra surealistik. Begitu pula Teerawat Kanama dengan seri Mysticnya. Di sisinya Paiboon Mongkolsaosuk menghadirkan Hidden, kepala-kepala manekin yang dilukiskan dengan teknik air brush. Kesegaran itu terlihat dalam karya peserta dari Negeri Sirikit ini. Bahkan, ada beberapa karya yang menelusuk ke tradisi. Karya Worariddh Riddhagni (A Noble Individual) dan sebuah lukisan Pichai Nirunt misalnya. Dari Indonesia, kegairahan ini nampak pada karya Dede Eri Supria (Cleanliness Comes First) atau Sucipto Adi (Re Incarnation). Lukisan-lukisan yang melantunkan ketekunan dan estetisme kelas satu. Dalam pada itu, Malaysia memberi suguhan progresif, lewat beberapa yang nge-pop art seperti karya Choong Kam Kow, Festive Mood 88, yang mengolasekan bungkusan pepes atau otak di atas kanvas. Filipina memajang aneka kecenderungan. Dari yang ilustratif, seperti karya Roberto B. Feleo, Fernando Modesto, sampai yang mendobrak frame seperti karya Santiago Bose. Singapura memberikan karya apik lewat tangan Soh Siew Kiat (The God, and Fater) yang realistik, dan karya kolase topeng mimik, United, karya Katherine Ho. Peserta dari Brunei tampak baru memulai, tapi mereka beruntung bergabung dalam konstelasi seniman-seniman ASEAN. Sebab, 11 pelukis yang jadi peserta itu dapat menuai pengetahuan visi dan bentuk, serta memetik perkembangan. Dan wakil dari Brunei akan melihat bahwa pameran ini bukan lagi bersifat persahabatan, tapi sudah pertandingan. Ibarat main bola saja. Agus Darmawan T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini