Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penangkapan personel band Sukatani menjadi kasus terbaru pengekangan seni dan kebebasan berekspresi.
Ada juga pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto di Museum Nasional dan Teater Payung Hitam di ISBI Bandung.
Seni adalah bentuk ekspresi dan pendapat yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.
SENI tidak pernah benar-benar bebas dari politik. Karya seni kerap menjadi medium perlawanan, refleksi sosial, atau alat propaganda kekuasaan. Di Indonesia, perdebatan ini kembali mencuat setelah band punk Sukatani menarik lagu mereka, "Bayar Bayar Bayar", setelah dipanggil polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novi Citra Indriyati, vokalis Sukatani, dipecat dari pekerjaannya sebagai guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu Mutiara Hati di Banjarnegara, Jawa Tengah. "Novi melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kode etik Yayasan Al Madani Banjarnegara," kata Ketua Yayasan Al Madani Banjarnegara Khaerul Mudakir kepada Tempo, Senin, 24 Februari 2025. Nama sang guru juga dihapus dari Data Pokok Pendidikan pada 13 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi polemik kebebasan berkesenian, Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ratri Ninditya, menyatakan seni tak mungkin bebas dari nilai politik. “Seluruh tindakan, sekecil apa pun, adalah tindakan politis," katanya kepada Tempo, Selasa, 25 Februari 2027. Menurut Ratri, seni adalah medan pertempuran ideologi dan gagasan. "Bahkan bisa dimanfaatkan negara untuk melanggengkan kekuasaan."
Ratri mengatakan tuntutan agar seni tetap netral adalah bentuk pengekangan. Menuntut seni hanya sebagai hiburan belaka juga dinilai akan mengerdilkan fungsinya. “Seni seharusnya merupakan medium berpikir kritis, bukan sekadar hiburan atau komoditas kosong yang tumpul terhadap penguasa,” ujarnya.
Pemecatan guru Novi, Ratri melanjutkan, merupakan bentuk pengekangan berekspresi. “Seharusnya tidak ada kontradiksi antara peran Novi sebagai pendidik dan musikus,” ucapnya.
Aksi mengecam pihak kampus yang melarang pementasan monolog teater Payung Hitam berjudul Wawancara Dengan Mulyono di taman kampus ISBI, Bandung, Jawa Barat, 17 Februari 2025. Tempo/Prima mulia
Ketua Koalisi Seni Indonesia Irawan Karseno mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi dijamin oleh Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 Pasal 28E ayat 3. Bunyinya, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Irawan menuturkan, “Pada prinsipnya, kebebasan berekspresi itu penting untuk menjaga peradaban kita dan mengawal kehidupan bernegara agar lebih baik.”
Polemik lagu "Bayar Bayar Bayar" bermula ketika liriknya yang menyoroti pungutan liar di berbagai institusi—termasuk kepolisian—viral di media sosial. Pada Kamis, 20 Februari 2025, polisi menangkap Muhammad Syifa Al Lutfi alias Alectroguy dan Novi Citra Indriyati alias Twister Angel dalam perjalanan pulang dari Banyuwangi, Jawa Timur; ke Purbalingga, Jawa Tengah. Enam polisi dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah tersebut diduga mengintimidasi duo personel Sukatani tersebut sehingga pada Senin, 24 Februari 2025, beredar video penarikan lagu mereka. Di video tersebut, mereka juga meminta maaf kepada Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Bambang Rukminto, pengamat kepolisian, menilai lagu tersebut hanyalah bentuk kebebasan berekspresi dari para seniman. “Apakah kritik dianggap ancaman? Pasti jawabannya tidak. Menganggap kritik sebagai ancaman itu banal atau dangkal,” katanya kepada Tempo.
Menurut Bambang, setiap warga negara, termasuk seniman, berhak menyampaikan pendapat. Kritik merupakan bagian dari pendapat. “Yang tidak boleh itu menyebarkan berita bohong, menghasut, mengajak kekerasan, atau menyampaikan ujaran kebencian menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan. Lirik lagu Sukatani itu normal. Mereka hanya memotret realitas sosial,” ujarnya.
Bambang menilai ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang polisi terhadap Sukatani. Dia merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang mengatur bahwa penyelidikan harus didasarkan pada laporan resmi, baik dari masyarakat (model B) maupun temuan langsung penyidik (model A).
“Dalam kasus klarifikasi ini, ada beberapa kemungkinan: pelapor, penyidik, bahkan atasan penyidik yang menerbitkan surat perintah tidak memahami undang-undang,” kata Bambang. Dia mempertanyakan dasar hukum untuk menindak kritik terhadap pemerintah, sedangkan UUD 1945 jelas-jelas menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi setiap warga negara.
Bambang menilai ketidaktahuan polisi terhadap prinsip dasar ini kerap berujung pada penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. Dengan dalih klarifikasi, dia melanjutkan, kepolisian justru mengintimidasi warga yang menyampaikan kritik atau pendapat berbeda.
Ketua Harian Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi mengatakan dunia seni Indonesia terbentur masalah sensor belakangan ini. “Itu mengancam kebebasan berekspresi para seniman,” ucapnya.
Pembungkaman ekspresi seni terjadi di berbagai bidang, dari musik, seni rupa, hingga teater. Kasus Sukatani, Bambang Prihadi melanjutkan, menunjukkan upaya sistematis mempersekusi karya seni yang kritis terhadap pemerintah. Tekanan semacam ini tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga memicu tindakan swasensor, yaitu institusi seni membatasi ruang bagi ekspresi yang dianggap sensitif.
Sebelumnya, sejumlah karya seni yang mengkritik pemerintah juga mengalami pelarangan dan pembungkaman. Pada Desember 2024, Galeri Nasional Indonesia membatalkan pameran "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan" karya Yos Suprapto hanya sepuluh menit sebelum pembukaan. Pihak galeri beralasan ada "kendala teknis", sementara lima dari 30 lukisan Yos dituduh bermuatan politik dan vulgar. Menolak menurunkan karyanya, Yos membawa pulang semua lukisan itu ke Yogyakarta.
Lukisan karya pelukis Yos Suprapto yang batal dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, 23 Desember 2024. Tempo/Subekti
Pada 15 dan 16 Februari 2025, Teater Payung Hitam dijadwalkan menggelar pentas drama berjudul "Wawancara dengan Mulyono" di Institut Seni Budaya Indonesia, Bandung. Kampus itu merupakan tempat kelahiran kelompok teater tersebut. Namun panggung batal digelar karena ruang pertunjukan digembok. Rektorat menolak pertunjukan itu dengan alasan menjaga netralitas kampus dari politik praktis.
Dari perspektif hukum, kasus Sukatani bisa dilihat dari sisi perdata dan pidana. Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bagus Fauzan, menyoroti dua aspek, yaitu permintaan maaf ke Kapolri serta penarikan lagu "Bayar Bayar Bayar" dari platform digital. Ia menilai permintaan maaf yang terkait dengan hukum publik biasanya berkaitan dengan pencemaran nama atau penghinaan. Namun, merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penghinaan di Pasal 131, 157, dan 310 hanya bisa ditujukan kepada individu. “Tidak bisa ditujukan ke KUHP badan hukum, lembaga, atau instansi,” ujar Bagus kepada Tempo.
Mengutip Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, Bagus mengatakan lagu adalah benda yang diciptakan oleh personel band Sukatani. Sukatani dianggap sebagai pemilik benda tersebut berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagai pemilik, mereka berhak menarik dan melarang peredaran lagunya. Namun pelarangan ini harus didasarkan pada putusan pengadilan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang kini mendampingi personel Sukatani. Direktur LBH Semarang Ahmad Syamsuddin Arief menyatakan duo tersebut perlu pemulihan kondisi akibat tekanan sehingga tidak dapat diwawancarai. ●
M. Rizky Yusrial, Ihsan Reliubun, Anwar Siswadi, Intan Setiawanty, dan Linda Trianita berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo