Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Para warga suku Bajo tetap memelihara kepercayaan tradisional meski telah memeluk Islam.
Sinkretisme budaya menjadikan mereka sasaran persekusi kelompok Islam fanatik.
Reportase Tempo dari permukiman suku Bajo di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Sore hari bersama semilir angin laut, Mbok Daseng menabuh kendang di Desa Mola Selatan, perkampungan suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, Ibu Kota Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Instrumen itu merupakan alat musik wajib dalam ritual paling sakral suku Bajo: duata. Ini merupakan prosesi pamungkas penyembuhan orang yang mendekati ajal. “Saya akan kesurupan dan menari saat kendang ditabuh,” kata Mbok Daseng saat ditemui di rumahnya di Desa Mola Selatan, Selasa, 9 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mbok Daseng, 80 tahun, adalah sandro atau dukun di desa yang dikepung karang mati itu. Dia sandro satu-satunya dan bakal menjadi yang terakhir karena tak punya keturunan. Orang Bajo percaya pada kesaktian Mbok Daseng yang bisa menyembuhkan penyakit orang yang sekarat. Kemampuan Mbok Daseng menurun dari kakek dan ayahnya yang juga dukun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain mengobati orang Bajo di Wakatobi, Mbok Daseng mengarungi lautan hingga Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, sebagai tabib. Selama 40 tahun, lelaki itu berperan sentral memimpin ritual duata di tengah arus modernisasi. Aktivitas Mbok Daseng, yang memeluk Islam, membuat dia dan suku Bajo kerap menerima cap syirik dari kelompok Islam fanatik.
Dukun suku Bajo, Mbok Daseng, menunjukkan perlengkapan ritual di rumahnya di Desa Mola Selatan, Pulau Wangi-wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 9 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Menggunakan bahasa Bajo yang diterjemahkan warga Bajo, Mukmin, Mbok Daseng sore itu menjelaskan detail ritual duata kepada Tempo. Ritual ini berlangsung sesuai dengan permintaan keluarga yang sakit. Dalam setahun, ritual ini bisa satu atau dua kali digelar dengan biaya minimal Rp 40 juta.
Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi keluarga orang yang sakit. Mereka wajib menyediakan sesaji berupa nasi dalam tujuh warna, yakni merah, putih, kuning, hitam, biru langit, dan merah muda. Ada juga parai atau beras yang masih ada kulitnya dan digoreng. Minuman arak dan keris juga kudu ada.
Tujuh warna menjadi simbol untuk mendeteksi penyakit seseorang. Ketika sandro kerasukan roh dari langit, dia akan menari dan berputar mengelilingi bidang segiempat sebagai simbol alam semesta. Lalu dia memerintahkan orang yang diobati untuk menyantap nasi. Bila si sakit memakan nasi berwarna kuning, orang tersebut berarti terkena angin atau santet. “Mereka kebanyakan hilang ingatan atau mengalami gangguan jiwa,” ujar Mbok Daseng.
Ritual ini membutuhkan kerja sama 20 orang. Selain dukun, ada penabuh gendang, penari, dan dayang-dayang atau asisten dukun. Mbok Daseng mengatakan perlu tiga hari penuh untuk menggelar duata. Dalam menjalankan ritual itu, orang Bajo percaya kepada para penguasa laut, yakni Mbo Ma Dilao, yang menentukan kesembuhan berbagai macam penyakit.
Semua penyakit itu, kata Mbok Daseng, berhubungan dengan harmoni manusia dan arwah nenek moyang. Orang Bajo yakin mereka punya kembaran yang menentukan sifat dan karakter manusia. Untuk melihat sifat dan karakter itu, orang tua memotong ari-ari setiap bayi yang lahir serta membuangnya ke laut.
Dari gerakan ari-ari itulah mereka menandai sifat bayi. Bila ari-ari bayi bergerak turun ke air laut saat dibuang, bayi itu dikenali bersifat seperti gurita yang berperangai pendiam dan sehat.
Sebelum mencapai puncak duata, ada tiga ritual penyerta yang semuanya berhubungan dengan dewa laut. Ritual maduai arak dilakukan bila orang yang diobati melakukan kesalahan di laut, misalnya dia sering membuang sampah sembarangan dan memaki dengan kata-kata kotor.
Penjaga laut menegur mereka melalui mimpi buruk dan sulitnya mendapat ikan. Ritual madui arak dimulai dengan melarung arak ke laut. Tujuannya sebagai persembahan dan permohonan maaf kepada dewa laut atas segala kesalahan manusia.
Ritual lainnya adalah maduai tuli, menyimbolkan buaya yang bersifat agresif. Ritual yang tak kalah pentingnya adalah maduai kutta yang menggambarkan gurita yang punya sifat tenang. Mbok Daseng setiap sore selama tiga hari itu juga memandikan orang yang sedang ia obati di laut.
Dalam menjalankan ritual duata, Mbok Daseng merapal mantra-mantra sebelum dia melompat-lompat bak Bruce Lee saat kendang ditabuh. Dia mengkombinasikan mantra-mantra keyakinan lokal Bajo dengan doa-doa dalam agama Islam, termasuk membaca basmalah saat memulai ritual.
Belakangan, ritual duata menghadapi tantangan konservatisme agama. Suatu hari, saat Mbok Daseng memimpin ritual duata di Desa Mola Utara, sekelompok orang mendatangi acara dan berteriak kafir. Sebagian orang panik karena teriakan itu dan acara nyaris ditunda.
Mbok Daseng mengingat saat itu dia hanya merapal mantra di tengah bebunyian kendang yang bertalu-talu. Tiba-tiba, sekelompok orang itu ikut menari di atas titian bambu. Menurut Mbok Daseng, sekelompok orang itu kesurupan dan kerasukan roh jahat.
Kampung suku Bajo Sampela di Desa Sama Bahari, Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Cap syirik terhadap keyakinan lokal suku Bajo juga menimpa orang Bajo di Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa. Bajo di Desa Sama Bahari disebut sebagai Bajo Sampela. Berbeda dengan Bajo Mola yang telah menyatu dengan warga yang tinggal di daratan dan lebih modern, Kampung Bajo Sampela berada di atas laut, seperti hidup di pulau tersendiri. Untuk menuju Kampung Bajo Sampela perlu menempuh perjalanan dalam waktu tempuh dua jam menggunakan perahu kayu.
Kepala Desa Sama Bahari, Ganis, menyebutkan ritual duata kerap mendapatkan cap bidah dholalah atau menyalahi syariat Islam. Para pendakwah yang datang dari daratan memberi cap itu saat berceramah di masjid-masjid kampung Bajo. “Mereka sebut kami menyembah berhala,” katanya.
Cap kafir dan syirik bagi orang Bajo, kata Ganis, semakin menguat dalam empat tahun terakhir. Tapi orang Bajo tetap menjalankan ritual peninggalan nenek moyang yang telah mengakar di seluruh Wakatobi. Tiga bulan lalu, suku Bajo di Desa Mantigola—berjarak sekitar 5 kilometer dari Desa Sama Bahari—menggelar ritual duata.
Menurut Ganis, orang Bajo yang beragama Islam akan terus mempertahankan ritual duata meski mendapat tuduhan syirik. “Ini simbol nenek moyang yang tak boleh dihilangkan,” ujarnya.
Supaya tetap lestari, dia melanjutkan, orang Bajo Sampela kerap menunjukkan ritual itu kepada para tamu. Contohnya melalui pembuatan sejumlah film dokumenter.
Menurut dosen Antropologi Universitas Halu Oleo, Kendari, Benny Baskara, lingkungan mempengaruhi pembentukan keyakinan asli suku Bajo sehingga mereka percaya kepada dewa-dewa laut. Orang Bajo juga memeluk agama Islam.
Disertasi doktoral Benny di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membahas Islam di suku Bajo. Menurut dia, perpaduan Islam dengan keyakinan lokal Bajo itu bisa disebut sebagai sinkretisme, mirip dengan Islam Jawa penelitian antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz.
Ritual Bajo, misalnya, memadukan mantra kepercayaan terhadap penguasa laut dengan kalimat syahadat dalam Islam. Perpaduan itu menunjukkan bahwa mereka bisa beradaptasi setelah Islam masuk Nusantara. Keyakinan lokal orang Bajo, menurut dia, tetap terpelihara karena sebagian besar suku Bajo yang tinggal di lautan menjaganya dari pengaruh dakwah pemurnian Islam.
Beda halnya dengan suku Bajo yang tinggal berdekatan dengan permukiman warga di daratan. Gerakan dakwah yang gencar masuk ke permukiman Bajo di Kelurahan Petoaha, Kendari, misalnya, semakin menggerus keyakinan lokal suku Bajo. “Ekspansi itu lambat laun mengikis identitas orang Bajo,” kata Benny.
SHINTA MAHARANI (WAKATOBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo