Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sumbangan Seorang Kiau-Seng untuk Republik Baru

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ca-Bau-Kan
(Hanya Sebuah Dosa)
Penulis:Remy Sylado
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, 1999, 404 halaman

Bisnisnya uang palsu dan penyelundupan senjata. Ia tak segan menyogok pejabat ataupun menghancurkan pesaing. Sikapnya tinggi hati, tapi gayanya flamboyan. Namanya Tan Peng Liang. Dan ia merasa dirinya patriot. Alasannya, perilaku bisnisnya yang menyimpang bermanfaat untuk menghajar pemerintahan kolonial Belanda dan kelak kemudian Jepang.

Bagi sesama Cina perantauan, nama Tan Peng Liang diucapkan dengan mulut mencong. Selain menyebalkan, Tan hanyalah seorang kiau-seng, bukan hoa-kiau. Artinya, ia bukan perantauan yang masih berdarah murni, sehingga dianggap kurang beradat. Namun, alih-alih menaruh hormat pada perkumpulan Kong Koan alias Raad van Chinezen, majelis khusus Tionghoa, Tan justru berkali-kali dengan sengaja mempermalukan lembaga tersebut.

Intrik dan petualangan Tan Peng Liang ini dihadirkan dengan detail yang cukup mengagumkan oleh Remy Sylado dalam novel terbarunya, Ca-Bau-Kan. Tokoh sentral lainnya adalah Tinung, seorang ca-bau-kan dari Kalijodo yang akhirnya dinikahi Tan. Studi Remy terhadap adat istiadat Tionghoa dan setting Batavia tahun 1920-an boleh dipujikan. Cerita pun mengalir lancar. Sayang, ini hanya bertahan sampai separuh pertama. Setelah itu, stamina penulisan Remy terasa merosot tajam.

Sementara dalam awal cerita penggambaran adegan begitu hidup—misalnya adegan pesta Cio-Ko—di paruh akhir Remy lebih sibuk memamerkan pengetahuannya tentang detail-detail yang tak begitu penting, seperti para pencipta lagu dan aneka batu permata. Sebetulnya, ini tak terlalu menjadi masalah, sepanjang detail lain digarap oleh Remy. Penjelasan untuk satu lokasi atau peristiwa yang ditulis dalam kurung merupakan gangguan lain saat menikmati novel ini. Remy mungkin bermaksud membantu mempermudah pembaca membayangkan adegan. Celakanya, lokasi keterangan ini membuat irama cerita terpatah. Namun, ini bukan kelemahan utama.

Keinginan membantah stereotip bahwa peranakan Tionghoa tidak berperan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia lewat novel ini—setidaknya begitu menurut pengantar dari penerbit—justru tidak cukup terwakili. Yang lebih menonjol justru stereotip pedagang Cina yang nekat dan tak segan main patgulipat. Sayang memang.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus