Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teluk kecil Taiji, Jepang. Malam yang ditunggu tiba. Berbekal rencana matang di tangan, sekelompok aktivis lingkungan itu bergerak mengendap-endap dalam kegelapan. Bulan yang belum lagi purnama sedikit menerangi langkah mereka. Kamera termal di tangan komandan tim (Louis Psihoyos) juga menjadi pemandu. Perangkat militer ini mampu menangkap setiap gerak mencurigakan di luar sana. Semuanya harus serba taktis, karena nyawa taruhannya.
”Posisi aman... polisi sekarang mengikuti mobilku. Good luck!” ujar lelaki setengah baya (Ric O’Barry) yang bertugas mengecoh mobil polisi yang mengikuti mereka sejak keluar dari hotel.
Ini bukan adegan film Ocean’s Eleven (setidaknya demikianlah mereka menyebut mereka sendiri dalam film). Aksi klandestin ini merupakan bagian dari film dokumenter The Cove, yang diganjar Piala Oscar awal Maret lalu. Film berdurasi 90 menit ini juga menjadi dokumenter terbaik dalam Sundance Film Festival tahun lalu. Ceritanya tentang sekelompok aktivis lingkungan yang membongkar skandal pembantaian lumba-lumba di Pantai Taiji, Jepang. Inilah pembantaian yang mereka anggap sebagai simpul rantai industri konsumsi mamalia laut bernilai miliaran dolar.
Dan malam itu, setelah dipastikan semua aman, tim bergerak kembali. Kali ini mereka telah siap di posisi masing-masing. Dua orang langsung menyelam, memasang kamera bawah air dan alat penangkap sonar (hidrofon) di dasar teluk. Yang lainnya memasang kamera khusus berbalut kamuflase batu karang di setiap sudut teluk. Seluruh lensa kompak mengarah ke teluk kecil itu.
Misi selesai? Belum. Mereka kembali ke hotel dengan selamat, menunggu pagi ”berdarah” itu. Dan pagi itu seluruh kamera merekam bagaimana ratusan lumba-lumba meregang nyawa di ujung tombak dan harpun para nelayan Taiji. Tanpa ampun. Biru laut berubah merah pekat. Suara lumba-lumba sekarat yang menyayat terekam lewat alat sonar di dasar teluk.
”Gambar-gambar pembantaian ini menjadi hard evidences atas seluruh investigasi kami selama ini,” ujar Psihoyos, yang tak lain adalah sutradara dalam film debutnya ini. Aksi mereka selama ini selalu dihalang-halangi oleh otoritas Kota Taiji ataupun pemerintah Jepang.
Film ini berfokus mengikuti perjuangan aktivis gaek Richard O’Barry (Ric), yang sebelumnya dikenal sebagai pelatih lumba-lumba pada 1960-an dalam acara TV terkenal, Flippers. Di Amerika, Ric menjadi orang pertama yang memperkenalkan kepada dunia bahwa mamalia laut ini adalah hewan cerdas dan jinak. Dia sendirilah yang dulu menangkap lima ekor lumba-lumba laut, melatihnya sendiri untuk tampil di acara TV itu.
Di situlah ironi dalam film ini. Sukses acara itu menyulut eksploitasi lumba-lumba sebagai ”badut” akuarium raksasa di berbagai negara dan mengubahnya menjadi bisnis menggiurkan. Ric sendiri jatuh cinta pada hewan ini. Setelah kematian Kathy, lumba-lumba kesayangannya, dia menyadari di balik senyum mereka di ”panggung akuarium” sebenarnya hewan-hewan itu tertekan. Ini menjadi titik balik hidup Ric.
”Butuh waktu 10 tahun untuk membangun industri ini dan saya butuh 30 tahun lebih untuk menghancurkannya,” ujar Ric. Sejak 1970-an, dia mendedikasikan hidupnya untuk membebaskan mereka dari kurungan akuarium, dengan cara apa pun. Aksinya membuatnya kerap keluar-masuk penjara setiap tahun.
Film dokumenter ini memang menjadi semacam penebusan dosa Ric. Terlebih setelah dia menemukan hampir semua lumba-lumba di akuarium pertunjukan di seluruh dunia dipasok oleh teluk kecil Taiji.
Para nelayan menggiring lumba-lumba itu ke pantai tempat para pelatih lumba-lumba telah menunggu dan memilih hidung botol (karakter serupa dalam acara Flipper) yang dihargai US$ 150 ribu per ekor. Sisanya digiring ke teluk tersembunyi di Taiji, dibantai, dan dihargai hanya US$ 600-an per ekor untuk dikonsumsi dagingnya di Jepang. Setiap tahun lebih dari 23 ribu ekor lumba-lumba dibantai. ”Inilah yang menjadi salah kaprah dalam bisnis ini. Sebab, sebenarnya daging lumba-lumba mengandung merkuri tinggi, 2.000 kali lebih dari ambang aman. Artinya, beracun. Dan mereka tidak tahu,” ujar Psihoyos, yang juga fotografer kawakan majalah National Geographic.
Lalu bagaimana semua temuan investigasi Psihoyos dan timnya dirangkai menjadi sebuah film yang bertutur. Maklum, bobot permasalahan yang berat bisa menjebak plot film ini menjadi tontonan yang membosankan. Belum lagi bila harus menyertakan data dan hasil wawancara yang hanya akan membuatnya menjadi rangkaian ”talking head”, lengkap dengan narasi yang melelahkan.
Tapi Psihoyos mempunyai pilihan untuk tidak kehilangan penonton. ”Sejak awal saya tidak mau membuat film dokumenter yang standar,” ujarnya dalam acara DocuDay di Los Angeles, sehari sebelum malam penyerahan Oscar.
Saat memulai proses pascaproduksi terhadap lebih dari 600 jam hasil syuting (raw material), tim editornya menemukan (terutama rekaman aksi klandestin mereka dalam rekaman kamera termal): ”Yesus... aksi kalian mirip tim Ocean’s Eleven.” Maksudnya, film Ocean’s Eleven yang disutradarai Steven Soderbergh. Dari sinilah ide cerita itu diawali.
Rekaman itu sendiri niatnya dibuat untuk video di balik layar. Dan Psihoyos berikut timnya sama sekali tak berniat muncul dalam film. Sesuatu yang agak ”diharamkan” dalam film dokumenter, untuk menjaga obyektivitas. Berbeda dengan film-film Michael Moore, yang menampilkan dirinya sendiri untuk menyampaikan ”opini” cerita.
Psihoyos lalu mengajak penulis skenario Mark Monroe yang lebih banyak menulis skenario feature film. ”Tugas saya berikutnya adalah membangun struktur cerita,” ujar Monroe. Dalam film ini, dengan gamblang dia menerapkan formula drama cerita tiga babak yang biasa dipakai dalam feature film. Karakter-karakter protagonis dipilih, yang tak lain adalah Ric O’Barry, Louis Psihoyos, dan timnya sendiri. Sementara itu, nelayan Taiji dan otoritas Jepang sebagai tokoh antagonis. Konflik di antara mereka ditebar di sepanjang film, lengkap dengan aksi kucing-kucingan yang membangkitkan adrenalin.
Demi struktur cerita seperti itu, semua anggota tim harus diwawancarai ulang, termasuk rekonstruksi perekrutan tim ala film Ocean’s Eleven. Tentu saja Psihoyos diposisikan sebagai ”George Clooney”-nya. Di antara mereka ada Mandy-Rae Cruickshank, juara dunia menyelam bebas (free dive), hingga teknisi tentara Angkatan Udara Kanada, Simons Hutchins.
”Resep hibrid” itu terbilang manjur karena menjadikan film dokumenter ini gurih ditonton. Konsep hibrid ini juga terbilang baru dalam dunia dokumenter bertema investigasi. Dan ini bisa menjadi alternatif baru setelah dua dekade silam, ketika sutradara Errol Morris memproduksi The Thin Blue Line. Inilah dokumenter investigasi kriminal yang pertama kali memperkenalkan konsep rekonstruksi adegan (re-enactment) yang kemudian banyak ditiru oleh dokumentarian.
Terlepas dari kontroversi legalitas pengambilan gambar, Piala Oscar memberi arti penting bagi The Cove. Layaknya film dokumenter Inconvenient Truth (Oscar 2007), yang membangkitkan gerakan lingkungan ”pemanasan global” di dunia, Louis Psihoyos berharap filmnya akan memiliki gema yang sama. Dan ini akan menjadi surat cinta yang manis bagi lumba-lumba yang jumlahnya semakin menyusut di dunia.
Endah W.S. (Los Angeles)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo