Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE ARTIST
Sutradara: Michel Hazanavicious
Skenario: Michel Hazanavicious
Pemain: Jean Dujardin, Berenice Bejo, John Goodman, James Cromwell, Penelope Ann Miller
Bayangkanlah jika kita terlempar ke masa silam; ke dunia berwarna hitam-putih ketika film hanya diiringi oleh musik yang menjadi juru bicara. Ketika wajah dan tubuh kita adalah penanda rasa.
Adalah sutradara Michel Hazanavicious yang menunjukkan kekuatan cinta dalam diam, karena suara bising justru sering mengaburkan makna. Melalui sosok George Valentin (diperankan dengan cemerlang oleh Jean Dujardin), seorang aktor film bisu yang tampan dengan senyum yang merebut hati pemirsa, kita dilempar ke dunia film bisu yang riang, melankolis, dan menggugah. Dengan menampilkan kisah aktor Valentin di Hollywood pada 1920-an, sutradara Hazanavicious betul-betul menggarap filmnya dengan format film bisu: hitam-putih dan tanpa dialog.
Dari seorang legenda film bisu yang selalu tampil dengan anjingnya Jack (Uggie) yang setia, kita ikut menyusuri perjalanan karier dan cinta Valentin. Sang legenda yang berjaya di layar lebar itu belakangan terhadang oleh kemajuan teknologi: film yang berbicara (mereka menyebutnya talkies), dengan dialog dan segala tata suara yang menjadi bagian besar dari seni film.
Valentin menolak ikut melangkah ke dunia baru itu. ”Wajah saya sudah berbicara,” katanya ngotot. Tentu saja dialog para aktor, seperti halnya dalam film bisu masa lalu, disajikan dalam bentuk teks.
Semua studio besar memutuskan beralih pada film dengan suara. Valentin mencoba meyakinkan eksekutif studio Al Zimmer (John Goodman). Pertengkaran mereka berakhir pahit. Hubungan putus. Valentin bertahan mencoba membiayai dan menyutradarai sendiri film bisu untuk mempertahankan prinsipnya.
Dia gagal. Penonton memilih film dengan teknologi baru. Bintang Valentin terpuruk. Demikian juga rumah tangganya. Sedangkan pemain baru, Peppy Miller (Berenice Bejo), yang semula adalah seorang figuran yang memuja Valentin, malah melejit di dunia film talkies. Ini semakin ironis, karena Valentinlah yang menemukan bakat dan kecantikan Peppy. Valentin juga yang melukiskan tahi lalat buatan di pipi Peppy karena, ”Penonton harus melihat sesuatu yang khas,” katanya.
Pada saat keruntuhannya itu, Valentin perlahan harus menggadaikan barang-barangnya, mobilnya, dan bahkan harus melepas sopir setianya. Kehidupannya yang sudah mencapai titik terendah itu membuat dia depresi, tapi dia tetap mempertahankan seni film bisu.
Film The Artist adalah sepucuk surat cinta kepada sebuah bentuk kesenian yang telah tiada, tapi menjadi dasar dari segala dasar seni peran dalam film. Ada nada melankolis, ada semacam keinginan bernostalgia. Dan keinginan itu berhasil justru dengan kehebohan teknologi CGI, 3-D, dan berbagai kedahsyatannya yang terkadang membuat kita luput menikmati hal-hal kecil yang justru prinsipiil: kemampuan seni peran para aktor yang justru ikut membangun cerita. Ketika kita menyaksikan film Avatar, kita lebih terkesima karena dunia fantasi itu seolah-olah disajikan tepat di hadapan kita; bagaimana akar pohon yang panjang menjulur itu bisa menyentuh pipi kita, dan kita melupakan kemampuan seni peran Sam Worthington.
Jean Dujardin tak perlu mengucapkan apa pun. Bukan karena wajahnya tampan, melainkan kemampuannya memancarkan emosi melalui mata dan bibirnya itu kita kemudian ikut larut dalam situasi apa pun yang tengah dilaluinya: kegembiraan, ekstase, atau depresi. Jika Jean Dujardin berkali-kali berhasil menggusur sejumlah lawannya dalam penghargaan BAFTA (British Academy of Film and Television Arts) Inggris dan Golden Globe (untuk kategori Aktor Terbaik Film Komedi dan Musikal) 2012, tak mengherankan bila dia berhasil menggusur Brad Pitt, George Clooney, Gary Oldman, dan Demin Bichir dalam penghargaan Academy Awards yang diumumkan awal pekan lalu.
Yang kemudian membedakan film ini dengan film bisu yang memang lahir pada era tersebut adalah karena sutradara Hazanavicious bisa mempermainkan nada dan bunyi sebagai bagian yang penting dari karakter peran utama. Ketika Valentin mendengar suara dentingan dan sosok aktris yang tertawa cekikikan, maka pada saat itulah penonton yang sudah terpukau akan narasi sunyi juga ikut tersentak. Selama sejam penuh kita sudah menanam simpati pada sang aktor bisu, dan saat ada bunyi yang menggrasak masuk, kita ikut-ikutan terganggu. Dan kita pun ikut menulis sebuah surat cinta kepada sang aktor film bisu, bahwa dia adalah aktor terbaik saat ini.
Kepada sutradara Michel Hazanavicious: inilah surat cinta kami pada film yang menggugah ini.
Leila S. Chudori
CHAPLIN PUN MASIH LUCU
Film-film bisu Charlie Chaplin, bagi banyak orang, sampai sekarang tetap menarik ditonton. Komedinya cerdas dan manusiawi. Masih ingat dalam Jakarta International Film Festival 2006 ketika komposer Thoersi Argeswara, dengan keyboard, mengiringi penayangan film Chaplin: Gold Rush (1925). Meski tidak setenar The Great Dictator yang satire, film ini cukup jenaka.
Pada sebuah musim salju, di dalam pondok kayu, Chaplin kedinginan bersama temannya, Big Jim. Tiba-tiba Big Jim terkena halusinasi. Dalam pandangannya, tubuh Chaplin berubah menjadi ayam yang lezat. Ia lalu meraih pisau, ingin menyembelihnya. Pada beberapa adegan, Thoersi menggabungkan lagu anak-anak Indonesia, Topi saya Bundar dan Geylang Sipatu Geylang, untuk mengiringi gerak-gerik tubuh Chaplin.
Setelah era film bisu pudar, di berbagai kesempatan banyak komponis tertantang membuat komposisi untuk menafsirkan film bisu. Bukan tidak mungkin, dengan kemenangan The Artist, perhatian pada film bisu tempo doeloe akan lebih banyak.
Charlie Chaplin hanyalah salah satu bintang komedi film bisu. Masih ada yang lain, yakni Buster Keaton. Film bisu bukan hanya banyolan. Sutradara D.W. Griffith pada 1915, misalnya, membuat epik panjang, Birth of Nation. Film Griffith setahun berikutnya, Intolerance, lebih spektakuler. Tiga tahun selanjutnya, film melodrama Broken Blossoms dan dongeng revolusi Prancis, Orphans of the Storm, menyusul di bioskop.
Di Amerika, selain Griffith, Cecil B. De Mille dikenal dengan The Ten Commandments (1923). Setelah itu, beberapa film mulai muncul, seperti Greed (1924), The Big Parade, dan film sederhana tapi dramatis, The Crowd (1928).
Selain Amerika Serikat, Jerman dan Rusia adalah negara tempat puncak film bisu. Dari Jerman, sutradara F.W. Murnau melejit dengan film melodrama Sunrise (1927). Kita ingat salah satu film Murnau yang diangkat dari naskah dramawan Prancis, Moliere, Tartuffe (1925)—ditayangkan di sini dengan iringan pianis Adelaide Simbolon bersama Cappela Amadeus String Chamber. Tartuffe adalah parodi yang memblejeti kemunafikan para agamawan.
Beberapa tahun sebelumnya, di Gedung Usmar Ismail pada 1999, film bisu terkenal dari Jerman berjudul Metropolis karya Fritz Lang ditayangkan dengan iringan piano tunggal pianis asal Muenchen, Aljoscha Zimmerman. Film ini luar biasa, menceritakan pergolakan kaum buruh yang tak mau digantikan oleh mesin. Komponis Slamet Abdul Syukur, yang menonton waktu itu, punya pendapat menarik: ”Saya malah merasa iringan musiknya mengganggu imajinasi. Bagi saya, bila tetap disajikan bisu, adegan-adegannya sudah sangat musikal.” Pada 2008, di Gedung Kesenian, konduktor Pierre Oser bersama Hanoi Philharmonic Orchestra mengiringi film bisu karya Fritz Lang lainnya, Der Mude Tod.
Film Battle Ship Potemskin karya sutradara ternama Rusia, Sergei Einstein, juga pernah ditayangkan di sini dengan iringan pianis Adelaide Simbolon. Film produksi pada 1925 ini bisa disebut film dahsyat mengenai revolusi. Film ini bercerita tentang kerusuhan di pelabuhan Odessa. Para pelaut memberontak karena ditindas secara kejam oleh pasukan tsar. Adegan film ini sangat detail. Adegan yang sangat terkenal adalah tatkala serdadu tsar mulai menembak, lalu seorang ibu pun kehilangan kendali atas kereta bayinya. Kemudian kereta itu meluncur dari trap-trap tangga. Bahkan Sjumandjaja (almarhum) pun terinspirasi oleh adegan ini. Dalam karyanya, Atheis, ada shoot kereta bayi meluncur di undakan batu.
Tahun 1925-1926 adalah masa yang disebut masa transisi bagi film bisu. Pada era itu, pembuat film mulai menambahkan efek suara, efek musik, dan soundtrack, meski saat itu belum ditambahkan percakapan. Dari situlah suara menjadi penting dan perlahan ”membungkam” si bisu.
They’re Coming to Get Me (1927), yang dibuat Fox, adalah film pertama yang berbicara, meski adegan bicaranya hanya lima menit. Sedangkan film besutan Alan Crosland dari Warner Bros, The Jazz Singer (1927), sukses besar menjadi film musikal yang berbicara cukup panjang. Sejak saat itu, gelombang baru film bersuara mulai menerpa industri film di Amerika, Jerman, dan Rusia.
Untuk pertama kalinya, suara Chaplin bisa didengar dalam film Modern Times (1936). Ini adalah film yang menjadi inspirasi banyak kalangan. Bahkan filsuf Prancis, Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Maurice Merlau Ponty, menamakan jurnal mereka: Le Temps Modernes.
Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo