Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Tafsir-tafsir Diponegoro

Sebuah pameran besar bertema "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa" digelar di Galeri Nasional, Jakarta, sampai Maret nanti. Puluhan seniman kontemporer diundang menafsirkan sosok pangeran yang dalam Perang Jawa dianggap sebagai Ratu Adil itu. Pameran ini juga menghadirkan pusaka-pusaka Diponegoro.

Yang menarik, rata-rata imajinasi para seniman kontemporer tidak bisa lepas dari sosok Diponegoro yang digambar pelukis Raden Saleh dan Basoeki Abdullah: Diponegoro saat ditangkap serta Diponegoro bersorban dan berjubah putih tatkala menunggang kuda. Lukisan Raden Saleh dan Basoeki tersebut juga disajikan di pameran.

Pameran akbar ini dilengkapi sebuah pameran di Erasmus Huis, Jakarta, yang menyajikan surat-surat pejabat Belanda mengenai Diponegoro, sketsa wajah Diponegoro yang dibuat Belanda, dan pernak-pernik lain yang berhubungan dengan Diponegoro. Ikuti laporan Tempo.

23 Februari 2015 | 00.00 WIB

Tafsir-tafsir Diponegoro
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Astari tampak gagah dalam foto itu. Ia mengenakan sorban dan jubah putih serta menunggang kuda. "Saya dipotret di Bromo. Pagi-pagi sebelum hujan," katanya.

Di foto lain, ia berdandan berkebaya hijau zamrud membawa sebuah senapan AK. Sri ingin menghadirkan dirinya sebagai Nyi Ageng Serang. "Sosok Nyi Ageng Serang berpengaruh pada Diponegoro, tapi selama ini ia tidak terlalu dikenal. Apa mungkin karena ia seorang wanita?" ujarnya.

Inilah salah satu tafsir mengenai Pangeran Diponegoro yang disajikan di pameran besar "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa" di Galeri Nasional, Jakarta. Tiga kurator, Peter Carey, Jim Supangkat, dan Werner Kraus, mengundang para perupa menafsirkan Diponegoro. Carey kita ketahui adalah sejarawan Inggris yang seumur hidupnya mengabdikan diri meneliti sejarah Diponegoro. Disertasinya, "The Power of Prophecy Prince Diponegoro and the End of an Old Order in Java 1785-1855", diterjemahkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia sebagai Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, lebih dari 1.000 halaman membahas Diponegoro.

Carey beserta Jim dan Kraus mampu menghadirkan lukisan bertema Diponegoro karya maestro Raden Saleh (Penangkapan Diponegoro), Basoeki Abdullah (Pangeran Diponegoro Memimpin Pertempuran), Sudjojono (Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro), serta Soedjono Abdullah, yang merupakan kakak Basoeki Abdullah (Potret Pangeran Diponegoro). Sebenarnya lukisan Hendra Gunawan, Pangeran Diponegoro Terluka, juga "diincar" untuk ikut disajikan, tapi batal karena tidak memperoleh izin dari sang pemilik, keluarga Ciputra.

Yang menarik, karya Sudjojono dalam pameran ini adalah lukisan yang tahun lalu mencatat rekor penjualan tertinggi di Indonesia sekaligus catatan lelang tertinggi Sotheby's di kawasan Asia Tenggara dan tidak diketahui siapa pembelinya. Harganya mencapai US$ 7,5 juta atau sekitar Rp 85 miliar kala itu. Menurut Kraus, dalam lukisan itu, Sudjojono memilih menampilkan kemenangan Diponegoro dalam pertempuran di Kejiwan pada Agustus 1826. Sudjojono, kata Kraus, pernah mengkritik lukisan Raden Saleh karena Diponegoro digambarkan seakan-akan pasrah, loyo, tidak bertenaga.

Lukisan ini sendiri bisa dihadirkan karena Kraus meminjam melalui perwakilan Sotheby's di Jakarta. Dia mengatakan sampai sekarang tidak tahu siapa pemiliknya. "Saya juga tidak berusaha mencari tahu karena sang pemilik sepertinya tak ingin diketahui," ucapnya. Namun beberapa kolektor yakin yang membeli dan memiliki lukisan itu adalah pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Yayasan Arsari milik Hashim memang menjadi pendukung utama pameran ini.

***

ADA sekitar 20 seniman masa kini selain Sri Astari yang menjadi peserta pameran. Mereka antara lain Aditya Novali, Entang Wiharso, Nasirun, Srihadi Soedarsono, Pupuk Daru Purnomo, Galam Zulkifli, dan Oscar Motuloh. Secara teknis, karya mereka memang kuat. Galam Zulkifli, misalnya, menampilkan sebuah mozaik berukuran 2 x 3 meter yang dari jauh terlihat seperti lukisan karya Raden Saleh. Tapi, bila dilihat dari dekat, lukisan itu ternyata merupakan kolase foto nama jalan, monumen, atau tempat di berbagai kawasan di Indonesia yang menggunakan nama Diponegoro. Lebih dari 9.000 foto digunakan oleh Galam.

Namun yang segera cepat tertangkap adalah imaji-imaji para perupa masa kini itu, termasuk Sri Astari dan Galam, yang tak bisa lepas dari bayang-bayang lukisan Basoeki Abdullah dan Raden Saleh: lukisan Diponegoro bersorban menunggang kuda dan adegan penangkapan Diponegoro. Hampir separuh perupa mengeksplorasi citra itu. Seolah-olah tidak ada fase lain dalam kehidupan Diponegoro yang bisa digarap. Imajinasi para perupa terhadap riwayat Diponegoro cenderung "miskin" dan klise. Meski pameran ini dikuratori oleh Peter Carey, kentara sekali kebanyakan perupa tidak membaca secara saksama buku karya sang kurator.

Padahal banyak hal dari Diponegoro yang tak kita ketahui tersaji dalam buku Carey-yang bila digali pasti bisa memberi stimulus imajinasi yang tak klise. Carey menggabungkan data arsip militer Inggris, arsip militer Belanda, karya peneliti lain tentang Jawa, dan serat Jawa. Ia juga bertumpu pada Babad Diponegoro, catatan harian yang dibuat Diponegoro dalam pengasingan di Manado dan Makassar. Ada berbagai versi babad itu, antara lain versi Yogyakarta dan Surakarta. Carey mempelajari semuanya.

Dalam buku ini, Carey sampai mengetengahkan teks apa saja yang dibaca Diponegoro. Misalnya sebuah teks piwulang berjudul Joyo Lengkaran Wulang, yang ditemukan tergeletak di Selarong, markas besar Diponegoro, pada Oktober 1825. Naskah itu berisi kisah pangeran muda yang melakukan lelono (perjalanan) ke seluruh Jawa dan berjumpa dengan guru-guru rohani. Carey menjelaskan, dari remaja, Diponegoro membaca berbagai kitab hukum dan politik Islam. Ia juga gemar membaca tasawuf dan suluk Jawa. Satu kitab tasawuf yang paling disukainya adalah Kitab Tuhfah, yang berisi uraian tentang "martabat tujuh"-ajaran sufisme tentang tujuh tahapan eksistensi manusia.

Carey mampu menjelaskan dunia batin atau dunia dalam dari Diponegoro. Uraian mengenai sosok Diponegoro, di tangan Carey, bukan hanya deskripsi mengenai perang. Membaca disertasi itu, kita mampu membayangkan bagaimana Diponegoro kemudian menyaksikan Jawa yang makin kehilangan harga diri dan ia terpanggil menjadi Ratu Adil. Visi eskatologis yang menurut dia merupakan visi Jawa dan Islam sekaligus.

Pada umur 20 tahun, Diponegoro melakukan perjalanan ke pesantren-pesantren sekitar Yogya. Dia menanggalkan baju kebangsawanannya-surjan berkerah tinggi, kain, dan penutup kepala dari batik tulis. Ia lalu berpakaian santri biasa: memakai sorban hitam, sarung kasar, serta baju putih tanpa kancing dan tanpa kerah. Setelah dari pesantren ke pesantren, ia kemudian menjalani tirakat dan tapa. Pertama-tama ia melakukan meditasi di Gua Song Kamal, Jejeran, sebelah selatan Yogya.

Di sana Diponegoro mengalami peristiwa penampakan Sunan Kalijaga. Sang sunan dalam bisikannya menyatakan bahwa Diponegoro adalah raja di masa depan. Dari Gua Song Kamal, bertelanjang kaki, ia berjalan kaki ke makam para leluhurnya di Imogiri. Setelah menghabiskan waktu seminggu bersemedi di Imogiri, Diponegoro kemudian menyusuri Pantai Parang Tritis. Di situ ia mendengar suara gaib yang menyatakan Yogya bakal hancur dan tanah Jawa akan terombang-ambing dalam situasi tak menentu. Wisik lain yang amat menentukan bagi Diponegoro adalah wisik di Gua Secang, Mei 1825. Ia melihat penampakan orang berdiri menyapanya membacakan surat dari Kang Sinuwun Kanjeng Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayidin Panatagama. Lalu berkumandanglah takbir. Diponegoro pun ikut melakukannya.

Di akhir hidupnya, Diponegoro kemudian dibuang ke Manado. Beberapa tahun tinggal di sana, ia dialihkan ke Makassar. Sepanjang pengasingannya tersebut, Diponegoro membuat catatan harian berisi renungan yang meretrospeksi ulang kegiatannya sejak awal tirakat sampai perang. Di Makassar, ia membuat diagram pengaturan berdoa. Peter Carey mampu membayangkan, dalam kesepian, Diponegoro masih mempertahankan sikap eskatologisnya. Diponegoro wafat di Makassar, 8 Januari 1855. Sebelum wafat, sebetulnya ia ingin sekali ke Ka'bah. Di pengasingan, ia menabung agar bisa suatu waktu ke Mekah. Tapi hal itu tak pernah terjadi.

***

Tentu, bila riwayat penziarahan dan pengembaraan intelektual Diponegoro itu digali oleh perupa, pasti muncul imaji-imaji yang tak seragam-hanya seputar kuda, penangkapan, dan potret Diponegoro bersorban. Belum lagi jika perupa berani memasuki hal-hal "erotisme" yang berbau "rasisme". Misalnya saat Diponegoro melarang para panglimanya berhubungan dengan perempuan Cina karena akan dianggap membawa malapetaka, sebagaimana dia sendiri berhubungan dengan salah satu pemijatnya yang berdarah Tionghoa, lalu kalah dalam suatu peperangan.

Memang bukannya tak ada yang "baru" bila perupa mengeksplorasi tema penangkapan. Guntur Triadi, perupa Yogyakarta, misalnya, melakukan riset di Belanda, menelusuri wajah-wajah yang dimuat oleh Raden Saleh dalam lukisannya, Penangkapan Pangeran Diponegoro. "Guntur menemukan bahwa ternyata Raden Saleh juga melukis Kolonel Jan-Baptist Cleerens, yang sesungguhnya tidak berada saat peristiwa penangkapan Diponegoro," ujar Peter Carey. Cleerens digambar Raden Saleh sebagai sosok pria berpedang yang tengah menyandar di tiang sebelah kiri Pangeran Diponegoro. Ia berkumis dan berjambang, dengan tulang dahi yang tinggi. Cleerens digambarkan layaknya Brutus yang hendak menikam Caesar dari belakang.

Dalam pameran ini, Guntur menggambar ulang adegan penangkapan itu, tapi ia tidak memasukkan sosok Cleerens. Sebagai gantinya, ia memasang rupa Kolonel W.A. Roest, yang dalam risetnya memang hadir pada peristiwa penangkapan. "Cleerens saya hilangkan," katanya. Guntur juga memasukkan Hermanus Dotulong, pemimpin Pasukan Tulungan yang dikirim dari Manado untuk membantu memadamkan pemberontakan Jawa. "Saya mendapat gambar Hermanus ketika ia diangkat menjadi panglima besar atas jasanya menangkap Diponegoro," ujarnya.

Terlalu cenderungnya para perupa mengangkat sisi heroisme Diponegoro, bukan hal-hal humanis lain, menurut Werner Kraus, memang sudah berurat-akar jauh. "Diponegoro bahkan pernah jadi tokoh panutan baik bagi komunis maupun Islam sekaligus," ucapnya. Kraus mencatat, misalnya, dalam kongres Insulinde di Semarang pada 22 Maret 1913, seorang pria bernama Mr. Rijken memaparkan makalah yang menyebut Diponegoro sebagai pahlawan kemerdekaan. Pada 1921, kongres Partai Komunis Indonesia di Semarang memajang potret Diponegoro berdampingan dengan Kiai Modjo, Karl Marx, Lenin, dan Trotsky.

Toh, tetap jarang ada karya perupa yang bertolak dari riset demikian. Para perupa muda cenderung merespons Diponegoro ke dalam ikon populer. Ada yang menggambar penangkapan Diponegoro dengan goresan tangan ala Herge di komik Tintin. Ada seorang lulusan Universitas Diponegoro yang membanggakan tokoh almamaternya, menampilkan Diponegoro dengan amplifier gitar sembari nyengir memberi salam metal. Merek amplifier ini, Prince, dengan nakal dipelesetkan menjadi Prince Diponego Rock!!!.

Seno Joko Suyono, Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus