Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan tempat dipamerkannya tombak, pelana kuda, dan tongkat Pangeran Diponegoro di Galeri Nasional, Jakarta, secara khusus dibuat temaram. Peter Carey, kurator acara ini, memberi nama ruang itu ruang arwah yang mengawasi. Ia mengambil nama demikian dari sebuah lukisan Tahiti: Manao Tupapau (Arwah yang Mengawasi). Di Haiti katanya ada tradisi, saat senja berpendar, dipercaya terdapat arwah yang melihat kita semua.
Entah dengan memberi nama demikian apakah Carey mempercayai arwah Diponegoro "hadir" di antara jimat-jimat itu. Disediakan sebuah bangku panjang di ruangan tersebut. Pengunjung disarankan duduk agak lama di situ dan meresapkan energi yang terpancar dari pusaka-pusaka Diponegoro tersebut. "Mohon membuka sepatu Anda, tetap hening, dan rasakan daya sehingga Anda dapat menjalin hubungan dengan arwah," tulis Carey di dinding.
Pemerintah Belanda, atas inisiatif Ratu Juliana, mengembalikan pelana kuda dan tombak Kiai Rondhan pada 1978. Tombak kayu itu panjangnya 100 x 10 sentimeter, beranyamkan emas, berlian, dan besi serta bertatahkan meteorit. Sedangkan pangkal tongkat Diponegoro bersimbol cakra. Baru tahun ini keturunan J.C. Baud, Gubernur Jenderal Belanda di Jawa pada 1833-1836, yang menyimpan tongkat itu selama ratusan tahun, mengembalikannya kepada pemerintah Indonesia.
Ketiga barang itu, menurut Carey, dirampas oleh Belanda saat Diponegoro disergap di Gowong pada 11 November 1829. Penyergapan dilakukan oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dipimpin Mayor A.V. Michiels. "Setahu saya, selain itu, keris Kiai Nogosiluman juga dirampas. Sampai sekarang keris itu belum terlacak ada di mana, tapi pasti ada di Belanda," ujarnya.
Dalam penyergapan itu, Diponegoro bisa meloloskan diri dan merayap ke jurang. Selama tiga bulan, dia menyusuri jalan dari Gelagah sampai Kali Cingcingguling hingga 9 Februari 1830. Selama pelarian itu, dia tidur di gua dan gubuk. Dia bahkan sempat terserang malaria, tapi badannya cukup kuat. Hilangnya tombak sangat mempengaruhi Diponegoro. Tombak ini diyakini sang Pangeran bisa memberi peringatan atas bahaya yang akan datang. Diponegoro langsung berpikir, dalam peristiwa nahas tersebut, dia dikhianati anak buahnya.
Saat penyergapan itu, Diponegoro meloncat dari kuda kesayangannya yang tinggi besar, Kiai Gentayu. Belanda mengambil pelana kuda berwarna cokelat dengan pinggiran berwarna hijau tua itu. Pelana ini, kata Carey, cukup empuk. Sedangkan tongkat Diponegoro yang dirampas adalah tongkat yang sering dipakainya berziarah. Terutama saat ia menapaktilasi rute-rute penziarahan Sultan Agung dan menyepi di gua-gua Pantai Selatan sejak 1805. Tongkat ini berasal dari Kerajaan Demak, terbuat dari besi sepanjang 153 sentimeter dengan cakra pelindung berbentuk bulat. Dalam mitologi Jawa, cakra adalah senjata Dewa Wisnu. Carey mengatakan hal ini cukup penting karena dikaitkan dengan kedatangan Ratu Adil atau Erucokro di tanah Jawa.
Setelah dirampas, tongkat itu semula jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo, yang dikenal sebagai sekutu Belanda. Notoprojolah kemudian yang menyerahkan Kiai Cokro kepada J.C. Baud. Tongkat itu diserahkan pada Juli 1834, saat dilakukan inspeksi pertama di Jawa Tengah.
Barang pusaka lain yang juga cukup penting tapi tak ikut dipamerkan adalah jubah sang pangeran. Jubah ini ada di Museum Diponegoro, Magelang. Carey sesungguhnya sangat ingin memamerkan jubah ini di Galeri Nasional. November tahun lalu, di Borobudur Writers Festival yang bertema Ratu Adil, Carey sebenarnya sudah meminta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bisa mengupayakannya. Saat itu Carey berpidato di tengah-tengah warga Desa Gejayan di lereng Gunung Merbabu. Ia melihat Ganjar juga hadir di antara warga desa bersama beberapa tokoh yang ikut serta, seperti rohaniwan Mudji Sutrisno, komponis Sutanto, dan sejumlah sejarawan peneliti gerakan Ratu Adil. Spontan ia secara khusus meminta Ganjar mengusahakan jubah itu bisa dibawa ke Jakarta. Tapi ternyata, saat mengurus ini, prosedurnya sulit.
Tempo melihat, di Museum Diponegoro, jubah itu diletakkan di lemari kaca setinggi 2,5 meter. Jubah itu terbuat dari kain shantung asal Tiongkok. Panjang jubah itu mencapai 160 sentimeter. Konon, jika dipakai, panjangnya bisa mencapai lutut sang pangeran. Carey menyebutkan jubah itu diwariskan langsung oleh Diponegoro kepada mantunya, Ali Basah Notonegoro, yang menikahi dua anak perempuan sang pangeran. Selama 130 tahun jubah itu disimpan keturunan Diponegoro.
Carey menyayangkan penyimpanan jubah itu. "Menurut saya, tidak layak disimpan di lemari, digantungkan begitu. Siapa tahu banyak rayap, bisa bolong-bolong nantinya. Jubah yang umurnya melebihi 100 tahun lebih tidak layak disimpan begitu," ujarnya. Dia juga menjelaskan bahwa jubah itu dipakai Diponegoro sejak awal di Tegalrejo. Dari sumber perwira Belgia diperoleh gambaran bahwa Diponegoro berpakaian lengkap seperti orang Arab, memakai sorban dan jubah serba putih. Carey menyebutkan ada kemungkinan Diponegoro kagum pada Kesultanan Ottoman. "Mungkin beliau meniru dari Ottoman."
Barang lain peninggalan Pangeran Diponegoro yang masih bisa dilihat di Museum Diponegoro di antaranya kursi yang diduduki sang pangeran saat berunding dengan Jenderal De Kock dan kitab Takrib (Arab gundul) tulisan tangan Kiai Nur Iman, yang diterjemahkan Kiai Melangi dari Sleman, Yogyakarta. Kitab itu diyakini sering dibawa Diponegoro semasa hidup. Arwah Diponegoro mungkin bagi Carey akan "kecewa" apabila menyaksikan barang-barang pusaka peninggalannya tak dirawat dengan baik.
Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono, Ratnaning asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo