BAGI anak muda penggemar jazz di Jakarta, Kamis malam pekan lalu ibarat sebuah pesta. Mereka bersorak, berteriak, bertepuk, menggoyang kepala, dan mengentak-entakkan kaki mengikuti irama latin yang kental. Di panggung, Dave Valentin dan keempat rekannya menjadi motor penggerak orkestrasi itu. Akhirnya, konser selama satu setengah jam di Pasaraya Blok M, Jakarta, itu benar-benar teraduk, seolah tak ada lagi batas antara penonton dan pemain. Jazz yang dibawakan Dave memang melarutkan penontonnya. Tanpa sadar mereka bergoyang, mengikuti ketukan-ketukan irama Latin yang sarat dengan improvisasi perkusi yang dimainkan Sammy Figueroa. Rasanya, tak rugi jika Span Entertainment, promotor pertunjukan ini, harus khusus membeli Conga bermerk Latin Percussion seharga sekitar Rp 6 juta buat Sammy. Pemain berdarah Spanyol ini juga punya selera humor tinggi. Dan itu dibawanya kepanggung. Berulang-ulang ia menyisipkan "curian" ketukan yang kena dan memancing senyum. Sammy didukung pula oleh Robert Ameen yang sungguh kuat di balik drumnya. Irama latin jazz, seperti samba dengan tempo cepat pada lagu Black Bird, misalnya, memang benar-benar menguras stamina. Terutama kaki pemain drum yang harus menjejak pedal bass drum dengan akurasi dan kecepatan tinggi. Ameen benar-benar mendemonstrasikan kekuatan, akurasi, dan kecepatannya malam itu. Sang tokoh utama jelas Dave Valentin. Dan ia sangat komunikatif dengan penontonnya. Ketika berimprovisasi pada akhir Afro Blue ciptaan Mongo Santamaria ia mendengar jeritan penonton menirukan lengkingannya. Bukannya terganggu, malah dijadikannya itu sebagai ajang komunikasi. "Ta ... ta ... ta ... pata," Dave memberikan pola. Dan seluruh penonton pun gemuruh menirukannya, "Ta ... ta ... ta ... pata." Ini diulang beberapa kali, diakhiri dengan gemuruh ketawa ketika Dave melemparkan pola rumit yang tak mungkin ditiru. "Penonton sangat apresiatif, very good audience," kata Dave di belakang panggung. Saat paling mempesona dari peniup flute ini muncul ketika ia memperagakan belasan macam seruling yang dipunyainya. Satu persatu alat-alat itu diperkenalkannya kepada penonton sebelum dimainkan. Ada seruling batu, porselen, bahkan dari kura-kura kecil. Dibawanya juga seruling India, Rumania, Indian Amerika, Cili, Bolivia, juga Jepang. "Dari Indonesia akan saya beli besok," katanya kocak menjawab celetukan penonton. Dari bermacam-macam flute itu lantas bergaung beragam suara. Ia pun memunculkan nuansa yang terbawa oleh seruling dari berbagai penjuru itu. Dengan seruling Rumania ia memainkan nada-nada manis yang berkesan seperti musik Gypsy, bangsa pengelana di daratan Eropa, Kadang tertangkap pula gaung kemarahan, atau suasana dingin rimba Amazon. Menyaksikan Dave memainkan flutenya, yang terdengar memang bukan hanya suara lembut mendayu yang bening semata. Ia meniup perkakasnya itu dibarengi dengan teriakan. Kadang dengan desisan atau lengkingan tajam dari dalam kerongkongan. Hasilnya luar biasa. Warna suara yang muncul sungguh kaya. Ada semacam getaran yang muncul dari dalam. "Sejak berumur lima tahun saya merasa ada spirit di dalam sini," katanya sambil menunjuk dadanya. Dengan bermain flute, Dave, yang sekarang berusia 38 tahun, mencoba menampilkan spiritnya itu. Jadilah ia bermain dengan cirinya sendiri. Bisa dibilang, tak ada pemain lain yang bermain dengan teriakan dan lengkingan seperti Dave. Dan bagaimana teknik itu tercipta, Dave tak bersedia bicara banyak. "Teknik ini dari sana. Dialah pemain flute terbaik yang pernah saya kenal," katanya serius. Ia menudingkan telunjuknya ke atas: Tuhan maksudnya. Seorang pemain alat musik tiup haruslah mempunyai pernapasan yang prima. Ini juga ada pada Dave meskipun ia doyan merokok. "Ah, cuma seperempat bungkus sehari," katanya sambil mematikan Marlboronya. Kehebatan mengatur napas itu dipamerkannya ketika bermain bersama Bill Saragih di pub The Tavern dua malam sebelum konser. Saat berimprovisasi pada nomor Equinox ciptaan John Coltrane itu. Dave melengkingkan serulingnya hampir sepanjang delapan bar lagu bertema blues itu. Di konser, tentu saja, kehebatan itu diulangi ketika memainkan Misty ciptaan Bill O'Connell, pemain pianonya. Cuma, jika disimak benar-benar, konser Dave yang digelar di Pasaraya itu tak sehebat konser sebelumnya, misalnya, di Blue Note, New York, tepat dua tahun yang lalu. Di Blue Note dengan kelompok yang sama -- kecuali Giovanni Hidalgo yang saat itu mengisi posisi Sammy -- mereka bermain lebih rapi. Beberapa nomor dari konser ini, seperti Dansette, Afro Blue, dan Footprints, kembali dimainkan oleh Dave dan teman-temannya di Pasaraya. Dan memang tak serancak konser di Blue Note yang rekamannya diedarkan dalam album dengan judul Live at the Blue Note. Dalam konser di Pasaraya itu konsentrasi Dave tampak sering terganggu. Salah satu yang tampak jelas adalah saat mereka memainkan Oasis yang sangat populer di kalangan anak muda Indonesia. Di situ, improvisasi Dave tampak tanggung dan tidak tuntas. Ketika ditanya apa yang mengusiknya, Dave cuma tersenyurn dan mengelak, "Itu urusan keluarga. Kami tak membicarakannya dengan orang luar." Tetapi jazz memang untuk dinikmati. Bukan seperti musik klasik yang harus sesuai benar dengan partiturnya. Maka, kesalahan-kesalahan kecil, seperti yang dibuat oleh Robert Ameen pada nomor Misty, malah bisa menjadi improvisasi yang memperkaya penampilan. Penonton pun tak menghiraukan soal-soal seperti itu. Mereka tetap bergoyang dan bersorak, menikmati musik dan nuansanya. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini