Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengapa Aung San Suu Kyi Menang

Partai liga nasional demokrasi (lnd) dipimpin politikus wanita aung san suu kyi memenangkan pemilu di myanmar. dalam sejarah banyak tokoh wanita jadi pemimpin negara yang bisa mendamaikan pertikaian.

9 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARA tidak diperkirakan rezim militer di Burma yang kini bernama Myanmar -- yang berkuasa sejak mengambil alih kekuasaan delapan belas tahun yang lalu -- dikalahkan dalam pemilihan umum yang bebas oleh partai-partai politik yang baru terbentuk. Partai Liga Nasional Demokrasi (LND) memenangkan pemilihan umum secara hampir mutlak. Bukan cuma di Rangoon (ibu kota Myanmar yang kini bernama Yangon), juga di sejumlah daerah, termasuk di daerah-daerah permukiman militer. Yang menarik dari kenyataan itu, pemimpin LND adalah Aung San Suu Kyi, seorang wanita berusia 45 tahun. Ia anak kedua Jenderal Aung San, pahlawan nasional Burma. Kemenangan LND (yang adalah kemenangan Aung San Suu Kyi) ini mengingatkan kita pada teori sejarawan yang sedikit chauvinistis. Yakni, bila di suatu negeri muncul banyak fraksi politik yang satu sama lain bertentangan dengan kuat, maka seorang wanita -- yang dianggap lemah dan mudah dimanipulasi atau dipengaruhi -- mudah terpilih sebagai pemimpin. Negara pertama di Asia yang memunculkan wanita sebagai pimpinan politik adalah India. Indira Gandhi sebagai pengganti ayahnya J. Nehru memberikan teladan pertama bagi dunia. Bisa dikatakan, munculnya Nyonya Margaret Thatcher sebagai perdana menteri Inggris hanya mencontoh India, negeri bekas koloninya. Di Filipina muncul Cory Corazon Aquino, disusul oleh Benazir Bhutto di Pakistan. Doi, pemimpin Partai Sosialis Jepang, mungkin tidak terlalu banyak ketinggalan dari mereka yang telah disebutkan, kecuali bahwa dalam kepemimpinannya sekarang partainya belum sempat berkuasa. Benar, kini pun anggapan bahwa dunia elite politik, ekonomi, keuangan, dan lain-lain adalah dunia kaum pria masih kuat. Sosok prialah yang cocok berkecimpung dalam dunia (politik, ekonomi, dan keuangan) yang memerlukan persaingan yang kadang keras itu. Tapi ketika kekerasan yang mewarnai persaingan menjadi demikian besar, diperlukan wanita. Untuk sementara paling tidak, figur yang dianggap lemah dan mudah dimanipulasi serta dipengaruhi itu dianggap dapat menyatukan fraksi-fraksi yang bersaing. Banyak contoh dalam sejarah mengenai hal tersebut. Dalam abad ke-18 di Rusia yang otokratis muncul beberapa tsarina (kaisar perempuan). Setelah Peter Agung (1725), seorang pembaru Rusia yang dapat dibandingkan dengan Gorbachev kini, wafat, ia digantikan oleh permaisurinya Catherina I (1725-1727). Setelah itu yang bertahta adalah Anna (1730-1740), lalu Elizabeth (1741-62), kemudian Tsarina Sophia yang berkuasa dalam waktu singkat, dan akhirnya Catherina II yang Agung (1762-1796). Kesultanan Aceh di Indonesia juga memiliki beberapa ratu atau sultana. Setelah wafatnya Iskandar Muda (1636), yang terkenal keotoriterannya, selama lima tahun Kesultanan Aceh dilanda kekacauan. Menantu Iskandar Muda, Sultan Thani, rupanya tak berdaya memadamkan kekacauan itu sampai ia pun wafat. Setelah itu yang naik tahta secara resmi adalah janda Sultan Thani atau putri kandung Iskandar Muda. Ia diangkat sebagai sultana pada tahun 1641. Sesudah ia turun tahta, Kesultanan Aceh masih dua kali lagi di bawah seorang sultana, sampai tahun 1678. Juga, kekuasaan Kaisar-ibusuri T'zu-Hsi dari Cina, yang wafat menjelang revolusi (1910) Cina, memegang kendali kekuasaan karena dalil-dalil tersebut. Namun, apakah benar bahwa semua pemimpin perempuan lemah dan mudah dimanipulasi seperti harapan dunia lelaki, dan karena itu dipilih agar fraksi-fraksi yang bersaing bisa didamaikan? Sultana Thani dari Aceh ternyata begitu berkuasa seperti ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Sultana Thani begitu menguasai kaum bangsawan Aceh selama pemerintahannya. Tapi benar, sultana Aceh yang lain tidak demikian. Juga Catherina II yang Agung dari Rusia membuktikan bahwa seorang kaisar perempuan bisa seotokratis lelaki. Dalam zaman modern, Indira Gandhi, dan saya kira juga Cory Aquino di Filipina, telah membuktikan bahwa mereka menguasai seluruh keadaan politik dan mendominasinya. Biarpun tantangan yang mereka hadapi demikian besar. Juga Benazir Bhutto, dan mungkin kelak Aung San Suuy Kyi. Sebenarnya, para pengamat sejarah yang chauvinistis pada laki-laki sudah harus insaf. Tidak selalu benar bahwa wanita selalu lemah. Bahkan sebagai seorang istri penguasa yang sangat berpengaruh, seorang wanita bisa memainkan peran besar di panggung politik. Contohnya adalah Imelda Marcos, istri Mao Zedong, istri Chiang Kai-shek, dan lain-lain. Dalam kasus tersebut terakhir wanita berperan dalam politik dengan cara memperalat suaminya. Ini berlainan dengan kasus pertama -- wanita sebagai pribadi muncul sebagai pemimpin. Maka, bisa disimpulkan, munculnya seorang pemimpin wanita, seorang yang dianggap lemah, sudah menunjukkan bahwa fraksi politik di sekitarnya ingin menyelesaikan pertentangan dan persaingan-persaingan politik yang seru dengan jalan konstitusional. Artinya, tanpa kekerasan. Tentu saja niat baik ini tidak selalu dipegang teguh. Di Filipina muncul Kolonel Honasan dari Filipina dan percobaan kudetanya terhadap pemerintahan Nyonya Cory Aquino yang semula didukungnya. Atau adanya kudeta terhadap Nyonya Peron di Argentina dahulu. Tampaknya, setelah fraksi-fraksi bisa didamaikan, segera timbul fenomena lain. Yakni konstitusionalisme dalam persaingan politik mengakibatkan lemahnya pemimpin yang harus berkompromi dengan semua fraksi. Pada gilirannya kelemahan itu menimbulkan kekacauan. Maka, muncullah kekuatan militer yang ingin mengakhiri kekacauan itu. Dan bila nanti di bawah rezim militer fraksi-fraksi menjadi kuat dan bertentangan satu sama lain, untuk mendamaikannya diperlukan seorang pemimpin wanita. Demikian seterusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus