Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Bagaimana Polisi Membongkar Jaringan Narkoba Fredy Pratama

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Wahyu Widada soal Operasi Escobar memburu gembong narkoba Fredy Pratama.

24 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH lebih dari sepuluh tahun, polisi baru bisa mengungkap jaringan perdagangan narkotik dan obat-obatan terlarang Fredy Pratama. Sejak 2022, polisi menangkap 923 orang yang diduga terhubung dengan bandar narkoba yang lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berusia 38 tahun itu. Barang sitaan jaringan Fredy Pratama sebanyak 10,2 ton sabu-sabu dan 116 ribu butir ekstasi—jauh lebih banyak dibanding narkoba "raja ekstasi" Freddy Budiman yang dieksekusi mati pada 2016.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fredy Pratama punya banyak nama alias: Miming, The Secret, Cassanova, Airbag, dan Mojopahit. Dari pelariannya pada 2014, polisi menduga Fredy berada di Thailand. Polisi sudah mengeluarkan red notice kepada The International Criminal Police Organization (Interpol) untuk mencari dan menangkapnya. “Di sana dia merasa lebih aman," kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Wahyu Widada kepada Abdul Manan dan Fajar Pebriyanto dari Tempo di kantornya pada Jumat, 22 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam wawancara tersebut, Wahyu didampingi Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Komisaris Besar Jayadi. Wahyu menjelaskan awal mula tim yang tergabung dalam Operasi Escobar itu mengendus jaringan narkoba Fredy Pratama, dari soal kemiripan aplikasi komunikasi yang dipakai hingga pengemasan barang memakai bungkus teh Cina.

Dari operasi itu, polisi juga mencokok eks Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Lampung Selatan Ajun Komisaris Andri Gustami. Dalam jaringan Fredy, ia bertugas mengawal pengiriman sabu-sabu dan ekstasi dari Sumatera ke Jawa melalui Pelabuhan Bakauheni, Lampung.

Mengapa jaringan Fredy Pratama baru terendus sekarang?

Sebenarnya ini dari pengungkapan di beberapa kepolisian daerah, seperti Lampung, Kalimantan Selatan, Banten. Juga oleh Bareskrim. Kemudian dari situ kami analisis. Ternyata ada kemiripan. Sama-sama menggunakan BBM. Biasanya jaringan narkoba menggunakan platform yang sudah umum seperti WhatsApp, Signal. Barang-barang yang disita itu juga semuanya menggunakan kemasan teh Cina.

Apa istimewanya kemasan teh Cina?

Narkoba dari Golden Triangle rata-rata menggunakan teh Cina sebagai kemasannya untuk mengelabui. Dari analisis itu temuan-temuan mengarah kepada Fredy Pratama. Setelah itu kami bongkar lagi laporan polisi lama. Ketemulah 408 laporan dari 2020 sampai 2023.

Mengapa hanya sampai 2020?

Kalau fokus kami pada satu orang ini, kami enggak bisa mengembangkan ke yang lain. Masih ada jaringan selain Fredy Pratama.

Apa yang khas dari jaringan Fredy?

Biasanya pengungkapan kasus narkoba terputus di pengedar. Di jaringan Fredy ini kami lihat ada satu mekanisme yang sangat terorganisasi. Fredy Pratama mastermind. Pengendali operasinya ada sendiri, si Kif itu. Kemudian ada yang khusus membuat identitas palsu, rekening palsu, membawa uang cash, mengambil uang tunai dari ATM, mengkoordinasi aset-aset. Jadi memang terorganisasi.

Apa yang membedakan jaringan Fredy Pratama dengan jaringan Freddy Budiman?

Freddy Budiman lebih banyak sebagai pengendali utama, tidak sampai punya orang untuk bikin kartu tanda penduduk palsu sendiri dan lain-lain. Dia satu jaringan, tapi tidak seterorganisasi ini.

Dalam skala jaringan, Fredy Pratama lebih besar?

Kami lihat seperti itu. Dia berada di Thailand. Artinya dia punya aset di sana. Mengendalikannya dari jauh. Karena itu, dalam operasi ini, kami tidak berdiri sendiri. Kami punya kerja sama dengan beberapa negara itu sehingga ada bantuan dari Malaysia dan Thailand.

Mengapa Fredy memilih Thailand?

Dia menikah dengan orang Thailand. Keluarganya di sana.

Tidak ada alasan lain?

Di sana dia merasa lebih safe. Kalau di Indonesia pasti kami kejar-kejar. Bukan polisi Indonesia lebih baik, lebih hebat, tapi kalau di tempat lain dia mengendalikan untuk kerja di Indonesia.

Dia relatif aman karena kejahatannya dilakukan di negara lain?

Saya enggak tahu di Thailand kejahatannya seperti apa. Kalau dia tinggal di Thailand, kemudian barang yang ia edarkan bukan dari Thailand, berarti dia tidak melakukan kejahatan apa pun di Thailand. Apalagi dia punya keluarga besar di Thailand juga.

Bagaimana Fredy bisa membangun jaringan?

Kami tidak bisa memastikan dia dari mana sampai menjadi seperti saat ini. Tapi memang kadang-kadang orang bisa menjadi besar karena ada yang membesarkan atau juga faktor luck (keberuntungan). Tiba-tiba ketemu sesuatu yang besar.

Kabareskrim Polri, Komjen Pol Wahyu Widada saat memberikan keterangan pers terkait kasus sindikat perdagangan gelap narkoba dan TPPU jaringan Fredy Pratama di Mabes Polri, Jakarta, 12 September 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Fredy ini beruntung atau dibesarkan?

Semua mungkin. Dari awal dia sudah terlibat peredaran narkoba. Mungkin dia mencari yang lebih besar lagi. Dia keluar untuk mencari kemudahan-kemudahan.

Sabu dan ekstasi milik Fredy sudah pasti dari Myanmar? Bagaimana dia memesan barangnya?

Kami belum sampai ke situ.

Barangnya dari Myanmar, ya?

Dari Golden Triangle itu. Myanmar.

Apa yang membuat Anda yakin narkoba itu dari Myanmar? Ada ciri khusus?

Kalau menggunakan bungkus kemasan teh Cina, rata-rata dari sana. Kalau Timur Tengah biasanya pakai boks Tupperware. Waktu kami ungkap narkoba di Aceh itu dari Afganistan. Memakai Tupperware. Di dalamnya enggak ada tulisan apa pun.

Di mana pintu masuknya ke Indonesia?

Sebagian besar lewat Sumatera, dari pesisir timur. Wilayah itu memang panjang. Berhadapan langsung dengan Malaysia, tidak terlalu jauh dari Malaysia.

Kalau pintu masuk di luar Sumatera?

Kalimantan. Ada satu yang kami tangkap di Kinabalu, Sarawak. Lewat jalur darat.

Nama Operasi Escobar itu mengacu pada gembong narkotik Kolombia, Pablo Escobar?

Teman-teman melihat ini sesuatu yang besar, terorganisasi. Mafia narkoba yang terorganisasi dan sering muncul di film, ya, Escobar. Pertama, paling tidak untuk memotivasi anggota agar kami bisa mengungkap jaringan yang besar. Juga bisa membuat kebanggaan buat anggota. Kedua, operasi sindikat Fredy Pratama sudah terorganisasi. Antarnegara.

Anggota tim bukan hanya dari Markas Besar Polri?

Kepolisian daerah kami libatkan. Juga bantuan negara-negara lain. Ini operasi gabungan yang cukup besar.

Mabes Polri pernah melakukan operasi sebesar ini?

Kalau operasi berbagai kepolisian daerah sekaligus sepertinya belum pernah. Tapi dengan beberapa kepolisian daerah pernah. Misalnya, waktu saya Kepala Polda Aceh, kami bekerja sama dengan Direktorat IV. Akhirnya waktu itu diekspos oleh Kepala Polri dan Menteri Keuangan. Tindak pidana narkoba ini extraordinary. Dampaknya membahayakan. Bagi saya, keberhasilan yang kita dapatkan ini, di satu sisi menggembirakan, tapi di sisi lain prihatin. Kalau banyak sekali narkoba masuk ke negara kita, yang terancam adalah generasi muda. Banyak orang berusia produktif jadi pengguna. Ini yang harus menjadi concern. Indonesia pada 2030 punya bonus demografi. Kalau bonus demografinya anak-anak yang menjadi bagian atau korban narkoba, menjadi pemakai, manfaatnya tidak ada. Sedangkan kita ingin 100 tahun Indonesia Emas itu betul-betul Indonesia sudah maju.

Seperti apa bentuk kerja sama dengan negara lain?

Kami memberikan informasi kepada pemerintah Thailand bahwa kami punya buron. Ada red notice. Kalau red notice sudah keluar dari NCB (National Central Bureau), tiap negara anggota punya kewajiban melakukan penangkapan. Kami berikan data orangnya, posisinya, kemudian kepolisian sana akan melakukan penangkapan.

Andri Gustami ditangkap karena terlibat jaringan Fredy meskipun imbalannya kecil. Apa perannya?

Dia bertugas sebagai Kepala Satuan Reserse Narkoba di Lampung Selatan. Pelabuhan Bakauheni itu pintu masuk narkoba ke Jawa. Kalau dia tidak tahu dan barang itu lolos, enggak ada masalah juga. Tapi dia tahu, lalu sengaja meloloskan, dengan imbalan. Dia polisi. Sudah tahu tugasnya memberantas narkoba, kok malah ikut-ikutan? Ini sangat kontradiktif dengan tugas yang diamanatkan oleh negara. Bukan soal kecilnya imbalan. Ini tanggung jawab. Kalau dia meloloskan, apa dia enggak sadar berapa banyak orang yang jadi korban? Kalau aparat penegak hukum sudah melibatkan diri dalam dunia ini, apalagi sudah tergalang oleh mafia, kita enggak akan bisa memberantas narkoba.

Bagaimana dia bisa menjadi kaki tangan Fredy?

Pasti iming-iming duit. Kalau saya mau melakukan kejahatan, pasti saya cari siapa yang bisa menghalangi kejahatan saya. Pertama pasti polisi. Kira-kira polisi mana? Saya enggak tahu sistem pendekatan yang digunakan jaringan ini. Memakai pendekatan uang yang cukup besar juga. Rp 8 juta per kilogram. Tapi poin bukan di situ. Dia aparat penegak hukum yang harus melakukan pemberantasan, tapi malah menjadi pengkhianat. Berkhianat terhadap tugasnya.

Apakah ini menunjukkan kerentanan polisi di direktorat narkoba?

Bukan hanya polisi. Sewaktu kami menangkap pengedar narkotik di Aceh, nelayan mendapat Rp 20 juta per kilogram sekali mengangkut narkoba. Berapa lama dia mengumpulkan uang Rp 200 juta kalau menjaring ikan? Bagi orang yang tidak kuat iman, tidak kuat mental, jadi rentan. Makanya kami harus isi dengan integritas. Tanggung jawab. Kalau orang tidak punya integritas, tidak punya tanggung jawab, mudah digoyang. Dinas di divisi narkoba itu ngeri-ngeri sedap. Godaannya luar biasa.

Mantan Kapolda Sumatera Barat, Teddy Minahasa, juga ditangkap karena kasus narkotik. Sebenarnya apa masalah utamanya?

Ini fenomena gunung es. Permasalahan di dalamnya banyak juga. Kapolri dan kami sudah berkomitmen, kalau ada anggota yang terlibat dalam jaringan seperti ini, pidanakan, pecat. Itu sudah tegas disampaikan Kapolri. Itu bukan wacana lagi, sudah kami lakukan.

Dalam kasus Teddy Minahasa sudah dilakukan?

Bukan hanya dalam kasus Teddy. Kepada Andri Bustami pun akan kami lakukan hal yang sama. Itu salah satu yang akan membuat efek jera. Apakah karena kesejahteraan polisi? Polisi lain juga banyak yang tidak lebih sejahtera dari dia, tapi tidak melakukan. Polisi penjaga SPKT (sentra pelayanan kepolisian terpadu), yang hanya makan gaji, enggak melakukan juga. Ini masalah integritas. Apa sih yang dicari dari hidup ini? Kalau orang sudah mencari untuk mendapat yang lebih-lebih dengan menghalalkan segala cara, ya, bisa saja.

Arahan-arahan agar anggota tidak melibatkan (diri dalam kejahatan) itu sudah banyak. Tapi masalahnya bukan soal polisi atau bukan polisi. Pribadi-pribadinya. Banyak juga, kok, polisi yang bagus, yang tidak tergiur. Polisi yang dipecat karena narkoba dibanding yang enggak dipecat jauh lebih banyak yang enggak dipecat, kan? Tapi karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Salah satu upaya yang kami lakukan adalah kontrol, pengawasan berkala. Teman-teman di narkoba pun secara berkala kami tes urine.


Wahyu Widada

Tempat dan tanggal lahir: 

  • Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 11 September 1969

Pendidikan:

  • Akademi Kepolisian, 1991
  • Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, 1998
  • Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian RI, 2006
  • Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri, 2014

Karier:

  • Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, 2023-sekarang
  • Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri, 2023
  • Asisten Sumber Daya Manusia Kepala Polri, 2021
  • Kepala Kepolisian Daerah Aceh, 2020
  • Kepala Polda Gorontalo, 2019
  • Wakil Kapolda Riau, 2018
  • Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten, 2013
  • Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Tangerang Kota, 2011
  • Sekretaris Pribadi Kapolri, 2009
  • Kepala Polres Pekalongan, 2008

Penghargaan:

  • Adhi Makayasa, 1991


Ada desakan dekriminalisasi pengguna narkoba. Anda setuju?

Kalau pengguna, sebagai korban, lebih baik direhabilitasi. Undang-undangnya menyatakan mereka masuk tempat rehabilitasi.

Faktanya, masih lebih banyak yang dipenjarakan?

Kami dihadapkan pada sumber daya. Kalau mau rehabilitasi, di mana? Fasilitasnya di mana? Kalau menggunakan tempat rehabilitasi swasta, siapa yang sanggup membayar? Berapa orang yang sanggup membayar? Pengguna narkoba tidak semuanya punya duit.

Dalam jaringan Fredy ada juga yang mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara. Bagaimana mengatasinya?

Memang ada yang seperti itu. Mereka masih bisa berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk waktu kasus yang di Aceh, itu juga dikendalikan dari penjara. Makanya harus ada kolaborasi.

Selain penindakan, apa strategi menangani narkoba?

Dalam penyalahgunaan narkoba ada dua hal, supply and demand. Kalau Bareskrim, sifatnya penegakan hukum, pasti penindakan. Tapi ada fungsi-fungsi lain di kepolisian, yaitu preemptive dan preventive. Contohnya bhabinkamtibmas (bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat). Banyak polisi yang memasang spanduk bahaya narkoba, larangan penggunaan narkoba. Binmas (satuan pembinaan masyarakat) sosialisasi, penyuluhan bahaya narkoba ke sekolah, komunitas-komunitas. Kami bekerja dari hulu, juga di hilir. Mencegah bertemunya supply dengan demand. Kalau demand narkoba enggak ada, enggak ada juga barang itu.

Apa tantangan paling besar dalam pemberantasan narkoba saat ini dibanding 10-20 tahun lalu?

Wilayah kita ini luas sekali. Pintu-pintu masuknya luas. Dari Sabang sampai Merauke. Maka perlu kolaborasi. Juga bagaimana mereka menyembunyikan transaksi-transaksinya ini. Sekarang menggunakan transaksi bank, identitas palsu. Mungkin suatu hari bisa juga menggunakan koin kripto. Mungkin akan membuat kami kesulitan. Karena itu, kami terus mengikuti perkembangan teknologi.

Thailand dan sejumlah negara mengurangi angka kasus narkoba dengan legalisasi ganja dan semacamnya. Apakah itu mungkin diikuti?

Kalau sekarang dikriminalisasi, nanti jadi tidak kriminal, ya, kurang kasusnya. Tapi tujuannya apa?

Apa yang dikhawatirkan? Dampak pemakaiannya?

Merusak enggak? Bisa dikontrol? Bagaimana mengontrolnya? Kalau dilegalkan, sebenarnya melegalkan penggunaannya. Tujuan utamanya apa? Kita mau menyelamatkan generasi muda atau enggak? Menyelamatkan orang-orang yang dalam posisi usia produktif atau enggak? Kalau kita legalkan, lalu mereka memakai narkoba terus, ada jaminankah orang-orang ini punya produktivitas kerja yang baik? Menyelesaikan masalah itu harus komprehensif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Masih Ada Jaringan Selain Fredy Pratama"

Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus