Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Kelompok Teater Payung Hitam dari Bandung mementaskan ulang lakon Godot Menunggu. Di masa pandemi Covid-19 ini mereka harus menyiasati berbagai aspek pertunjukan teater. Panggungnya memakai kamar di rumah sutradara Rachman Sabur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pementasan, Vladimir dan Estragon bertemu di sebuah ruangan yang sekelilingnya gelap. Mereka suka membuka tutup sebuah pintu dan jendela yang ada, mencari seseorang yang bernama Godot. Kabarnya ia akan menemui dua lelaki yang berjubah panjang dan bertopi bowler itu di sebuah tempat yang ada pohonnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat menunggu itu muncul Pozzo dan Lucky budaknya yang ingin dijual ke pasar. Hingga lakon berakhir, penantian mereka masih berlanjut. Sutradara Rachman Sabur memasang empat aktor yaitu M. Wail Irsyad, Heryana G. Benu, Christie Vaam Laloan, dan Hany Bia Mexses. Mereka mengolah tubuhnya sebagai bahasa untuk menceritakan naskah ke penonton tanpa kata-kata.
Naskah dari karya Samuel Beckett yang aslinya berjudul Menunggu Godot (Waiting for Godot) itu muncul di media sosial YouTube sejak pementasan langsung Senin malam, 9 November 2020. Menurut Rachman, pertunjukan itu sebagai pengganti rencana pentas keliling kota seperti ke Solo dan Jember yang urung gara-gara pandemi Covid-19. Rencananya pada akhir bulan ini mereka akan membuat pertunjukan serupa lagi secara daring.
Pementasan drama Godot Menunggu oleh Teater Payung Hitam di masa pandemi ditayangkan di media sosial pada November 2020. (Dok.YouTube
Setahun lalu, tepatnya pada 29-30 November 2019, Kelompok Teater Payung Hitam pernah mementaskan lakon Godot Menunggu di Gedung Kesenian Dewi Asri Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Menurut Rachman Sabur, tidak ada yang salah dalam penulisan judul lakon Godot Menunggu. “Itu interpretasi saya dari lakon karya Samuel Beckett,” katanya.
Kelompok teater yang kini berumur 38 tahun itu sebelumnya pernah mementaskan lakon Menunggu Godot pada 1991 di Bandung. Bagi Rachman, Godot bisa dimaknai sebagai Tuhan atau waktu. “Bukan kita yang menunggu tapi ditunggu Godot,” ujarnya saat dihubungi Kamis, 12 November 2020.
Pementasan di masa pandemi membuat tim mengubah konsep tampil di panggung seperti biasanya dengan bingkai kamera. “Seperti bikin film tapi bukan film,” kata Rachman. Banyak adegan juga harus dipangkas hingga durasi lakonnya kurang dari 40 menit. Pertimbangannya menyesuaikan kebiasaan penonton yang menyaksikan tayangan di media sosial.
Pementasan di kamar rumah itu terkesan kontekstual dengan situasi pandemi ketika aktivitas orang di luar rumah dibatasi. Pemilihan lokasi itu juga karena mereka sulit berpentas di panggung biasa. Namun menurut Rachman, naskahnya tidak dikaitkan dengan kondisi wabah melainkan seperti cerita aslinya.
ANWAR SISWADI