INILAH festival musik yang sepi di pendopo Wiyoto Projo di kompleks Kepatihan, Yogyakarta. Tak ada kemeriahan, meski Kamis malam pekan lalu itu, malam pertama Festival Siteran, hadir 10 grup peserta. Grup Catur Tunggal tampil. Seorang duduk di hadapan kotak empat persegi yang bagian bawahnya agak menggelembung, dilengkapi beberapa senar kawat. Itulah alat yang harus dimainkan: siter. Dua rekannya, satu memegang kendang, yang lain menjaga gong. Ketika senar mulai dipetik dan gendang memberikan ak sen di sana-sini, mengalunlal suara pesinden berbaju broka kuning itu, melagukan gending Maskumambang. Pesinden itu melantunkan kisah asmara sepasang remaja di sebuah dusun. "Waduh, ini mengingatkan saya zaman muda dulu," celetuk seorang penonton yang berumur 70-an. Kini memang tak lagi gampang ditemukan seseorang memetik siter, menembangkan lagu. Padahal, dulu, di Yogya dan Solo, siter mirip gitar sekarang ini: banyak yang bisa memainkannya, baik sekadar hobi maupun sebagai profesi. Bahkan banyak pengamen dulu bermodalkan alat sederhana itu - yang memang bisa dibuat sendiri dengan kotak bekas dan kawat. Dalam festival 1-3 Maret ini pun, di antara 25 grup peserta 13 adalah pengamen, yang biasa beroperasi di kawasan pinggiran Yogyakarta. Dan hampir semua peserta berusia 50-an. Hanya satu grup, dari Kampung Gondokusuman, anggotanya berusia sekitar 30-an. R. Riyo Pangarsobroto, 42, yang punya kerja, seperti bisa ditebak, memang punya keinginan menghidupkan kembali siter. Kepala Bagian Inspeksi Kebudayaan Provinsi Yogyakarta itu punya ide, memasukkan acara siteran di hotel-hotel, mengisi acara turis. "Dibandingkan menyelenggarakan pergelaran karawitan komplet, siteran jauh lebih murah," katanya. Juga lebih praktis. Dengan hanya siter, kendang, dan sebuah gong, hampir semua gending - yang seharusnya dibawakan dengan karawitan lengkap - bisa pula ditampilkan. Lagu wajib festival ini misalnya, Ladrang Pangkur Laras Slendro Jangkep, dan lagu pilihannya, Jineman Uler Kambang, Jineman Mara Kangen, Jineman Mijil Wedaringtyas, seharusnya dimainkan dengan gamelan slendro komplet. Siter merupakan penyederhanaan itu semua. Tapi bagaimana persis sejarahnya, tak jelas benar. Menurut R. Riyo Purbotomo, 69, ketua dcwan juri, asal-usul siter masih gelap. Dari beberapa babad, kata dosen Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta itu, diketahui siteran merupakan sempalan karawitan lengkap, yang kemudian hidup di kalangan rakyat. Semacam musik dengan teknologi tepat. Memang, pada abad ke-17, di zaman Sultan Agung, ketika karawitan sudah mengenal instrumen komplet, ternyata siter tak termasuk dalam perangkat itu. Menurut Purbotomo, siter baru muncul pada abad ke-18, dan bukan termasuk sebagai instrumen standar. Alat itu lahir di kalangan rakyat, diduga sebagai upaya meniru karawitan di keraton. Maklum: Siter yang nadanya bisa menggantikan saron dan gender - dua mstrumen yang membentuk melodi dalam karawitan Jawa - bisa dibuat tanpa investasi besar. Juga bisa digunakan mengiringi hampir semua jenis gending. Barangkali pula orang Jawa membuat siter meniru sitar dari India, yang dibawa ke sini oleh orang-orang Hindu. Tentu, peran siter sebagai pengganti saron dan gender tergantung pula pada keterampilan pemetiknya. Seperti dalam festival ini misalnya, sementara grup Catur Tunggal dan grup Langen Wiromo (dari Bantul) bermain dengan mulus, ada pula grup yang kedodoran. Di tengah suara pesinden, kadang suara siter lenyap, atau melantunkan petikan nada yang sedikit melenceng. Si pemain punya alasan menarik: "Saya biasa memainkan siter butut bikinan sendiri," kata si pemetik siter, yang mengaku mencari nafkah dengan mengamen di seantero kota Yogya. "Agak kikuk juga dengan siter yang dibikin baik-baik seperti ini." Alasan lain terdengar: lagu wajib terlalu berat. "Saya hanya biasa memainkan lagu-lagu dolanan yang iramanya sederhana," tutur seorang peserta. Tapi bagi Dulsadak dari Langen Wiromo itu, siter makanannya sehari-hari sejak 1965. Pak Dul, 59, memang tokoh karawitan di Bantul. Belum lama ini ia dinyatakan sebagai penabuh gender terbaik. Dulsadak dengan demikian penerus tradisi orang-orang yang terampil memetik siter. Itulah yang dicari Riyo Pangarsobroto, penyelenggara festival ini. Hadiah festival ini untuk ukuran nasional memang kecil: Rp 50.000, Rp 30.000, dan Rp 20.000 bagi pemenang I, II, dan III. Tapi pihak Inspektorat Kebudayaan DIY menjanjikan, peserta akan mendapat giliran mengisi acara kesenian tradisional nanti. Untuk sementara, kata Riyo, itulah cara memelihara siteran. Anak-anak muda memang tak tertarik lagi pada sejenis gitar tapi bernada pentatonis ini, yang tentu saja tak bisa dimainkan dengan irama jazz atau rock. Dan mungkin karena ini bukan instrumen standar dalam karawitan, siter pun tak diajarkan di sekolah-sekolah karawitan. Padahal, dulu, setelah siter berkembang di kalangan rakyat, menurut cerita Riyo Purbotomo, para prajurit tertarik mempelajarinya. Bahkan kemudian menjadi teman di kala mereka bertugas jauh dari rumah. Dari para prajurit inilah, konon, muncul pemetik-pemetik siter yang terampil. Sebuah alat dalam sepi, memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini