Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE yang basah dan sendu selepas diguyur hujan, dalang asal Thailand, Nuttapol Kummata, meniupkan nyawa pada benda-benda rumah tangga dalam Pesta Boneka di Yogyakarta. Dia mengubah selembar tisu menjadi sekuntum bunga mawar. Muncul dari wadah tisu di meja yang diapit dua lampu, kembang berkuncup itu berjalan pelan, berhenti sebentar. Dia menghampiri tempat sampah plastik mini, merangkul dan menciumnya.
Sebelum luapan cinta kasih itu muncul, benda-benda itu saling membenci. Ta—sapaan akrab Nuttapol—menubrukkan benda-benda itu dan berkali-kali meneriakkan kalimat “I hate you”. Repetisi itu menggambarkan kebencian yang menguat dalam diri seseorang. Nuttapol Kummata dalam pentas Ta Lent Show yang penuh penjiwaan dan berenergi mementaskan karya berjudul Recycled Memo dalam Pesta Boneka Ke-8, 3-9 Oktober 2022. Tubuhnya penuh peluh setelah mementaskan setiap adegan pertunjukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ta Lent Show membetot perhatian penonton. Meski minim dialog, pentas ini berhasil menyentuh perasaan mereka. Sebagian penonton meneteskan air mata karena trenyuh atas cerita pentas itu yang mengubah kebencian menjadi cinta. Ta mengisahkan cerita yang sangat personal, hubungan dia dan anaknya. “Sebagai manusia, kadang bisa jadi baik dan buruk,” tutur Ta kepada semua penonton, Ahad, 9 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain kisah yang mengharukan, Ta Lent Show menyuguhkan cerita-cerita yang mengocok perut penonton. Ta menggunakan cangkir, bantal, dan kacamata sebagai boneka. Dalang menghidupkan cangkir yang sedang menampilkan aksi burnout alias ngepot dan terbang di udara layaknya di film The Matrix. Pada adegan lain, bantal dibentuk menjadi burung, gurita, udang, dan ubur-ubur dalam suasana laut yang tenang.
Yang menarik adalah interaksinya dengan anak-anak yang menonton pertunjukan itu. Di pengujung pementasan, dua bocah berebut sekuntum bunga dari tisu ketika Ta mengundang mereka ke panggung. Seorang bocah menangis karena tak mendapatkan kembang imitasi itu. Ta dengan sigap membuat bunga, lalu menghampiri anak yang menangis di pangkuan ayahnya. Dia menggendong bocah itu dan menenangkannya.
Ta menyiapkan pertunjukan itu selama dua tahun sejak pagebluk Corona menyerang. Dia menjadi seniman langganan yang mengisi Pesta Boneka, festival boneka internasional dua tahunan yang diinisiasi Papermoon Puppet Theatre. Kali ini Pesta Boneka pertama kali digelar secara tatap muka setelah pandemi Covid-19 mereda. Selain digelar secara langsung di Kampoeng Media di Desa Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, panitia mengemas acara itu secara daring.
Pentas Kacak Kicak Puppet Theatre berjudul Selimut Biru dan Kisah-Kisah Menuju Tidur, 8 Oktober 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Festival ini melibatkan 35 seniman dari 18 negara yang menghidupkan berbagai obyek menjadi boneka. Tema yang diangkat kali ini adalah Remembrance. “Tentang ingatan dan imajinasi setiap seniman,” kata Maria Tri Sulistyani, Direktur Artistik Pesta Boneka.
Menurut Ria—sapaan akrab Maria—seniman mancanegara datang dengan biaya tiket pesawat sendiri. Panitia hanya menyediakan honor dan akomodasi menginap serta makan. Seperti Ta, dia rela membayar tiket pesawatnya karena dia merasa Pesta Boneka seperti keluarga yang hangat menerima seniman. Dia pernah berkeliling ke sejumlah negara untuk pertunjukannya. Tapi, menurut dia, tidak sehangat Pesta Boneka di Indonesia. “Di tempat lain setelah pertunjukan, ya, selesai begitu saja. Tidak ada suasana kekeluargaan,” ujar Ta.
Sebagian seniman yang terlibat pernah tampil dalam Pesta Boneka. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, dari ilustrator, penari, hingga pemain pantomim. Ria mengurasi sesuai dengan tema. Minat peserta kali ini membeludak, hingga 99 proposal yang diajukan para peminat. Selain pertunjukan, festival ini diisi acara diskusi bersama seniman, lokakarya, dan kunjungan virtual ke studio teater boneka di berbagai negara. Pada Rabu, 5 Oktober lalu, misalnya, berlangsung pertunjukan bertajuk Gaung, The Meandering Room oleh Automne 2085 dari Prancis yang disiarkan langsung di Auditorium Indonesia Francais Institute Yogyakarta.
Seperti tahun-tahun sebelum masa pandemi, Papermoon sejak 2008 menggelar acara di desa dengan melibatkan komunitas. Kampoeng Media tahun ini dipilih karena tempat dan suasananya cocok untuk menyepi dan menjauhkan diri dari kesibukan sehari-hari. Di sana setiap orang bisa menikmati pertunjukan di bawah rindang bambu dan pohon nangka dengan gemericik air sungai. Tempatnya juga ramah anak-anak. Berbeda dengan pesta boneka sebelumnya, kali ini panitia menyediakan area khusus untuk berekspresi, misalnya menyanyi dan memainkan wayang.
Bocah-bocah ini juga difasilitasi untuk tampil bersama seniman dari berbagai daerah dengan nama Kampung Babel. Mereka bermain bersama seniman-seniman di bawah pepohonan, seperti sedang berada di hutan. Pagi itu, bocah-bocah duduk berlesehan di deretan paling depan menunggu pertunjukan. Kelompok teater boneka asal Bali, Kacak Kicak Puppet Theatre, membuka pertunjukan dengan mementaskan Selimut Biru dan Kisah-Kisah Menuju Tidur.
Dua dalang berjubah putih penuh boneka dan bunga yang bergelantungan muncul dari belakang panggung. Mereka menggerakkan boneka-boneka dari baju itu dan mendongeng. Cerita dimulai dengan seseorang yang sedih karena kebun bunganya dirusak raksasa. Dia mencari-cari siapa yang menghancurkan kebun kesayangannya itu. Rupanya pelakunya raksasa jahat. Kesedihan harus diakhiri. Dia mengajak teman-temannya untuk menanam bunga. Dua dalang itu lalu mengajak anak-anak berdiri dan mengambil bunga-bunga buatan. Satu per satu bocah berebut bunga dan semuanya kebagian. “Pesan kebaikan, yaitu banyak menanam,” tutur Tofan, seniman Kacak Kicak Puppet Theatre.
Pentas Flying Balloons Puppet di Pesta Boneka ke-8 di Kampoeng Media, Sleman, Yogyakarta, 9 Oktober 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Panitia menyediakan lima panggung dan penonton bebas duduk berlesehan. Untuk setiap pertunjukan, panitia menuliskan keterangan usia pada papan demi memastikan acara itu ramah anak. Contohnya di panggung Triangle Theater, panitia membubuhkan tulisan “untuk 13 tahun ke atas” saat pertunjukan Flying Balloons Puppet. Suasana pertunjukan terasa muram saat Flying Balloons Puppet mementaskan Jalinan Kusam di Lemari Sosi siang hari itu. Meyda Bestari, seniman Flying Balloons Puppet, berkolaborasi dengan seniman asal Malaysia, Maisyarah Mazlan, dalam pertunjukan itu.
Selain menggunakan boneka, mereka menggunakan kain-kain sebagai medium pentas. Meyda membebat tubuh Maisyarah yang berdiri di bak. Sebagian kain itu ditambatkan di tubuh penonton. Seperti seorang tawanan, tangan Maisyarah diikat. Kepala dia ditutup kain hitam.
Meyda menyebutkan pentas itu bercerita tentang kehidupan ibu angkatnya yang merasa kesepian di rumah. Di sebuah rumah, ibunya digigit tikus. Cerita lalu berkembang tentang setiap orang yang melekatkan dirinya kepada orang lain. “Tentang harapan-harapan keluarga dan lingkungan sosial,” kata Meyda.
Adapun pentas Margarita Blush Productions asal Amerika Serikat berjudul Unfolding menjadi suguhan pamungkas, menutup Pesta Boneka. Mereka berkisah tentang perempuan tangguh yang mengarungi hidup yang keras dan penuh tantangan, dari masa lalu, kini, hingga masa depan, sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan. Margarita pernah mementaskannya di Amerika Serikat, Bulgaria, dan Turki. Selain menggelar pertunjukan di Pesta Boneka Yogyakarta, mereka berpentas keliling di sejumlah kota di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo