Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Terganjalnya Saluran Televisi Berbineka

Beberapa penyimpulan buku ini harus dibaca kritis. Tapi fokusnya jelas: jangkauan siaran televisi yang menasional adalah kekeliruan besar.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEVISI JAKARTA DI ATAS INDONESIA
Penulis: Ade Armando
Penyunting: Purwaningsih Henny
Penerbit: Bentang, Yogyakarta, April 2011
Tebal: xvi + 296 hlm

PARA petinggi Komisi Penyiaran Indonesia perlu menulis buku, seperti yang dilakukan Ade Armando, anggota KPI periode 2004-2007, agar publik mengetahui ideologi atau perspektif KPI dalam menyikapi pelbagai persoalan dunia penyiaran di Indonesia. Dengan kejelasan dan kecerdasan sikap yang tecermin dalam tulisan-tulisan itu, pelbagai teguran mereka terhadap perilaku lembaga penyiaran televisi terhindar dari kesan improvisatif atau jauh dari sangkaan bahwa KPI terperosok pada ketidakjelasan pemikiran.

Memang, buku Armando ini tak mencakup segenap perkara dunia penyiaran yang sungguh kompleks. Seperti subjudulnya yang mengular-panjang, ”Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia”, fokusnya lebih pada jangkauan siaran—di antara persoalan kontroversial lainnya, seperti kepemilikan lembaga penyiaran, isi siaran, serta siapa regulator yang berhak memberi dan mencabut izin bersiaran. Jangkauan siaranlah muara bagi pelbagai hal lainnya, yang tujuannya adalah demokratisasi kepemilikan, demokratisasi isi siaran, demokratisasi kapitalisasi, dan seterusnya.

Armando, pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, berpendapat jangkauan siaran televisi swasta atau televisi komersial seharusnya tidak menasional, melainkan lokal—sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Jika sebuah stasiun televisi ingin siarannya menjangkau seluruh pelosok Tanah Air, dibutuhkan stasiun televisi lain yang berafiliasi dengan stasiun ”induk” di Jakarta atau di mana pun. Dalam undang-undang disebut televisi berjaringan.

Dengan siaran berjaringan, Armando menjabarkan, keuntungan iklan tak hanya dimonopoli perusahaan penyiaran televisi di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah yang sejaringan. Bukan sebatas nilai ekonomi, isi siaran pun tak berdasarkan selera orang-orang Jakarta, selain potensi daerah jadi dikenal ke seluruh pelosok.

Sebagaimana dicatat Armando, dengan siaran terpusat di Jakarta, isi berita dari daerah yang dibuat kontributor jadi lebih banyak peristiwa kriminal dan hal-hal serba negatif lainnya, karena selera penentu kebijakan di Jakarta menggariskan seperti itu. Akibat tiadanya siaran berjaringan dan rata-rata televisi komersial di Jakarta mendapat legitimasi bersiaran nasional secara langsung, yang Jakarta-sentris itulah yang menguasai langit dan udara Indonesia. Ringkasnya: dari Jakarta dipamerkan untuk Indonesia kembali ke Jakarta belaka—dan ini amat monopolistis.

Itulah pengingkaran gamblang terhadap amanat Undang-Undang Penyiaran. Pasal dan ayat tentang batasan jangkauan siaran dan pola siaran berjaringan diterabas.

Dalam analisis Armando, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang menjadi titik tolak penggembosan undang-undang, terutama setelah Mahkamah mengabulkan judicial review yang diajukan praktisi televisi atas Undang-Undang Penyiaran. Dalam putusannya, Mahkamah meminggirkan peran KPI yang seharusnya ”bersama pemerintah” membuat aturan dan sebangsanya, sehingga hanya pemerintah yang mengatur segalanya bak zaman Soeharto berkuasa.

Konsep siaran berjaringan antara lain merujuk pada pertelevisian di Amerika Serikat. Empat raksasa televisi berjangkauan regional—National Broadcasting Company, American Broadcasting Company, Columbia Broadcasting System, dan Fox—bisa menasional karena ”diteruskan” oleh berbagai stasiun lokal. Pada awalnya ada pembagian persentase perolehan iklan antara empat raksasa itu dan stasiun-stasiun lokal, hingga dalam perkembangannya stasiun-stasiun lokal itu menangguk iklan sendiri.

Armando bahkan membeberkan bahwa TVRI Pusat Jakarta bisa menasional juga lantaran menggunakan pola berjaringan. Jaringan TVRI Pusat Jakarta adalah TVRI-TVRI daerah sebagai stasiun daerah, yang juga mengoperasikan stasiun transmisi untuk memperluas jangkauan siaran.

Paparan tentang TVRI sungguh tak salah sebagai contoh konkret siaran berjaringan, juga sebagai gambaran nyata desentralisasi. Namun hal itu tak serta-merta merupakan bukti keberagaman. Jika yang dimaksudkan keberagaman sama dan sebangun dengan demokratisasi tata nilai, TVRI justru contoh konkret yang gagal. Gerakan tarian, juga kostumnya, dalam acara model-model Bhinneka Tunggal Ika, misalnya, memang berbeda antardaerah. Namun sudut kamera yang senantiasa menempatkan para penari di halaman gedung gubernuran bukan hanya menunjukkan keseragaman pola estetika, tapi juga keseragaman ”cara cari muka” para petinggi daerah ke hadapan pemerintah pusat di Jakarta, yang sangat tidak kontekstual.

Memang, ada beberapa penyimpulan yang harus dibaca kritis—untuk tak serta-merta bilang gegabah. Misalnya ketika disebutkan mata acara TVRI kian tak menarik sebelum berlahirannya televisi-televisi swasta (hlm 103) atau ditulis ”Industri perfilman juga tumbuh sehat” (hlm 104). Kenyataannya: TVRI pudar justru setelah berlahirannya televisi komersial. Tabloid Monitor (almarhum), yang menjadi semacam pedoman pasti penonton TVRI, bisa dijadikan indikator betapa TVRI begitu digandrungi. Akan halnya industri perfilman, sejarah justru mencatat kala itu merupakan masa perfilman mati suri.

Bahwa masyarakat butuh informasi perihal isu setempat (hlm 31-32), Armando relatif lebih benar dibanding argumentasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang merumuskan Rancangan Undang-Undang Penyiaran, yang antara lain menggariskan masyarakat Aceh tak butuh tayangan Si Doel—dan itu yang melandasi dirumuskannya pasal dan ayat siaran lokal dan berjaringan. Ada yang dilupakan, yakni bahwa masyarakat Indonesia berada dalam commuter culture. Budaya ulang-alik yang menjadikan tarik-menarik antara budaya tradisi dan budaya urban. Itu sebabnya, pencandu kisah ketoprak di TVRI Yogya bisa jengkel ketika stasiun televisi setempat menutupi TVRI Pusat Jakarta yang menyiarkan tayangan hiburan musik semacam Aneka Ria Safari, Chandra Kirana, atau Kamera Ria.

Veven Sp. Wardhana, penghayat budaya massa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus