Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

E. Coli Nomor 0104

Bakteri yang menewaskan 25 orang di Eropa merupakan varian baru. Belum diketahui sumber dan obatnya. Penggunaan antibiotik malah membuatnya makin ganas.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegaduhan menyeruak di Desa Bienenbuettel, Kabupaten Uelzen, Negara Bagian Niedersachsen, Jerman Utara, awal pekan lalu. Desa berpenduduk enam ratusan orang yang biasanya lengang itu kedatangan puluhan wartawan dari berbagai negara Eropa serta Amerika Serikat. Mobil-mobil satelit bertubuh bongsor membelah jalan di tepian ladang, menerbangkan debu. ”Tadinya saya kira desa kami mendapat penghargaan internasional,” ujar Rebecca, 43 tahun, kepada Tempo.

Tujuan para pemburu berita sama: Der Gartenhof Bienenbuettel, perusahaan penghasil pangan organik sprossen. Dalam bahasa kita: tauge. Pada Ahad, 5 Juni lalu, Ilsa Aigner, Menteri Pertanian, Perlindungan dan Penggunaan Makanan Jerman, mencurigai kecambah keluaran perusahaan itu sebagai pemicu wabah Enterohaemorrhagic Escherichia coli (EHEC). Tercatat 2.200 orang di Eropa masuk rumah sakit karena serangan bakteri ini. Korban tewas mencapai 25, dan 670 orang kritis. Dengan jumlah penderita terbanyak, Jerman menyatakan wabah ini sebagai bencana nasional.

Kecurigaan Menteri Aigner berasal dari laporan Pemerintah Daerah Bidang Penggunaan dan Perlindungan Makanan (LAVES). Sejak wabah itu dinyatakan sebagai epidemi pada 31 Mei lalu, badan ini diberi tugas menelusuri sumber bakteri. Awalnya mereka menuding mentimun, daun, dan tomat, terutama mentimun dari Spanyol. Tudingan tidak terbukti, tapi Jerman tetap menyetop impor sayur dari Negeri Matador. Hal ini menyebabkan gesekan hubungan Madrid dengan Berlin.

Tauge, kali ini produksi lokal, jadi ”tersangka” teranyar. Penelusuran mendapati banyak korban tumbang setelah melahap sayuran pendongkrak kesuburan itu. Misalnya 11 dari 30 turis Swedia dan Denmark di Hotel Golf di Kota Lueneburg, yang berbatasan dengan Bienenbuettel, masuk rumah sakit karena EHEC setelah makan tauge Der Gartenhof. Senada dengan laporan dari Kota Bochum, Luebeck, dan Hamburg. Dua karyawati perusahaan itu juga ambruk dihantam bakteri yang sama.

Kepada Tempo, Gert Lindemann, Menteri Pertanian Negara Bagian Niedersachsen, mengatakan penelitian dilakukan dengan memberikan uap air terhadap 18 jenis tauge dalam tabung bersuhu 38 derajat Celsius. Hal ini diyakini bisa membuat bakteri berkembang biak. ”Tapi hasilnya negatif,” ujarnya.

Seperti dikutip Neue Osnabruecker, Manajer Der Gartenhof Klaus Verbeck menolak tudingan itu. Menurut dia, produknya semata menggunakan kacang dan air, tanpa pupuk. Pupuk, terutama dari kotoran hewan, bisa jadi jalan masuk bakteri ke tumbuhan. Meski gagal membuktikan lewat penelitian, Menteri Aigner hakulyakin bencana ini bersumber dari tanaman. Dia mengeluarkan maklumat agar warga Jerman menjauhi mentimun, tomat, selada, dan tauge, karena diduga terkontaminasi EHEC. Sayur lain boleh dikonsumsi asalkan tidak dimakan mentah.

Enterohaemorrhagic Escherichia coli, satu dari empat varian E. coli, adalah jenis bakteri yang hidup di usus binatang ternak. Sifatnya merusak inang atau patogen. Varian ini memiliki 42 galur, dengan enam galur yang berbahaya, yaitu O26, O45, O103, O111, O121, dan O145. Nah, wabah yang menyerang Jerman sejak April lalu itu merupakan varian baru, O104:H4. ”Belum diketahui dari mana asalnya,” kata Gerhard Riechers, pakar ginjal di Braunschweig. ”Dugaan sementara dari mutasi.”

Bakteri pendatang baru ini seolah ingin menunjukkan diri sebagai jenis paling ganas, mengalahkan O145. Diawali gejala mual dan berak darah, dalam usus manusia O104:H4 memproduksi racun shiga atau verotoxin. Dalam tiga hari, racun menyebar melalui darah, merusak trombosit dan pembuluh darah. Ini mengakibatkan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS), berupa anemia dan gagal ginjal akut. Otak dan saluran pernapasan juga bisa terganggu. ”Angka kematian lima sampai sepuluh persen,” kata Doktor Riechers.

Bakteri ini jauh lebih ganas daripada E. coli, yang sering meresahkan Indonesia. Menurut pakar ahli keamanan pangan Institut Pertanian Bogor, Ratih Dewanti, hanya satu dari seratus penderita diare di Indonesia yang terpapar EHEC. Itu pun bukan dari varian mematikan. Sebanyak 18 persen penderita diare terbukti memiliki Enteropathogenic Escherichia coli di ususnya. ”Bakteri ini jauh lebih jinak dan tidak menghasilkan racun,” katanya.

Malang bagi Eropa, EHEC kebal antibiotik. Malah zat kimia itu bisa meningkatkan kemampuannya menghasilkan racun. Pasien dirawat dengan metode cuci darah. ”Plasma dibersihkan dari racun lewat penyaringan di mesin,” kata Riechers. Cara ini pun tak aman-aman amat. Jika darah terus-menerus dicuci lewat mesin, dia khawatir muncul penyakit ginjal baru. Ada satu obat yang disebut-sebut bisa menyembuhkan HUS, yaitu Eculizumab, yang dibanderol selangit, Rp 460 juta.

Meski sudah menyembuhkan seorang pasien berumur tiga tahun di Heidelberg, serum asal Amerika Serikat itu belum terbukti secara ilmiah. ”Kita tidak bisa diam saja, sementara pasien mati perlahan,” kata Profesor Rolf Stahl dari Pusat Kedokteran Universitas Hamburg, yang memberikan obat itu kepada 49 pasiennya.

Rumah-rumah sakit di Jerman, terutama di belahan utara, kebanjiran pasien. Setelah terbukti mengidap HUS, pasien ditempatkan di ruang tersendiri. Jonathan, 19 tahun, baru melewati masa kritis di Rumah Sakit Bundeswehr-Hamburg. Dia terbaring lemah dengan infus masih tertanam pada lengannya. Sebelumnya, Jonathan selalu memuntahkan makanan, tapi ibunya mengatakan kini dia mulai bisa menelan, meski masih sering mimisan.

Pasien lain, Lena, 31 tahun, mengatakan langsung muntah-muntah setelah melalap selada dan mentimun. ”Bolak-balik ke toilet sampai hampir pingsan,” katanya. Dia langsung dilarikan ke Rumah Sakit Hannover dan masuk ruang isolasi sebulan penuh. Tanpa pernah diizinkan ditemui keluarga, karena bakteri bisa berpindah antarmanusia.

Dokter dan perawat pun harus ekstrahati-hati. Saban masuk ruang isolasi, mereka wajib mengenakan jubah khusus yang menutup seluruh badan, plus kacamata dan masker. Sejak April lalu, mereka bekerja hampir tanpa libur, dibantu sukarelawan. ”Bahkan kami tidur di rumah sakit,” kata Oliver Griever, juru bicara Rumah Sakit Schleswig-Holstein di Kota Kiel. Warga kota berduyun-duyun mendonorkan darah, bahu-membahu memerangi wabah itu.

Meski kesal, petani manut imbauan pemerintah: memusnahkan tomat, mentimun, selada, dan tauge. Hans Vogel, 33 tahun, petani di Lidl, Vechelde, menggilas kebun tiga hektarenya yang dipenuhi selada siap panen. ”Saya rugi besar, Rp 125 juta sepekan,” katanya.

Toh, kalaupun tidak dihancurkan, seladanya tidak laku. Di pasar-pasar di kota itu selada dikorting habis dari 99 sen jadi 29 sen, sekitar Rp 4.000. Tapi tetap tidak dilirik. Begitu juga dengan mentimun, yang turun dari 49 sen jadi 10 sen, sekitar Rp 1.250. ”Kelihatannya memang segar, tapi dalamnya siapa yang tahu,” ujar Sabine, 27 tahun, ibu rumah tangga. ”Terus terang saya takut.” Harian Der Spiegel melaporkan kerugian industri pertanian Jerman mencapai Rp 62 miliar per hari.

Ketegangan juga terasa di pusat pemerintahan di Berlin. Pada Rabu pekan lalu, lebih dari sepekan sejak penetapan status epidemi, pemerintah belum bisa mengidentifikasi sumber bakteri. Menteri Kesehatan Daniel Bahr meminta bantuan internasional untuk menangani bencana ini. Parlemen Uni Eropa menyiapkan bantuan 150 juta euro (sekitar Rp 1,8 triliun) kepada petani yang terkena imbas bencana ini. Tapi itu belum berhasil menghentikan korban yang terus bertambah.

Reza M., Sri Pudyastuti Baumeister (Braunschweig, Vechelde, Hannover, Lueneburg)


Akibat E.coli

  1. Diawali gejala mual dan berak darah.
  2. Di usus manusia O104:H4 memproduksi racun shiga atau verotoxin.
  3. Dalam tiga hari, racun menyebar melalui darah, merusak trombosit dan pembuluh darah.
  4. Mengakibatkan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS), berupa anemia dan gagal ginjal akut.
  5. Otak dan saluran pernapasan juga bisa terganggu.

Mereka yang Kebal

1947
Staphylococcus aureus kebal penisilin

1959
Shigella dysenteriae tak mempan pelbagai antibiotik

1967
Streptococcus pneumoniae tak mempan penisilin
Neisseria gonorrhoeae kebal penisilin

1970
Staphylococcus aureus kebal metisilin

1983
Enterococcus faecium tak mempan penisilin
Shigella kebal pelbagai antibiotik
Escherichia coli tak mempan fluoroquinolones

1984
Mycobacterium tuberculosis kebal rupa-rupa antibiotik

1989
Enterococcus kebal vancomycin

2001
Campylobacter tak mempan fluoroquinolones

2002
Staphylococcus aureus kebal vancomycin

2011
Escherichia coli kebal delapan kelas antibiotik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus