MENAGERIE, Editor: John H. McGlynn The Lontar Foundation, Jakarta, 1992, 258 halaman SEBERAPA jauhkah kebenaran yang ada dalam pernyataan "menerjemahkan karya sastra sama dengan mengarang kembali karya itu dalam bahasa yang bukan aslinya"? Kalau pertanyaan ini kita ladeni, berarti kita menerima asumsi bahwa "karya sastra tidak mungkin diterjemahkan ke bahasa lain." Selain itu, kita juga menerima, terjemahan lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan karya aslinya, karena terjemahan hanya bisa lahir karena ada yang asli. Membaca hasil terjemahan John McGlynn atas puisipuisi yang dimuat dalam Menagerie, 1, saya yakin bahwa karya sastra memang bisa diterjemahkan. Dan setahu saya ini bukanlah suksesnya yang pertama. Sebelum ini, kumpulan puisi On Foreign Shores: American Images in Indonesian Poetry tergolong sama, artinya terjemahan yang sukses. Ambil contoh puisi Sutardji Calzoum Bachri Becomes dan what flows. Siapa saja yang pernah membaca puisipuisi Sutardji Calzoum Bachri yang mantra itu, kemudian membaca terjemahannya dalam buku terbitan Yayasan Lontar ini, ia akan berkomentar: "Memang, dalam bahasa Inggris pun puisi Tardji ini tampak ketardjiannya." Kekaguman semacam ini tentu saja patut dialamatkan kepada penerjemahnya. Selain puisi sejumlah penyair (Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Sutadji Calzoum Bachri, dan Linus Suryadi) Menagerie juga menampilkan beberapa cerita pendek, sebuah esai tulisan Subagio Sastrowardoyo, dan galeri fotografi yang diisi oleh Yudhi Soerjoatmodjo dengan sejumlah snapshot dari Dieng. Memilih karya Ahmad Tohai Minem Has A Baby sebagai pembuka buku ini, menurut saya, betulbetul menguntungkan. Bagi kita, adanya orang yang kawin muda usia, yakni pada usia dua belas tahun dalam cerita Tohari ini, boleh jadi tidak mengejutkan. Tapi, dengan asumsi bahwa pembacanya terutama adalah masyarakat Barat dan luar negeri lainnya yang boleh dikata tidak asing terhadap bahasa Inggris, yang diungkapkan cerita pendek ini bukan hanya memberikan kesan yang dalam tapi juga mengejutkan. Kesan yang langsung adalah pengarangnya begitu jujur sehingga cerita pendeknya meyakinkan kita. Mengungkapkan dunia yang benarbenar dikenal juga dilakukan oleh Sitor Situmorang dalam dua cerpennya Holy Communion dan Jinn. Kedua cerita pendek ini memiliki warna lokal yang kuat tanpa memakai mode penyisipan katakata daerah ke dalamnya seperti yang cenderung dilakukan sejumlah penulis kita akhirakhir ini. Dikaitkan dengan "dunia yang benarbenar dikenal" tadi, cerita pendek Budi Darma Orez, tentang orang Barat di luar negeri, agak berbeda. Budi Darma tak menggarap keunikan budaya lokal, tapi dimensi psikologinya. Strategi ini mungkin dimaksudnya untuk memudahkan ceritanya dipahami tanpa tersendat oleh pertanyaan yang menyangkut warna lokal tadi. Yang menjadi masalah bagi saya adalah membaca cerita pendek Leila S. Chudori Paris, June 1988. Masalahnya bukan yang menyangkut dimensi lokalnya, melainkan tokoh yang ada di dalam ceritanya itu sendiri. Meskipun diakuinya tokohnya itu misterius, ini tidak bisa dipakai sebagai excuse, dan kita akhirnya hanya disuguhi gambaran stereotype seorang seniman yang nyentrik belaka. Sedangkan dalam The Purification of Sita, kita hanya disuguhi sebuah kecengengan yang didramatisasi secara berlebihan. Dibandingkan dengan drama yang menimpa Sita dalam legenda agung Ramayana, karya Leila ini jadinya bagaikan balon kempis. Berbeda jenis dengan beberapa cerita pendek tadi adalah cerita pendek Danarto (Mother's Wall), dan Putu Wijaya (Blood dan The Gift) serta Gerson Poyk (Matias Akankari). Danarto dan Putu masih terus asyik dengan realitas fantastik mereka yang sering mengejutkan itu. Sedangkan Gerson Poyk kali ini betul-betul kocak. Jika membaca Martias Akankari karya Gerson Poyk, mungkin pembaca di Barat akan langsung teringat pada film Crocodile Dundee yang kesohor itu. Atau, kita di Indonesia akan teringat pada film Syumanjaya Si Doel Anak Moderen. Yaitu kisah tentang bagaimana dunia modern di kotakota besar dilihat dari kaca mata mereka yang, menurut ukuran kaum modernis, "primitif". Gerson menceritakannya secara konsisten, sehingga ketika di akhir cerita si "primitif" mengatakan kepada kawankawan sekampungnya bahwa orang modern sedang berusaha meniru mereka, antara lain dalam berbusana, kita pun tergelak. Singkatnya, apa yang disajikan di dalam Menagerie ini sudahlah cukup memadai. Meskipun banyak nama yang dicantumkan sebagai penerjemah, terasa adanya hanya satu "bahasa" yang mewarnai keseluruhannya, baik yang puisi maupun yang cerita pendek. Saya menduga, "bahasa" ini adalah hasil kerja keras sang editor, dan kali ini hasilnya bagus. Ikranagara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini